Melihat Celah

1128 Kata
Wah! Mendadak ada tekanan dalam kepala ini, sudah kemarin rahasia zaman pra hijrah bocor, sekarang pas kelas ustaz ganteng malah kena sapaan penghapus papan tulis gara-gara mengembara ke alam imajinasi lagi. Dengan menumpukan kekuatan, aku segera mengorek ingatan yang tersimpan ketika aku sedang melakukan pencitraan pada Sang Emak yang Mulia untuk mengubah kata dalam bahasa Arab yang berarti duduk itu ke dalam bentuk kata lainnya. “Jalasa, yajlisu, juluusan, jaalisun, ijlis, la tajlis,” jawabku setelah beberapa saat berpikir. Ustaz Hamzah sejenak diam. “Dan artinya?” lanjutnya dengan tenang. Toeng! Ternyata kerja memeras otak banting lidah belum kelar. Sejenak aku diam, dengan tekad, jika cerita ini sampai ke telinga Emak melalui para guru, aku punya pembelaan. “Dia telah duduk, dia sedang atau akan duduk, duduk, orang yang duduk, duduklah! Janganlah Kamu duduk!” jawabku dengan pelan dan tersendat ... ya ‘kan baru baca pdf sekali, itu pun karena pencitraan. Kelas hening. “Alhamdulilah, salah satu teman kita baru saja memberikan contoh perubahan kata pada tasrif istilahi. Dan ... seperti kata yang baru saja ditasrif, walaupun artinya sama, tapi jalasa berbeda dengan qo’ada, jalasa mengandung arti bergerak dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, sedang qo'ada sebaliknya. Kita, lanjutkan membahas tema berikutnya. Rayya, tolong fokus ya ...!” ucap Ustaz Hamzah pelan. Pfuh .... alhamdulilah, aku mengembuskan napas kelegaaan dan kemenangan. Aku berusaha tak tergoda dengan bujukan khayalan yang terus menarikku kembali ketika mendengar paparan my bias. Aku nggak mau penghapus yang baru saja dikembalikan ke depan itu kembali mendarat ke pipiku, untung saja kelas diajarkan dengan menggunakan spidol, coba jika masih pakai kapur tulis, bisa-bisa pipi ini mendadak di-endorse loose powder merek kapur tembok. Beberapa saat kemudian kelas sepi dan kadang-kadang hanya diisi bisik-bisik di antara tholib di sebelah sekat sana dan tholibah di dekatku. Semua sibuk menyelesaikan tugas mentasrif kata di mana satu kata membutuhkan satu lembar kertas jawaban. “Jika sudah selesai, tugas bisa dikumpulkan, Arif, bantu teman-teman mengumpulkan tugas ya!” perintah ustaz pada Arif. Suara teman dekatku yang segera menyahut patuh terdengar dari balik sekat. Mendadak sesuatu terlintas di benakku. “Hem ... kelihatannya Arif mendapat kepercayaan dari my bias,” cetusku dalam hati. Mata ini mengikuti gerak Arif yang sedang berjalan ke arah meja ustaz dengan membawa kertas. Bibir ini tertarik ke belakang dan membentuk satu senyuman kumpeni yang sedang melihat kekayaan alam nusantara sebelum kedatangan tentara Nippon. Eit! Tiba-tiba siku ini disenggol dengan kencang, aku menoleh ke arah Arofah. “Informasi harus tetap dibagi-bagi, apapun itu, bagaimanapun cara mendapatkannya,” ucap Arofah tegas sambil menggerakkan kepala ke arah Arif. “Wah! Bagaimana Arofah tahu apa yang sedang kurencanakan?” ucapku dalam hati dengan mata membelalak. “Bukan Kamu saja yang bisa melihat ustaz ganteng yang sedang menyambut pertobatan teman kecilmu itu,” ucap Arofah yang segera membaca keterkejutan di wajahku. Imla yang baru saja menyelesaikan tugas mencondongkan badan hingga mendorong lenganku. “Apa? Apa?” bisiknya lirih. “Nanti akan di-share di grup,” jawab Arofah dengan pelan. “Eh! Kalian kalau mau rembugan tungguin aku dong!” ucap Salwa yang berada di sebelah Imla. Aku melirik kertasnya dan teman dekatku itu sedang menulis lajur terakhir kolom la nahy. “Nanti akan diumbar di grup fandom kita,” sahut Imla melanjutkan ucapan Arofah. Salwa mengangguk sambil menulis dengan cepat tasrif terakhir sebelum kertas dikumpulkan. Beberapa saat kemudian kelas selesai, kami diizinkan istirahat tiga puluh menit sebelum masuk ke kelas fiqih. Kami berempat menggelesot di depan ruang kelas. “Ra, tuh!” seru Arofah pelan sambil menyenggol lenganku pelan. Aku menoleh dan melihat Arif sedang berjalan dengan cepat ke arahku, di belakangnya ustaz ganteng berdiri menunggu dengan melihat ke arah lain. “Rayya!” panggil Arif, teman dekatku itu mempercepat langkah, bungkusan plastik di tangan kanannya bergoyang-goyang. “Dari ibuk, Ra,” katanya sambil mengangsurkan bungkusan itu ketika sampai di dekatku. Aku menerima bungkusan itu sambil mengintip sosok yang agak di belakang sana sedang berdiri menunggu Arif. “Ibuk bilang makasih, Ra,” ucap Arif dengan cepat kemudian berbalik dan berjalan dengan cepat ke arah ustaz ganteng. “Siapa yang sekarang bantu Ibumu, Rip?” seruku dengan suara nggak ditahan-tahan. “Kalau ada jadwal pagi begini, minta tolong orang,” jawab Arif tanpa menoleh dan juga dengan volume mendekati pol. Ternyata percakapan kami sedikit menarik perhatian, beberapa teman yang sama-sama istirahat di serambi ini menoleh. “Ihh ... untung cuekmu itu lo, Ra, dua ratus lima puluh persen, dari tadi bikin noleh orang,” komentar Imla yang mungkin masih mengingat aksi pelemparan penghapus itu. “Em ... itu belum seberapa, Im, rencana mau kutingkatkan sampai tuju ratus lima puluh persen,” jawabku santai sambil membuka bungkusan plastik dari Ibu Arif. Aku tersenyum melihat camilan ringan khas dari kota tetangga ini. Segera tangan ini merobek plastik yang memenjarakan makanan kesukaan ini dan membagi-bagikan pada teman-teman yang ada di serambi ini. Arofah menyenggol tangan ini. “Ra, Kamu masih punya nomor Arif?” tanya teman yang paling dewasa di antara kami ini. “Em ... nggak tahu nomor dia yang sekarang, sejak dia ugal-ugalan seperti sebelum ini, kami nggak komunikasi lagi,” jawabku jujur. “Ini tentang apa?” tanya Imla yang dengan segera tanggap dan membuka grup fandom ustaz ganteng untuk membuka apa yang dijanjikan Arofah di kelas shorof tadi. Salwa melongok layar handphone Imla, kemudian kedua mata teman dekat itu sama-sama berbinar. Ketiga temanku seketika merapatkan posisi duduk, khawatir grup lain yang kemungkinan besar juga terdaftar sebagai fans ustaz ganteng mendengar. “Jadi, gimana cara mengorek informasi dari Arif tentang our bias?” ucap Arofah lirih. aku sejenak terdiam, lalu mengedikkan bahu. “Em ... kalau ... misalnya langsung minta nomor kontak beliau dari Arif gimana?” celetuk Salwa nekad. Kami bertiga seketika langsung menoleh ke arahnya. “Aku pastikan nomor itu hanya akan kita tengok tanpa berani menuliskan pesan,” tukas Imla, kemudian terkekeh geli. Seketika kepala kami berganti menoleh ke arah Imla. Yang ditoleh menyengir sebal. “Kalian memang berani menulis pesan lain selain Assalamualaikum?” tantang Imla sambil mengedikkan bahu dengan melempar tatapan sinis. “Trus pagi, siang, sore, malam kalian hanya akan menulis salam itu, gitu? Apa nggak masuk dalam daftar blokir nomor kontak kalian?” imbuh Imla dengan tatapan yakin. Aku terkekeh, kemudian mengangguk. “Masuk akal ... itu masuk akal,” ucapku kemudian. “Hem ... kalau gitu bisa kita lupakan minta nomor kontak itu,” sahut Salwa agak sedih. “Trus gimana cara kita mengorek informasi tentang our bias dari Arif, Ra?” lanjut Arrofah masih dengan suara lirih. Aku diam sejenak. “Nggak mungkin langsung gitu ‘kan? Kalau ketahuan ‘kan malu, walaupun malu dua belas, kalau ketahuan nggak bisa cuek lagi,” balasku menyerah. “Trus gimana dong caranya?” tanya Salwa dan Imla berbarengan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN