Alarm jam wekker di samping bantal berdering keras, lalu tak lama azan subuh berkumandang. Aku menggeliat pelan, dadaku tiba-tiba berdebar keras saat ingat pesan Haykal kemarin. Aku benar-benar takut ia akan balas dendam. Aku mengucek mata sambil menghela napas. Teringat Haykal membuatku deg-degan. Rasa kantuk dan kepala sedikit berat masih begitu terasa, namun mengingat hari ini peralihan shift pagi, aku memaksakan diri untuk segera bangun walau masih begitu mengantuk. Kusibak selimut lalu aku menuju kamar mandi untuk mengambil wudu.
Selesai salat, dengsn jantung berdetak kencang aku berdoa semoga Haykal tak serius dengan perkataannya. Sumpah aku sangat takut ia ingin menikahiku hanya untuk balas dendam. Sumpah, hanya membayangkan menikah dengannya saja sudah membuatku takut dan gemetaran begini. Aku mencoba mengenyahkan perasaan takut, segera masuk kamar mandi lalu mengguyur tubuh dengan air dingin, membuatku merasa segar namun sama sekali tak mengenyahkan kegelisahan yang membuatku tak nyaman. Tuhan, tolong aku, plesse. Aku nggak mau nikah dengan Haykal. Mungkin beda jika kami masih pacaran, tentu aku tak akan berpikir dua kali karena itu yang kuharapkan dari sekian lama menjalin hubungan dengannya, yaitu menikah. Tapi sekarang? Sungguh hanya membayangkan menikah dengannya saja sudah membuatku takut.
Aku keluar dari kamar mandi, memakai seragam khas karyawan bagian staf produksi dan memperhatikan wajahku yang terlihat pucat di cermin. Wajahku tampak pucat karena ketakutan akan ancaman Haykal. Aku pun memoleskan bedak warna nude dan lipstik merah muda agar wajah tak terlihat lrbih hidup, tapi tatapanku tetap saja terlihat cemas. Semangat! Kataku dalam hati, karena hari ini bakalan menjadi hari yang sibuk. Aku harus fokus kerja tak boleh memikirkan Haykal terus. Tentang Haykal, pikirkan nanti saja.
Mataku membeliak kaget saat melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 6, maka dengan terburu-buru aku menyambar tas, kemudian keluar kamar setengah berlari dan berpamitan pada Ibu lalu berangkat.
Sinar matahari pagi yeng lembut dan hangat mengiringi langkahku yang setengah berlari menuju pemberhentian bis yang disediakan pabrik, khusus untuk menjemput karyawan. Aku refleks menoleh saat bahuku ditepuk keras dari belakang. Rika, teman kerja satu ruangan denganku tersenyum kecil.
"Hei, May! Buru-buru banget, siih?" ujarnya sambil tersenyum kecil.
"Takut terlambat lagi. Tau sendiri, lah, kalo peralihan shift pagi gini, pasti sedikit ribet. Belum lagi ada drama nanti dengan shift malam," sahutku, Rika mengangguk membenarkan.
"Iya juga, sih. Hayo, ngomong-ngomong siapa yang nganter kamu kemarin ha-yoo? Cie ... cie ... udah dapat yang baru, niih?" ledeknya diiringi senyum kecil dan tatapan menggoda.
"Kamu lihat?"
"Iya liat kamu dibonceng cowok ganteng di jalan. Nggak nyangka cepet banget kamu dapat pengganti Haykal, Yang?"
Aku memandanginya dan menghela napas. Ia menyebut nama Haykal, membuatku jadi takut lagi.
"Cerita dooong, keaku. Pacar kamu, yaa?" Ia mengedip menggoda.
"Ish, apaan, ngaco deh. Cowok yang kemarin itu cuma nganterin aku doang. Ketemu di kondangan." Lalu aku pun menjelaskan detail kejadian membuat Rika terus menggeleng tak percaya.
Kami tiba di pemberhentian bus, aku dan Rika bergegas naik ke benda panjang yang telah menunggu itu. Aku duduk di jok belakang kemudi bersama Rika. Sayup-sayup terdengar lagu grup band Dewa 19 yang sengaja diputar di dalam bis untuk menemani keberangkatan karyawan menuju pabrik.
Embusan angin dari celah jendela kaca bis yang dibiarkan terbuka menerpa wajahku. Ingatanku tiba-tiba mengembara ke kejadian kemarin, aku tersenyum kecil merasa malu. Bisa-bisanya ya aku menanyakan nama cowok kemarin padahal sudah memotret KTPnya dan mempostingnya di media sosial. Aku menghela napas saat tiba-tiba teringat Haykal. Apa ia sungguh-sungguh mau menikahiku? Aku menggeleng kuat. Gak! Aku gak mau kembali menjalin hubungan dengannya karena ia sudah mengkhianatiku. Dan bisa jadi ia ingin menikahiku hanya karena ingin balas dendam saja. Hiiii. Jangan sampai-jangan sampai. Trauma di batin ini karena dia khianati masih begitu membekas.
"Yang, ayo!" Rika menyenggol lenganku membuatku tersentak dan menoleh.
"Eh, dah sampe, ya?" Aku bergumam sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Salah tingkah kedapatan melamun.
"Ngelamunin cowok kemarin pasti, yaa? Hingga sampe depan pabrik pun gak sadar," seloroh Rika diiringi senyum menggoda.
"Ih apaan siih? Enggak, lah." Sangkalku sambil turun dari bis, kemudian memasuki area pabrik beriringan dengan Rika.
Suara kebisingan mesin produksi menyambut kedatangan kami. Aku menyaruk langkah menuju ruangan kerja di bagian kanan bersebelahan dengan mesin-mesin yang berjajar rapi. Begitu masuk ruangan, ternyata sudah ada kepala manager bagian produksi.
"Selamat pagi, Pak?!" Aku menyapa bergantian dengan Rika.
"Pagi juga. Oh ya, Yang, nanti tolong laporan Minggu lalu dicek lagi, ya?!" seru Pak Harun yang langsung aku balas dengan anggukan hormat.
Aku pun meletakkan tas di lemari kemudian keluar ruangan untuk mengecek produksi benang yang akan digunakan untuk proses pembuatan karung plastik hari ini. Menurut laporan dari shift tadi malam, banyak berat benang yang tidak sesuai standard produksi. Itu membuat kepalaku pening jika sudah menghadapi hal seperti itu.
Peralihan shift pagi di awal bulan memang sangat menyibukkan. Begitu banyak pekerjaan yang harus segera dilaporkan ke pengawas lapangan bagian produksi. Semua itu membuatku menghabiskan waktu istirahat hanya di dalam ruangan tanpa pergi ke kantin.
"Laporan kamu, udah selesai, belom, Yang?" tanya Rika sambil sibuk membereskan meja kerjanya.
"Tenang, bentar lagi juga finish. Tinggal laporan kualitas produksi dari benang D-700," jawabku seraya menelan sepotong roti bekal dari rumah tadi.
"Kalo udah nanti barengan menghadap ke ruangan Pak Harun, ya?" ajaknya sambil nyengir.
"Oke."
Aku tersenyum lega, semua laporan beres. Aku dan Rika bersiap menuju ruangan Pak Harun, sang pengawas bagian produksi. Aku melongok ke pergelangan lengan, lima belas menit sebelum waktu pulang.
***
Capek. Rasanya hari ini sangat lelah, hingga tiba di depan rumah dengan napas tersengal-sengal. Berjalan kaki dari pemberhentian bus hingga rumah memang begitu menguras tenaga. Aku berhenti sejenak di halaman untuk mengatur napas sambil berpegangan pada pohon mangga depan rumah.
Pandanganku seketika terfokus pada dua pasang sendal lelaki yang berjejer di bawah teras. Sandal itu kutahu pasti bukan milik Ayah, satu-satunya lelaki dewasa di rumah. Itu berarti ada tamu yang berkunjung ke rumah. Siapa mereka?
Panasaran, aku memutuskan segera masuk. Mungkin saja tamu yang datang adalah rekan kerja Ayah. Tapi, sepertinya Ayah juga belum ada di rumah pada jam-jam seperti ini, karena akhir-akhir ini juga sering lembur.
Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat saat tiba-tiba teringat Mas Aryo yang mengatakan akan ke sini lain waktu.
Dengan d**a bergemuruh, aku menuju teras.
"Assalamu'alaikum! Mayang pulang, Bu," ucapku sambil berjalan memasuki rumah. Mataku melebar saat melihat dua cowok yang duduk di ruang tamu. Salah satunya aku kenal. Mau apa ia ke sini?