Gosip Menyebar

1098 Kata
Aku masih terus memandangi seorang ibu yang memanggilku itu tanpa menjawab. “Rayya! Lo malah bengong,” ucapnya sambil berjalan mendekat. “Oh ya, Bu,” ucapku sambil menahan mulut agar tak langsung bertanya pada ibu yang biasa mengurusi konsumsi ketika masjid ada acara itu. Dengan cepat aku berjalan ke ruangan yang digunakan untuk kelas kali ini, tapi mata ini tak melihat ketiga temanku di dalam sana. Yang ada, aku kembali menemukan beberapa teman sekelas yang dengan sembunyi-sembunyi menatapku dengan cara yang tak biasa. “Rayya!” seru suara Salwa, gadis itu tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu dan menatapku dengan melotot. Berikutnya kepala Imla dan Arofah menyembul di belakang Salwa. Ketiganya bergegas duduk di dekatku. “Kamu pasti belum buka grup ‘kan?” seru Salwa dengan tatapan menuduh. Aku mengangguk membenarkan tuduhannya. “Cepat buka!” seru Imla sambil menyenggol siku ini. Dengan malas aku mengambil handphone dan membuka layarnya. Ah! Ternyata chat di grup fandom ustaz ganteng sudah menumpuk. Jari ini menyentuh baris dalam aplikasi perpesanan itu. Mata ini terbelalak membaca isi pesan dari ketiga temanku ini. Apa yang aku ingin segera interogasi dari mereka sudah ada di sana. “Hem ternyata asal muasal semua tatapan aneh itu dari gosip yang mengatakan bahwa aku dan Arip ada hubungan spesial, aku dan teman kecilku itu melanggar apa yang sedang digaungkan oleh masjid ini. Aku dan Arip malah menjerumuskan diri pada ‘mendekati zina’.” Aku mengomel dalam hati. “Em ... sebenarnya aku nggak begitu peduli dengan itu, yang penting aku, Allah, Emak dan Ibunya Arip tahu kalau kami berdua nggak seperti yang digosipkan itu. Tapi ... sekarang 'kan di antara mereka semua ada Ustaz Hamzah, duh ...,” keluhku dalam hati. Aku mengembuskan napas panjang ... panjang sekali, kemudian menyurukkan kepala di atas meja panjang tapi pendek tanpa kaki yang biasa kami gunakan untuk menulis. “Ssst!” bisik Arofah lirih sambil menyenggol lenganku. “Itu nggak benar ‘kan? Gosip itu?” bisik Arofah lirih. Imla merapat hingga pahanya nempel di paha ini yang sedang dalam posisi duduk bersila. “Aku sudah pastikan kebenaran berita itu kemarin pada anak ini. Dan dia masih bertekad jadi anggota fandom ustaz ganteng,” bela Imla dengan nada tak kalah lirih. “Iya, sih, aku percaya. ‘Kan kita memang memanfaatkan Arip dan Rayya untuk mengorek informasi tentang our bias.” Pembelaan datang dari Salwa yang duduk di sebelah Arofah. “Ya, udah, Ra. Kalau nggak benar kenapa lemes gitu sih, Ra?” bisik Arofah sambil kembali menyenggol lengan ini. Aku meletakkan dahi di meja pendek itu dan mengetikkan pesan di grup fandom. “Kemarin lusa, our bias sudah nemuin aku habis nglabrak lawan Arip, dah gitu klakuan di zaman penjajahan dulu udah dibongkar-bongkar Arip, trus lagi, kemarin pas kelas beliau, hamba ketahuan ngelamun dan sekarang badai gosip ini melanda, trus ... trus masih adakah nilai plusku di mata our bias, my Ustaz Hamzah,” tulisku kemudian menyertakan stiker gambar seorang gadis sedang menangis sambil guling-guling. Dari ekor mata ini, aku melihat ketika teman dekat yang berada di sampingku segera membaca pesan di grup fandom. Berikutnya mereka bertiga bersamaan mengembuskan napas dalam. Imla menggerakkan sikunya hingga ujungnya mengenai lengan ini dengan lembut. “Emang ada rencana untuk mundur dari kompetisi ini?” ucap Imla lirih. Aku menggeleng. Kan baru kemarin kita berempat berjanji akan berusaha mendapat nilai mumtaz untuk setiap materi pelajaran di program akselerasi ini untuk mendapatkan perhatian Ustaz Hamzah. Mundur? Oh absolutely not. “Aku mau jujur deh, sebenarnya aku juga insecure,” tulis Salwa tiba-tiba. Aku mengangkat kepala dan kami bertiga menoleh ke arah gadis cantik yang pintar dandan itu. Aku tertegun. Salwa, insecure? Dengan apa yang keluarganya miliki, dengan wajahnya dan semua barang mahal yang ia punya ia masih insecure? Pintu penasaran dalam diri ini pelan-pelan terbuka. Kami menatapnya dengan tatapan menanti jawaban. “Apa reaksi ustaz ganteng kira-kira jika ia tahu calon mertuanya yang perempuan seorang mantan biduan?” tulisnya sambil menyertakan stiker seorang gadis yang tengah menangis hingga air matanya mengalir sampai jauh. Aku terhenyak, begitu juga kedua teman di samping kanan kiriku yang wajahnya terlihat terperangah. Aku menatap Salwa yang terus menunduk. Ah ... ternyata bukan aku saja yang kena penyakit insecure. “Tapi, ibumu udah tobat ‘kan?” tulisku dengan cepat. Aku mengangkat kepala dan kembali menatap Salwa. Gadis itu mengangguk. “Kalau ntar Kamu yang menang dalam kompetisi ini, kurasa ustaz ganteng tak akan keberatan, 'kan taubatan nasuha nilainya besar di sisi Allah,” tulisku dengan jari jemari yang lincah. “Iya?! Bakal begitu beliau ‘kan?” serunya tiba-tiba dengan suara kencang. Beberapa tholibah menoleh ke arah kami. Aku mengangguk dengan tanpa ragu. Ah ... melihat senyum lebar di bibir Salwa kelihatannya episode insecure-nya telah usai. Percakapan kami diakhiri dengan kedatangan ustaz yang akan mengajarkan sejarah kehidupan Rasulullah. Beberapa saat kemudian istirahat tiga puluh menit berlalu, kelas tafsir juga dengan cepat selesai. Setelah salah ashar berjamaah, aku memenuhi panggilan salah satu ibu jamaah masjid yang sebelumnya mengundangku untuk datang di ruangan di sebelah koperasi masjid. Ruangan ini tak begitu luas, biasanya ruangan ini digunakan untuk pusat koordinasi konsumsi. Di salah satu sudut ruangan yang hanya terisi karpet warna abu-abu ini terlihat tumpukan kardus snack yang belum digunakan. “Silakan duduk, Rayya!” ucap ibu itu setelah membalas salamku. Di belakang ibu itu, telah duduk seorang ustazah yang mengajar di program kelas ngaji akselerasi. Aku mengangguk dan masuk ke ruangan itu kemudian duduk nggak jauh dari pintu masuk. Ibu yang kenal baik dengan Emakku karena sering terlibat dalam urusan pesan kue itu tersenyum. Kemudian mengucapkan kalimat pembuka basa-basi. Belum berakhir kalimat basa-basinya, suara langkah kaki mendekat dan kepala Arip nongol di pintu. “Ah ... rupanya karena masalah ini aku dipanggil, jadi, ini semacam sidang kecil-kecilan ya,” ungkapku dalam hati. Dengan senyum ceria khas Arip yang sering cengengesan langsung terlihat di wajahnya, teman dekatku itu mengucap salam kemudian duduk berjarak dariku. “Baik, sekarang ibu mulai saja, biar Ustazah Nina menjadi saksi percakapan ini,” ucap ibu dengan badan yang agak subur itu ketika duduk tepat di depanku. “Mungkin kalian berdua sudah menebak kenapa kalian berdua ibu undang ke sini. Ini semata-mata untuk tabayun. Ibu nggak mau berbelit-belit, langsung saja ya, apa benar kabar yang kami dengar, bahwa kalian berdua bukan hanya teman biasa? Sepertinya kedekatan kalian terlihat lebih dari kewajaran,” ucap ibu itu sambil melihat padaku kemudian mengalihkan pandangan ke arah Arif. “Kami berdua nggak ada apa-apa, Bu. Tapi, kalau Rayya ada apa-apa, saya siap!” jawab Arip gegap gempita. “Woi!!!” teriakku seketika.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN