Aku menatap Imla dengan heran.
“Kenapa mendadak ada pertanyaan seperti ini lagi? ‘Kan kalian pernah nanya,” sahutku masih dengan heran.
Imla mengamatiku penuh selidik dengan menggerakkan kepala ke kiri ke kanan tak jauh dari wajah ini.
“Ada apa sih La? Kamu baik-baik saja ya?” balasku dengan curiga.
“Eh! Kamu suka ke Arip ya?” cetusku mencoba menebak asal muasal kelakuan Imla.
Gadis berjilbab warna dusty pink itu memicingkan mata dengan sorot sinis.
“No. No . No!” sahutnya sambil menggerak-gerakan telunjuk tepat di depan hidungku.
“Aku nggak akan mengkhianati sumpah setia fandom ustaz ganteng,” jawabnya tegas.
Imla melanjutkan tatapan penuh selidiknya ke wajahku.
“Beneran Kamu dan Arif nggak ada hubungan apa-apa?” ulangnya dengan wajah serius.
Aku dengan cepat mengangguk tanpa ragu.
“Ah ...!” serunya tak senang.
Aku mengernyitkan kening.
“Kenapa?” sahutku bingung.
“Padal aku sudah senang, berkuranglah satu saingan jika itu benar.” Jawaban Imla menambah bobot bingung dalam otak ini.
Aku mengembuskan napas panjang sebagai praktek memperpanjang kesabaran dan menekan segala bentuk penasaran yang menerabas ke otak.
“Wahai Imla! Tolong katakanlah yang benar walaupun pahit!” seruku sambil menggerak-gerakkan tangan ala anak TK sedang deklamasi.
Pembacaan puisi pendekku itu terpotong dengan cengiran Imla yang disertai sorot jengah.
Imla menghirup udara dalam-dalam seolah sebentar lagi akan ikut lomba lari sprinter seratus meter.
“Aku baru saja pergi ke koperasi masjid, beli ini,” ucapnya sambil meletakkan kantong plastik warna hitam tepat di depan wajah ini.
“Dan ... sese-ukhti mendadak menanyakan tentang kabar kedekatanmu dengan Arif,” lanjutnya dengan kata-kata yang diperlambat ala slow motion adegan film action.
Aku terkejut.
“Ukhti-ukhti masjid?” tanyaku ragu.
Imla mengangguk membatalkan telingaku yang merasa salah dengar.
Imla mendengkus dalam.
“Hem ... aku sudah berharap melihatmu dengan ekspresi malu-malu mengakui skandal itu, sayang sekali itu tidak terjadi, berarti jumlah grup fandom kita tetep empat,” ujarnya kecewa, bahunya sedikit turun.
Aku memonyongkan bibir.
“He! Bukan Kamu saja yang nggak ingin berganti janji, aku ‘kan fans kelas beratnya ustad ganteng juga,” protesku tak terima.
“Hem ... hem ... menyesal deh,” ucap Imla cuek.
“Ya udah, pulang dulu ya ..., isi bungkusan plastik ini sudah ditunggu ayahku,” ucap Imla sambil keluar dari pagar rumah yang terbuat dari kayu murah setinggi satu meter lebih sedikit.
Aku menjawab salam Imla dan segera masuk dengan mengkerut-kerutkan wajah.
“Kok bisa ada ukhti-ukhti di masjid menanyakan itu?” tanyaku dalam hati sambil kembali menaiki tangga dengan langkah tanpa suara. Kemudian aku kembali memeluk Emak yang terlelap kecapaian.
“Kok bisa ya?” gumamku lirih takut membangunkan Emak.
Ah! Mungkin beberapa orang yang sering melihat kedekatanku dengan Arip di masjid salah mengartikan itu. Beberapa laki-laki dan perempuan di masjid memang biasa berkomunikasi secara wajar. Tapi, mungkin aku dan Arip dianggap melebihi kewajaran.
Aku coba menganalisa lebih dalam, tapi angin surga yang masuk dari jendela depan rumah papan ini membujuk kelopak mata ini untuk lengket.
Dan begitulah, aku malah menyusul Emak ke zona mimpi.
Waktu dengan cepat berlalu dan jadwal ngaji akselerasi hari ini dilaksanakan siang ba’da dzuhur.
Aku memarkirkan sepeda mini di halaman masjid dan berjalan dengan pelan.
Jam-jam kritis bagi mata ini membuat langkah terasa berat. Untung saja, ustaz yang akan mengajarkan sirah nabawiyah ini suaranya tegas dan lantang. Sempat suara ustaz itu lirih mendayu lembut, meja panjang tanpa kaki dalam ruang kelas itu pasti akan menjelma menjadi tempat merebahkan kepala di kala jam tidur siang ini.
Hem ... jika itu terjadi, pasti pelajaran tentang riwayat Rasulullah itu akan berubah menjadi riwayat mimpi sendiri.
“Eits!” Mata ini bersirobok dengan tatapan dari seorang ukhti yang menatapku dengan cara yang tak biasa. Cara yang nggak sama dengan tatapan hari-hari sebelumnya.
Aku terus melangkahkan kaki dan berikutnya menemukan hal yang sama. Kali ini sebuah lirikan dari seorang ukhti teman satu kelas yang berjalan mendahuluiku.
“Ini ... kenapa orang-orang ini?” ucapku heran.
Beberapa dari mereka mengucapkan salam seperti biasa. Tapi, di tengah hal yang biasa itu juga terpancar cara yang tak biasa dari tatapan matanya.
“Em ... apa ini berkaitan dengan yang kemarin dibicarakan Imla?” cetusku dalam hati.
Sepertinya begitu, jika mereka menganggap kedekatanku dengan Arip tak wajar, saat ini mungkin mereka menganggapku saat ini sedang pacaran dengan Arip. Padahal di masjid Al Immaddudin ini sedang digencarkan program “ Jangan mendekati zina!”
Aku mengembuskan napas panjang.
“Mungkin itulah asal muasal dari tatapan-tatapan tak biasa itu,” ucapku dalam hati tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Ra!” Suara yang sangat kukenal terdengar memanggil dari arah belakang.
Aku menghentikan langkah dan menoleh pada pemilik suara.
“Dari ibuk, ini Kamu dua dan tiga temanmu itu bisa satu-satu,” ucap Arip enteng sambil memegang tiap jeruk yang berada dalam kantong plastik.
Aku tertegun melihatnya.
“Apa Arip tahu?” ucapku dalam hati.
Aku berdiri sambil melihat Arip yang makin hari makin terlihat baik. Wajahnya makin bersih dan semringah. Baju-bajunya tambah sopan dan layak lihat, dan logam tak mulia yang biasa nyangkut di telinganya kini tak ada. Arip kini lebih kayak manusiawi. Hem ... aku lebih dulu bertobat beberapa bulan daripada dia, tapi sepertinya ia bisa mengejarku
“He! Ra! Malah bengong,” seru Arip yang menyadari aku belum bergerak sejak menerima sekantung jeruk darinya.
“He!” seruku dalam hati tiba-tiba.
“Apa ukhti-ukhti tadi ternyata ada yang naksir Arip, dia ‘kan nggak jelek juga, itukah asal dari tatapan-tatapan tak biasa itu?” lanjutku dalam hati.
Arip mendekat selangkah.
“Ra! Assalamualaikum,” ucap Arip sambil melambai-lambaikan telapak tangan di depan wajah ini.
“Heh!” seruku sambil mundur selangkah.
“Ya, sapa suruh bengong,” ucap Arip enteng kemudian bergegas ke arah ruang di mana Ustaz Hamzah biasa di sana.
Aku melirik penuh rasa iri.
Aku menghela napas panjang. Jujur saja, aku memang cuek dan cenderung sembarangan, tapi, bagiku masjid adalah batas aman.
Di tempat yang diberkahi dan tempat menimba sekaligus mengamalkan ilmu ini jika ada tatapan-tatapan dan berita tak benar beredar akan terasa mengganggu, seperti mendegradasi kemuliaan masjid.
Tapi ... nggak bisa disalahkan juga sih, aku dan Arip memang belum bisa mengubah kebiasaan kami yang memang dekat sejak kecil dan hanya terpisah sesaat ketika teman sebayaku itu mengalami krisis keluarga.
Aku melanjutkan langkah dengan pelan ke arah ruang kelas yang akan kami gunakan.
Mata ini belum melihat kedatangan Imla dan dua teman anggota fandom ustaz ganteng yang ingin segera ku interogasi tentang masalah ini.
“Rayya!” Suara seorang perempuan dengan tone emak-emak terdengar dari arah samping.
“Selesai kelas, tolong temui Ibu di ruang dekat koperasi ya!” ucapnya dari jarak sekitar empat meter.
“Kenapa?” batinku bertanya.