Dengan cepat aku mengubah profile menjadi mode silent.
Masih seperempat jam lagi menuju jam sebelas, aku nggak mau Emak bangun sebelum waktunya.
Pesan-pesan serupa dari kedua teman yang lain disertai dengan emoji dengan ekspresi curiga bertebaran di grup.
“Itu berkaitan dengan Arip, cerita selengkapnya besok, aku capek, oke!” tulisku dan segera kembali mematikan benda gepeng warna hitam itu.
Setelah melakukan ritual harian sebelum tidur, aku segera naik ke atas.
“Mak, jam sebelas,” ucapku lembut sambil menyentuh bahu Emak pelan.
“Eh ... kayaknya baru ngliyep kok udah jam sebelas,” ucap Emak lirih dengan suara parau khas orang bangun tidur.
Emak duduk sejenak kemudian beranjak dan turun ke bawah.
Aku segera mengangkat gulungan kasur tipis, dua bantal dan dua selimut, kemudian membawa bondotan itu ke bawah.
“Wah ... Alhamdulillah ... suwun yo, Nduk. Ayu tenan, kulit lumpianya sudah jadi!” seru Emak riang melihat hasil karyaku.
Aku tersenyum lebar sambil meletakkan bondotan dengan kasar.
“Sama-sama, Ibu suri,” sahutku riang.
Dengan cepat, aku membentangkan tikar plastik dan kasur tipis itu di salah satu sudut ruangan kecil yang dekat dengan pintu dan jendela.
“Tak temeni, Mak,” ucapku sambil membaringkan tubuh.
Aku nggak ingin Emak begadang sendirian mengejar pesanan di bawah sini.
“He em, walaupun nemani sambil merem tapi berarti lo, Ra,” jawab Emak dengan senang.
Aku terkekeh riang, tapi sesaat kemudian dengan mudah aku masuk dalam lautan mimpi.
Pagi datang mengetuk pintu papan rumah kami.
Aku bersiap-siap pergi ke masjid ketika Emak selesai dengan pesanan yang baru saja diambil pagi ini.
“Mak, Rayya ada jadwal di masjid hari ini,” ucapku sambil memeluk Emak yang aku tahu belum istirahat sejak tadi malam.
“Ya, pulang nanti ambil belanjaan Emak di warung biasa ya, tinggal ambil aja,” pinta Emak sambil mencium kepalaku.
Aku mengangguk patuh dan segera berangkat ke masjid dengan sepeda.
Sebelum sepeda ini berhenti di parkiran masjid, panggilan dari ketiga temanku sudah memenuhi telinga.
Pasti mereka sudah nggak sabar mendengar laporan kejadian semalam secara langsung.
Aku segera menghampiri mereka yang sedang berdiri di serambi masjid.
“Nah begitu ceritanya,” pungkasku sambil duduk di teras masjid ini setelah menceritakan dengan singkat kejadian tadi malam sambil menunggu ustazah datang sebentar lagi.
Mereka bertiga akhirnya menghela napas lega setelah beberapa saat sepertinya dalam keadaan tegang mendengar ceritaku.
Arofah menghela napas berulang-ulang.
“Ra, aku tahu ibumu percayaaa... banget sama Kamu, dan Kamu juga punya bekal ekstrakurikuler bela diri dari sekolah dulu, tapi ... aku setuju banget dengan Ustaz Hamzah, gimana-gimana juga, Kamu perempuan, Ra. Besok lagi kalau ada kejadian serupa, atau yang darurat-darurat gitu, bisa koordinasi dulu gitu,” saran Arofah yang terdengar seperti nasehat kakak-kakak.
“Iya, Ra. Aku setuju. Kalau bisa, koordinasinya jangan mendadak, biar aku bisa cari kostum yang tepat untuk acara-acara seperti itu,” sahut Salwa seolah tak berdosa.
“Wa! Menurutmu itu acara darurat mirip kondangan gitu?” timpal Imla sewot.
Salwa mengedikkan bahu dengan ekspresi tak peduli.
Aku tertawa melihat dua temanku itu.
“Iya, aku nggak gitu lagi,” pungkasku sambil melihat seorang ukhti yang diserahi tugas sebagai koordinator kelas yang sedang memerintahkan kami semua untuk segera masuk ke ruang kelas yang ada di belakang kami.
Ruang kelas ini adalah salah satu ruangan dalam komplek masjid Al Imaddudin yang lumayan luas.
Ruang yang kadang difungsikan untuk kegiatan lain ini, diberi sekat setinggi kurang lebih satu meter untuk memisahkan antara laki-laki dan perempuan.
Sekat yang dibuat dengan kain warna krem itu memisahkan kami semua bertiga puluh lima orang yang ikut dalam ngaji akselerasi.
Tidak semua yang ikut ingin melanjutkan kuliah di jurusan agama, ada juga yang hanya ikut untuk menambah pengetahuan tentang agama yang ternyata masih ketinggalan jauh dari yang seharusnya.
Beberapa saat kemudian aku melihat Arif masuk sambil membawa tumpukan buku dan meletakkannya di meja kecil yang diperuntukkan untuk pengajar. Kali ini, meja itu berada di depan barisan laki-laki.
Aku tersenyum melihat teman kecilku itu yang sekarang mengenakan baju koko dan celana panjang dari bahan kain.
Arif kemudian duduk di barisan paling depan.
“Heh!” seru beberapa di antara tolibah di deretanku termasuk tiga teman dekatku, gimana enggak? Ustaz Hamzah masuk ke ruang kelas ini.
Para murid perempuan yang tadi berseru kemudian gemerisik berbisik-bisik.
Ustaz Hamzah mengucapkan salam kemudian meminta semua tenang.
“Perkenalannya sudah kemarin ya, jadi tak perlu diulang lagi, yang jelas, sekarang saya akan mengajar kalian di kelas shorof ini untuk menggantikan Ustazah Hafsah yang untuk sementara ini sedang berhalangan,” ucap ustaz ganteng dengan runut.
“Saya diinformasikan bahwa kalian semua sudah mendapatkan kiriman file pdf untuk pelajaran kali ini, saya harap kalian sudah membacanya sedikit-sedikit agar bisa mengikuti apa yang akan saya jelaskan,” lanjut Ustaz Hamzah sambil berdiri dan mulai mencorat-coretkan spidol pada papan putih itu dengan tulisan Arab.
Ah! Bukannya konsentrasi pada apa yang sedang dipaparkan di depan kelas, pikiran ini malah menggembalakan angan di padang rumput halusinasi yang luas.
Di sana, ada sebuah rumah mungil yang indah dengan Ustaz Hamzah berada di dalam sana dan aku yang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang menyenangkan.
Sebuah imajinasi sederhana yang mungkin juga dimiliki banyak tolibah yang ada di balik sekat warna krem ini.
“Aku mau menjadi sayap tak terlihat untuknya, menjadi suara yang selalu meleburkan seluruh doa untuknya, menjadi- agh!” Anganku berserakan ketika pipi ini terserempet sesuatu yang sepertinya dilemparkan dengan pelan.
Dengan separo masih berada dalam alam imajinasi, kepala ini menoleh dan menemukan satu penghapus warna hitam dengan gagang biru.
“Heh! Iya. Aku sedang ada dalam kelas Ustaz Hamzah,” seruku dalam hati.
“Zurraya Ghaida! Kaifa haluk ya at tolibah?” seru suara Ustaz Hamzah ketika mata ini masih menatap penghapus papan putih itu.
“Eh! Ana ... ana ... ana ... oke, Ustaz!” seruku setengah teriak.
Mendadak suara riuh tawa berkumandang di ruang kelas.
Ah ... untung aku sudah dapat sertifikat malu dua belas, hilang sebelas, masih tertinggal satu malu.
Satu tangan menyenggol bahuku.
“Ssst! Khoir! Khoir!” bisik suara Imla yang berada di sebelahku.
“Ana khoir, Ustaz!” ulangku yang tadi lupa bahasa Arabnya kata baik.
“Alhamdulillah, kalau begitu silahkan tasrif kata jalasa, Rayya!” perintah Ustaz Hamzah dengan tenang.
“Ya?” seruku dengan sedikit bingung, migrasi dari alam imajinasi itu masih membuat otak ini belum berfungsi maksimal.
“Jalasa, Ra!” bisik Arofah yang ada di sebelahku sambil menunjuk huruf hijaiyah ja, la dan shin yang ada di layar net bookku.
“Oh!” seruku sambil deg-degan mengingat-ingat apa yang kemarin k****a di rumah.