“Ya, Ustaz?” ulangku berusaha lebih kalem, sepertinya, jawaban pertamaku mengandung satu ons kejengkelan.
“Em ... ustaz ikut senang Kamu bisa membantu keistiqomahan temanmu. Tapi, kalau bisa, besok lagi, jika ada hal-hal darurat, Rayya bisa mencari bantuan. Menghubungi dewan masjid, menghubungiku atau teman lain. Em ... ini bukan karena ustaz meremehkan kemampuan Rayya atau mengentengkan perempuan ya, tapi hanya jaga-jaga aja, khawatir ada hal-hal yang di luar kendali kita,” saran Ustaz Hamzah lembut.
“Ya, Ustaz,” jawabku patuh.
Hem ... jujur saja, di benak ini tak begitu memikirkan frasa "kondisi di luar kendali" yang dikhawatirkan ustaz ganteng.
Aku lebih mengkhawatirkan pencitraan yang belum sempat dibangun, tapi sudah hancur berderai-derai. Aku membayangkan apa yang dipikirkan my bias ini tentangku.
Oh ... sedihnya.
Aku terus berjalan dengan langkah berat di belakang kedua laki-laki ini.
Kami kembali masuk ke kampung.
Di otak ini terus membayangkan kalah dari tiga rekanku, anggota grup fandom ustaz ganteng.
Aku masuk ke lorong yang menuju rumahku, sedang Ustaz Hamzah mengantar Arif ke RT lain yang beda lorong.
Sampai di teras rumah aku merebahkan sepeda dengan sembarangan. Mengucap salam dengan lemas dan masuk ke rumah.
“Gimana? Gimana, Ra? Arip gimana?” berondong Emak begitu melihatku masuk.
Aku mengembuskan napas panjang dengan bahu yang seketika bergerak turun.
Emak mengikuti langkahku yang langsung menuangkan segelas air putih, kemudian menarik kursi pendek kayu tanpa sandaran dan duduk dengan meluruskan kaki.
Segelas air dalam tiga kali teguk setelah membaca bismilah beralih ke usus-ususku.
“Aman, Mak. Arip aman,” jawabku dengan muka yang ditekuk-tekuk.
Emak mengembuskan napas lega.
“Arip nggak luka ‘kan?” lanjut Emak sambil menarik jenis kursi yang sama dan duduk di dekatku.
Aku mengangguk.
“Kalau memar-memar sedikit nggak papa itu, Mak. Dia ‘kan anak laki-laki,” jawabku dengan pikiran yang fokus pada diriku sendiri.
“Trus, Kamu sendiri gimana?” ucap Emak seolah baru tersadar harus mengetahui keadaanku.
“Aman, Mak. Very ... very ...aman. Untung saja, teman bandel Arip itu lawan lamaku, itu lo Mak, teman SD yang dulu Emak sampai dipanggil ke sekolah pas Rayya kelahi,” ucapku dengan biasa saja, sekali lagi, pikiran ini masih fokus dengan kegelisahan pribadi.
Emak kembali mengembuskan napas lega.
“Alhamdulillah, untung saja semua baik-baik saja, jadi aku dan Dek Zaitun nggak mendadak dapat masalah. Semoga teman-teman SD mu segera tobat, disadarkan Allah, kasihan orang tuanya,” ucap Emak penuh kesyukuran.
“Aku dari tadi sampai bingung mau ngapain, khawatir banget,” ucap Emak sambil beranjak dan berjalan menuju satu meja ... em ... satu-satunya meja yang ada di ruangan ini.
Tangan emak mendekatkan tepung, telur dan beberapa bahan lain di tepi meja.
“Eh!” seru Emak tiba-tiba.
Emak yang mengenakan daster panjang dengan bahan dingin dan motif batik itu mendekat ke arahku.
“Trus kenapa mukamu terlunta-lunta gitu?” seloroh Emak sambil mengamati wajahku yang non sumringah.
Aku menyengirkan hidung sambil melirik kesal.
“Kenapa harus begitu? ‘Kan semua aman? Weri ... weri ... aman katanya. Bersyukur dong, Ra!” lanjut Emak dengan tenang.
Aku tambah cemberut.
“Mau bersyukur gimana, Mak? Tuh Si Arip, dia tuh malah membongkar kehidupan masa pra hijrah Rayya pada ustaz Hamzah itu. Apa nggak hancur citra diri yang pengen Rayya bangun? Padal Rayya tuh ingin menjadi sosok seperti sahabiah Rasul yang anggun, santun dan menjaga haibah muslimah di mata ustad itu. La ini, sisi kepremanan Rayya di masa lalu malah diusik-usik. Sekarang masih preman seh, Mak. Tapi, ‘kan sedikit ... hu ...,” keluhku sambil ingin menangis, tapi sangat disayangkan tak ada air bening yang menetes dari mata ini seperti di sinetron-sinetron itu.
“Heh?!” seru Emak, kemudian sejenak terdiam.
Berikutnya aku yang terkejut ketika Emak tiba-tiba terbahak-bahak.
“Mak!” protesku kesal.
“Eh! Eh! Dengar ya, Tuan Putri Ayu Kerajaan Papan Triplek,” sebut Emakku dengan ekspresi geli yang masih bertebaran di seluruh wajahnya.
“’Kan bagus jika ustaz yang ... yang ... apa kemarin? Yang perst mit itu? Nah! Kan bagus jika ustaz itu tahu Kamu yang sebenarnya, gimana jika dia belakangan tahu jika murid yang disangka mirip sahabat nabi yang perempuan ternyata grudak-gruduk? Bisa semaput beliau, pingsan, Ra. Lagian, emang ada gitu, sahabiah yang lupa uluk salam pas masuk rumah?” balas Emak kemudian kembali tertawa.
Bibir ini tambah monyong dua centi gara-gara kecemberutan memuncak.
“Itu ‘kan pas emergency, Mak! Darurat ... darurat! Gimana lagi? Biasanya ... en seringnya Rayya nggak gitu ‘kan?” protesku tak terima pada Emak yang malah nggak ngebelain aku.
Emak kembali menarik bangku pendek tanpa sandaran dari bahan kayu itu, kemudian duduk di sampingku.
“Bagaimanapun Kamu, apapun yang terjadi, apapun yang akan dibilang orang, lebih baik menjadi diri sendiri, selama Rayya nggak keluar dari apa yang dititahkan Allah dan Rasullullah, udah ... bablas aja,” nasehat Emak praktis.
Aku menoleh dan menatap Emak dengan wajah yang masih cemberut.
“Tapi, Emak ‘kan nggak tahu, kalau aku sedang bersaing dengan ketiga temanku,” ucapku dalam hati.
Tapi, tak urung nasehat Emak sedikit melegakan hati, meringankan beban mental gara-gara mulut Arip yang rembes.
“Dah! Sudah! Sedihnya sudah! Sedihlah untuk hal-hal yang lebih bermutu!” titah Paduka Yang Dipertuan Agung Emak sambil beranjak.
Emak berdiri sejenak di depan meja dengan ukuran satu setengah kali dua meter itu.
“Ra, bangunin Emak jam sebelas ya, nunggu Kamu tadi kok Emak jadi kerasa capek,” ujar Emak sambil berjalan ke arah tangga.
“Siap, Adipati!” seruku sambil berjalan ke arah meja dan melihat apa yang harusnya dikerjakan Emak.
Dengan cekatan aku mengambil wadah plastik dan membuat kulit lumpia.
Sekilas aku menoleh pada handphone yang tergeletak tak berdaya di dekat kamar mandi sejak wudhu salat maghrib tadi. Tapi, aku menunda menyalakan benda pipih itu.
Ada larangan keras dari CEO kue-kue di rumah ini untuk memegang handpone ketika sedang mengerjakan pesanan pembeli.
Bagi Emak, jika karena itu, bahan-bahan terbuang, karena gosong atau kecelakaan lainnya, itu akan dihitung setara dengan membuang jiwa-jiwa suci ke dalam kegelapan.
Pernah satu kali ketika pesanan-pesanan kue menurun, aku pernah mengutarakan imaginasiku yang ingin memiliki kekuatan bisa menyentuh semua benda menjadi emas dan ... Emak mengijinkan jika itu nyata, tapi, tetap saja, kecuali menyentuh bahan-bahan kue ini.
Aku tersentuh mengingat keinginan khayal itu dan memperlakukan kulit-kulit lumpia yang sudah jadi ini dengan penuh tanggung jawab.
Kurang dari dua jam tumpukan kulit lumpia itu sudah jadi.
Aku membereskan semua pernak-pernik ini dan segera bergegas menyambar handphone dengan tidak sabar.
“Eits! Eit!” gumamku lirih ketika tombol power ditekan dan notifikasi pesan masuk dengan membabi buta.
“Dari kamarku, aku dengar Kamu bicara dengan Ustaz Hamzah tadi, Kenapa?” tulis Arofah pada pesan teratas.