10

1124 Kata
"Assalamu'alaikum! Mayang pulang, Bu," ucapku sambil berjalan memasuki rumah. Mataku melebar saat melihat dua cowok yang duduk di ruang tamu. Salah satunya aku kenal. Mau apa ia ke sini? "Hay, Yang?" Sapanya diiringi senyum kecil. "Hay." Aku tersenyum tipis. Lebih tepatnya terpaksa tersenyum sih karena takut dikira sombong. Tapi, mau apa dia ke sini? Tatapanku berganti ke lelaki di sebelahnya, pasti temannya. "Maaf, baru pulang kerja," sambungku yang berniat tak ingin menyambutnya karena rasa lelah setelah seharian bekerja. Aku mengangguk kecil padanya lalu melenggang meninggalkan Mas Aryo dan temannya menuju kamar, melempar tas sembarangan kemudian merebahkan badan di kasur dan mengangkat kedua tangan ke atas, merenggangkan tubuh. "Yang ... katanya dia yang mengantarmu dari acara pengantin teman ibu kemarin, ya?" tanya Ibu yang tiba-tiba masuk kamar. Memandangiku dan menggelengkan kepala. "Kamu itu ada tamu bukannya ditemui malah ditinggal ke kamar." Ibu lagi-lagi menggelengkan kepala. "Iya dia yang nganterin aku. Kapan dia datang, Bu?" tanyaku pada Ibu yang terus menatap heran sambil menggeleng ke arahku. Aku tahu maksud tatapan Ibu. Dia paling tak suka melihat anak gadisnya ini bersikap cuek saat ada tamu yang memang mencariku. Apalagi tamu cowok yang datang, membuat wajah ibu tampak berbunga-bunga. Ya maklum saja, karena Ibu ingin aku segera menemukan jodoh agar tak dilangkahi Asti. "Sudah ...." Ibu tampak mengingat-ingat. "Kira-kira setengah jam-an gitu, deh, Yang." "Ibu udah nemuin mereka? Trus, ngapain ke sini, katanya?" tanyaku karena merasa sedikit penasaran. Ya mungkin saja dia sengaja mampir karena melewati rumahku. "Katanya, pengen ngobrol dan lebih kenal sama kamu, Yang. Ya udah, sana, temui dulu! Kasihan, kan, dari tadi udah nungguin kamu pulang," ujar Ibu dengan wajah sewot. "Males, Bu!" sergahku. Sumpah! Aku memang benar-benar malas jika berurusan dengan hal seperti ini. Apalagi dengan cara dipaksa. Waktu itu aku bilang lain kali kan hanya basa-basi. Eh kok dia malah kesini. Pusing deh ah. "Temui dulu sebentar. Hanya sebentar saja, Yang, tidak baik bersikap begini." Aku menggelengkan kepala, menolak saran Ibu dengan wajah sebal. Aku benar-benar malas menemui Mas Aryo karena lelah usai pulang kerja juga tak ada gunanya menurutku. "Jangan pasang muka cemberut gitu!" titah Ibu lagi, malah semakin membuatku kesal. "Abisnya, males, Bu!" Lagi-lagi aku beralasan. "Sana, mandi dulu! Biar Ibu yang menemani mereka dulu." Ibu memang suka sekali memaksa membuatku geregetan. Mau tak mau akhirnya aku bangun dari rebahan lantas meraih handuk dan melangkah ke kamar mandi. Aku menggeser bak di bawah keran lalu berjongkok di bawah keran yang mengucur deras, membiarkan tubuh lelahku setelah pulang kerja basah tersiram air. Setelah cukup lama, akhirnya aku menyudahi mandi, memakai baju lalu berjalan ke kamar. Aku memakai jilbab asal, lalu berjalan ke ruang tamu tanpa makeup pan dulu. Ya beda sekali saat aku menemui Haykal dulu ketika masih jadi pacarku, aku selalu tampil sempurna. Tapi pada lelaki asing, aku masa bodoh. "Siapa?" tanyaku pada Mas Aryo, lalu tatapanku berganti pada lelaki di sebelahnya. "Temanku, Tang," jawabnya sambil menoleh ke arah temannya. "Ayo diminum! Itu tadi teh bikinan Ibu, lho!" pintaku. Mas Aryo mengangguk sambil tersenyum tipis. Lalu ia mengangkat gelas tehnya. Dalam diam, kupandangi mereka yang sedang menyeruput teh yang disuguhkan Ibu. "Mayang kerja di mana?" tanya Mas Aryo, meletakkan tehnya di nampan dan memandangku. "Di pabrik plastik, Mas," jawabku sedikit ketus, sengaja membuatnya tak enak hati agar segera pulang dari rumahku. Cara mengusir secara halus terpaksa aku lakukan karena aku tak suka didatangi oleh lelaki yang tak kukenal. Mas Aryo manggut-manggut sambil tersenyum memandang ke arahku. Dadaku berdesir sesaat, kemudian hilang berganti rasa sebal yang entah apa sebabnya. "Udah lama kerja di situ, Yang?" tanyanya lagi membuatku semakin bosan saja. Aku menganggapnya sebagai lagu lama ketika cowok melakukan pedekate sama cewek. "Baru jalan dua tahun. Lha, Mas, kerja di mana?" tanyaku sekadar basa-basi. Cepat pulang siiih. Aku benar-benar gak suka. "Di Jakarta. Ini juga baru seminggu ada di rumah." Aku lantas memandang wajah temannya. Kulihat dia melirik ke arah Aryo dengan menahan senyum. Sepertinya Aryo sedang berbohong sesuatu padamu, terlihat dari temannya yang langsung menahan tawa. Lebih dari setengah jam ngobrol, akhirnya Mas Aryo dan temannya berpamitan pulang. Aku merasa lega akhirnya ia mau pulang juga. "Kapan-kapan boleh main ke sini lagi, kan?" "Buat apa?" "Ya hanya ingin main saja." Ia tersenyum. Aku balas tersenyum karena tak enak hati, tapi tak membalas ucapannya. Tak perlu lah ke sini lagi. Membuang-buang waktuku saja. Tapi aku hanya bisa berkata dalam hati. "Salam untuk Bapak dan Ibu, ya, Yang?" "Iya." Aku mengantarnya hingga teras dan menatap Mas Aryo dan temannya itu hingga lenyap dari pandangan. Kemudian aku melangkah menuju kamar dan merebahkan diri di kasur sambil memandang langit-langit kamar. Suara langkah Ibu pun terdengar memasuki kamarku lagi. Aku pastikan jika Ibu bakalan tanya lebih jauh tentang Mas Aryo. "Cowok yang nganter kamu memang bener-bener ganteng ya, Yang? Kalau kamu tak mau terima lamaran Haykal, kenapa tak dengan doa saja?" Ibu tersenyum menggoda. Aku mendelik. "Ibu ini apa-apaan, sih? Mayang aja sebel liatnya. Ngapain juga dia tadi ke sini,coba? Kayak gak ada kerjaan!" Aku mendengkus kesal karena tahu, jika Ibu sedang memancingku. Sepertinya sebentar lagi Ibu juga akan membujukku agar segera mencari jodoh sebelum didahului menikah oleh Asti. "Gak boleh gitu, Ma-yang. Jangan ketus sama cowok mana pun. Gak baik!" titah Ibu yang memang kurasa ada benarnya. Tapi ya mau bagaimana lagi? Aku memang tak suka basa-basi dengan lelaki tak dikenal. "Ya udah, Bu. Mayang mau istirahat sebentar. Capek." "Ya udah istirahat dulu. Jangan ketiduran, bentar lagi maghrib!" Aku mengangguk, Ibu pun keluar dari kamar. Aku menyentsk napas kesal sepeninggalnya. Masalah jodoh ini sungguh membuatku frustrasi berkepanjangan. Bukan tidak ingin mengabulkan keinginan ibu agar menikah dulu baru Asti, sungguh ingin sekali seandainya Haykal tak selingkuh. Gara-gara dikhianati, membuatku jadi trauma untuk mengawali suatu hubungan yang baru. Mas Aryo di mataku memang tampan, tapi dia hanyalah lelaki asing yang tak kukenal. Dan tak ingin mengenalnya lebih jauh. Apalagi, walau sangat kesal pada Haykal atas perbuatannya yang telah mengkhianatiku, namun jujur aku belum bisa melupakannya sepenuhnya. Aku benar-benar sangat mencintainya, toh begitu, untuk kembali padanya pun aku ogah setelah apa yang terjadi di antara kami. Aku bangkit dari kasur dan berjalan menuju lemari di sudut kamar. Perlahan membuka laci dan meraih buku harian bersampul warna biru, lalu aku kembali merebah, lalu tanganku membuka lembar demi lembar coretan usang yang penuh kenangan. Sampailah pada halaman saat aku dan Haykal pertama jadian, saat itu dunia terasa sangat indah bagai milik berdua. Sekarang, semua itu telah berakhir. Tanpa sadar mataku memanas dan air mata meleleh membasahi pipi. Batinku masih belum bisa terima kenyataan berakhirnya cinta kami. Tapi menerima lamaran Haykal, itu sama saja bunuh diri. Semua tak lagi sama. Dan aku yakin, Haykal mau menikahiku semata-mata hanya untuk balas dendam. Aku sangat yakin. Ting! Notif WA. Aku pun membukanya. Mataku melebar membuka isinya. Bisa-bisanya di-aaa .... Dadaku berdebar. Aku takut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN