Aku menghela napas dengan tak semangat.
“Nanti aku pikirkan,” sahutku sambil mengedikkan bahu.
Sedetik kemudian koordinator kelas kembali mempersilahkan tholibah di serambi masjid untuk masuk kelas.
“Jangan ngelamun lagi!” saran Arofah sambil menepuk bahu ini pelan.
Aku mengangguk ... ya mengangguk aja dulu, entah nanti, nggak janji.
Beberapa saat kemudian ustazah pengajar fiqih datang dan sesaat, mengingatkan kami yang perempuan tentang aurat yang sepertinya sepele, tapi sering ditinggalkan.
“Saya bawa hadiah buat teman-teman yang hari ini belum pakai kaos kaki,” ujar ustazah sambil meletakkan tumpukan kaos kaki di atas meja. Kali ini, meja itu sudah digeser di depan deretan murid perempuan.
Beberapa orang di antara kami yang belum memakai kaos kaki untuk menutup the last aurat itu, segera maju dan mengambil kaos kaki itu.
Aku melongokkan kepala lebih tinggi sekadar memuaskan rasa kepo, melihat tumpukan kaos kaki yang dalam waktu singkat telah beralih tangan.
Beberapa saat kemudian, pelajaran lanjutan tentang thaharah dimulai. Aku berusaha keras fokus pada jenis air yang suci dan mensucikan yang sedang diajarkan ustazah karena entah belahan otakku yang mana yang terus berusaha memikirkan cara untuk mengorek informasi tentang my bias dari Arip.
Beberapa saat kemudian kelas selesai, setelah salah dzuhur berjamaah dan menyambar pembagian pengganjal perut yang disediakan masjid, aku berusaha menemukan sosok Arip di halaman masjid.
“Rip!” seruku ketika hendak membalikkan arah sepeda.
Teman kecilku itu sedang berjalan mengekor Ustaz Hamzah. Arip menoleh tanpa mendekat, sepertinya terburu-buru.
“Kalau pulang mampir ya!” seruku tanpa peduli dengan beberapa orang yang menoleh.
Arip mengangguk dan mengacungkan jempol dari tempat ia berdiri.
Aku tersenyum puas, segera meninggalkan halaman masjid untuk mengambil titipan belanja Emak.
Sore datang dengan cepat.
“Ra, dicari Arip!” seru Emak dari lantai bawah.
Aku menyahut dan segera turun dengan jilbab instan besar.
“Napa, Ra?” tanya Arip begitu melihat kepala ini nongol di pintu.
“Rip, jangan bongkar-bongkar aib lagi ya kayak kemarin!” ceplosku tanda basa-basi.
Arip terkekeh.
“Itu ‘kan bukan aib, tapi fakta,” sanggah Arip kemudian cengengesan.
Sebenarnya dia nggak jelek, ganteng juga, tapi jika jurus cengengesannya dikeluarkan, karakter jahilnya otomatis terlihat mendominasi.
Aku berdehem dengan sengaja.
“Rip, ‘kan ya malu cerita kebandelan masa pra hijrah ke Ustaz Hamzah, cerita kek ke yang lain!” balasku dengan bersungut-sungut kesal. Lawan bicaraku ini menepiskan tangan.
“Eh, ustaz kita itu ‘kan nggak kayak yang lain, dia itu punya ... punya ... sebut saja punya cara. Lihat cara dia membangunkanmu dari tidur di kelas tadi, beda ‘kan?” ujar Arip membuat pembelaan.
Aku menyengirkan hidung sambil melancarkan tatapan protes.
“Rip, aku tadi nggak tidur, cuma nggak fokus aja,” seruku tak terima. Arip mengedikkan bahu.
“Heh!” seru Arip sambil sekilas menatapku.
Teman sebaya yang duduk di lantai semen selebar semeter di depan rumah papan Emak ini sepertinya baru teringat sesuatu.
“Kamu nyuruh aku mampir cuma buat protes itu, Ra?” ucapnya heran.
Aku menggeleng.
“Aku ingin tahu apa saja ilmu yang sedang diturunkan Ustaz Hamzah ke Kamu,” ucapku tiba-tiba.
Seketika Arip menatap dengan bingung.
“Kulihat Kamu sekarang sudah dinobatkan jadi ekor Ustaz Hamzah, ke mana-mana ikut, em ... juga kulihat Kamu udah terlihat beda dengan kemarin, makin baik. Na ... aku yakin pasti banyak ilmu yang sudah ditransfer ke Kamu ‘kan, Rip. Bagi-bagi dong! Aku ‘kan juga baru beberapa bulan ini tobat, masih butuh banyak ilmu,” tuturku diplomatis.
Sejenak Arip terlihat sedang berpikir, kemudian kepalanya mengangguk-angguk.
“Iya. Memang sejak bertemu di masjid kemarin itu, informasi tentang Islam dari beliau itu kayak banjir gitu, Ra. Dikasih tahu ini itu, dipinjamin buku ... selain dikasih baju-baju kayak gini,” jawab Arip sambil menunjuk baju kokonya dengan pandangan mata.
“Em ... Rip, tapi jangan nyangka yang enggak-enggak ya, ini sekadar demi pemerataan ilmu, ilmu harus dibagi, jangan hanya berhenti di Kamu,” bujukku untuk menutupi kondisi perbucinan dalam hati.
Arip mengangguk-angguk.
“Tenang ...! Santai aja!” ucap Arip enteng, sesaat kemudian ia terdiam.
“Ra, dalam beberapa hari ini, kepergian bapakku seolah bukan masalah, kedatangan Ustaz Hamzah seperti mengisi tempat yang kosong di sini,” ucap Arip sambil menyentuh dadanya.
Aku terkesiap.
“Wah! Sampai seperti itu efeknya, tapi baguslah!” seruku dalam hati.
“Em ... justru Ustaz Hamzah ini bisa memberikan nasehat bidang agama, bisa memberikan sesuatu yang bapakku nggak bisa. Dalam beberapa hari ini aku sudah ngefans dia, Ra,” curhat Arip sambil sekilas menoleh ke arahku.
Aku nggak melihat ada tanda-tanda kebohongan di wajahnya.
Dengan cepat aku menepukkan tangan dan menjentikkan jari di depan wajahku.
“Kenapa, Ra?” ucap Arip heran.
“Rip,” jawabku dengan antusias.
“Aku memang belum sampai tahap itu, Rip. Belum sampai taham mengisi kekosongan dan semisalnya itu. Tapi Rip, satu yang pasti, aku juga ngefans sama Ustaz Hamzah,” seruku gegap gempita.
Oh ... Alhamdulillah, aku tak perlu mencari cara untuk mengorek informasi lebih jauh tentang my bias dengan rasa takut ketahuan.
Arip tersenyum lebar.
“Berarti kita ada dalam sekte yang sama, Rip,” imbuhku penuh semangat.
Senyum Arip tambah lebar.
“Aku merasa Allah mengirimkan bapak ideologis, Ra,” sahut Arip dengan semangat.
Aku mengacungkan dua jempol.
“Mantap, Rip. Kita bisa jadi die hard-nya Ustaz Hamzah. Jadi, gimana kalau Kamu bagi-bagi informasi tentang bias kita yang baru itu? Setuju?” tawarku bak sapidermen sedang menebarkan jaring-jaring bujukan sambil membajak sawah.
Arip sejenak terdiam, menatapku sambil tersenyum, kemudian menganggukkan kepala tanpa ragu.
“Yes!” Aku bersorak dalam hati, semudah ini jalanmu ya Allah ... inikah tanda-tanda aku didekatkan dengan ustaz ganteng.
Ah ... mendadak aku jadi juragan halu.
Tak lama kemudian, Arip pamit, dia harus segera membantu ibunya.
Beberapa hari kemudian, grup perpesanan warna hijau selalu ramai dengan informasi tentang our bias. Apa buku kesukaan Ustaz Hamzah, apa makanan kegemaran, warna paling disukai, tempat favorit serta informasi detail dan remeh lain dengan cepat kami ketahui. Sebagai anggota fandom ustaz ganteng, kami berusaha all out mengetahui itu.
Tiba-tiba, suatu siang, sebuah notifikasi pesan masuk dalam handphone ketika aku sedang menemani Emak tidur siang.
“Ra, turun! Aku ada di depan pintu rumahmu.”
Pesan dari Imla membuatku bergegas meninggalkan Emak, dengan berjalan berjingkat menuruni tangga.
Aku membuka pintu dan melihat Imla duduk di bangku kayu yang tak begitu panjang yang ada di samping pintu rumahku.
Karena rumah Emak ini hanya memiliki satu ruangan, biasanya tamu laki-laki atau tamu yang hanya mampir sesaat akan duduk di bangku itu.
Imla menarik tanganku dan membuatku duduk di bangku yang memang hanya muat untuk dua orang dengan badan kurus ini.
“Kamu benaran dengan Arif hanya temenan?” ucap Imla nggak pakai mukadimah.
“Ya?” sahutku bingung.