Aku mengembuskan napas berusaha tak terpancing dengan wajahnya yang tak ganteng dan provokatif.
“Sebelum menyuruh orang, suruh dirimu sendiri, Edy!” balasku dengan santai.
Aku menggeleng-nggelengkan kepala, berlagak menjadi orang dewasa yang lahir beberapa tahun lebih dulu dari mereka.
“Orang sudah berlomba-lomba investasi di Metaverse, kalian masih sibuk saling melukai diri sendiri,” sindirku pelan.
“Diam, jangan ikut campur! Pergilah!” sahut teman Edy yang berambut keriting.
“Kalian yang pergi, ini masih kawasan kampungku, nggak usah cari penyakit!” balasku tak gentar.
Aku menatap Edy dengan tajam. Teman sekolah dasarku itu sesaat mengalihkan pandangan ke tempat lain.
“Kamu pengen kita kelahi lagi?” tantangku pada Edy yang pernah kubuat menangis di sekolah dasar.
Edy sekilas menatapku dengan jengkel, tapi kemudian mengalihkan pandangan.
Kedua teman Edy langsung menoleh pada teman sekolah dasarku itu.
“Ayo!” seru Edy kemudian sambil beranjak, kedua temannya dengan bingung mengikuti Edy.
Mereka bertiga pergi dengan mengendarai satu sepeda motor.
Arif mengembuskan napas panjang.
“Terima kasih, Ra, atas kepeduliannya,” ucap Arif sambil cengengesan, jarinya mengusap sudut bibirnya yang sedikit berdarah.
“Aku nggak peduli Kamu, aku peduli dengan Tante Zaitun. Kamu ngapa sih Rip, pakai kelahi-kelahi segala?” omelku kesal.
Arip menarik kemeja panjangnya yang awut-awutan.
“Aku nggak kelahi, Ra, sejak aku dibilangin ibukku, aku nggak berniat lagi bergaul dengan mereka. Tapi, mereka terus mencariku, dan ketika kutolak, aku jadi sasaran mereka bertiga, Ra. Aku nggak ingin dipukuli di depan ibuku, jadi aku mengikuti mereka ke sini,” jelas Arip datar, walaupun aku dapat menangkap nada sedih dalam suaranya.
Aku membalikkan arah sepeda, kemudian kami berdua berjalan lagi ke arah kampung.
“Kamu beneran ingin berhenti berteman dengan berandal-berandal itu ‘kan?” tanyaku dengan tegas.
Arif mengangguk.
“Aku benar-benar ingin tobat, aku nggak mau lagi membuat ibukku menangis,” ucap Arif, aku mendengar kesungguhan dalam kalimatnya.
“Em ... begini,” ucapku mencoba mencari solusi.
“Tante Zaitun ‘kan jualan pagi, Kamu bisa membantu ibumu sampai selesai siang hari ‘kan? Jika, semua sudah selesai, gimana kalau Kamu langsung ke masjid aja? Selain, Kamu dapat mengejar ketertinggalan, em ... maksudku Kamu bisa mengejar materi yang telah diajarkan beberapa bulan lalu di program ngaji akselerasi itu. Em ... Kamu juga bisa menghindari mereka. Em ... kalau ternyata mereka masih mencarimu di masjid, ya udah ... diajak ngaji aja sekalian,” ucapku kemudian tertawa.
Arif ikut tertawa mendengar ideku, tapi ia juga manggut-manggut setuju.
“He em, itu bagus juga,” ucapnya.
Mendadak ia berhenti.
“Ra, Kamu hebat juga ya, sisa-sisa kepremananmu ketika sekolah dasar dulu ternyata masih terpancar. Lihat! Gimana Edy begitu saja menyingkir ketika ditantang Kamu,” ucap Arif jujur.
Aku menghela napas sambil melirik Arif kesal.
“Mungkin bukan karena itu, mungkin dia sekarang sudah berprinsip seperti berandal-berandal di film yang nggak mau berkelahi dengan perempuan. Dia udah tambah dewasa,” jawabku mencoba sok bijak.
“Hem ... semoga mereka dan kita semua diberi tambahan hidayah,” ucapku lirih.
Dalam hati ini, aku merasa kasihan dengan Edy dan kedua temannya, bisa jadi mereka memiliki keluarga yang membuat mereka jadi tumbuh seperti itu. Aku benar-benar merasa bersyukur memiliki satu orang tua seperti Emak.
Arif mengembuskan napas panjang.
“Oh, jadi begitu cara mendoakan orang,” gumamnya lirih.
“Begitu yang kudengar dari asatidz yang mengajar di kajian-kajian di masjid kita,” ucapku jujur.
Arif mengangguk-angguk.
“Rayya! Arif!” mendadak suara laki-laki terdengar.
Kami memandang lurus dan menemukan sosok laki-laki yang berdiri di beberapa langkah di depan kami.
“Ustaz! Ustaz Hamzah!” seru Arif riang.
Deg! Jantung ini mendadak merajuk, detaknya cepat sekali.
“Kalian dari mana?” tanya Ustaz Hamzah ketika kami sampai di depannya.
“Kelahi, Ustaz,” jawab Arif jujur.
“Heh!” seruku dalam hati.
Aku menunduk ketika ustaz ganteng itu menatapku dengan heran, sorot tak percaya kental dalam matanya.
“Dan ...,” ucap Ustaz Hamzah menggantung, mungkin saat ini pandangan matanya sedang mengkonfirmasikan keterangan itu pada Arif.
“Oh! Rayya nggak ikut, dia hanya menyusul saja, tapi untung dia nyusul, kalau enggak pasti saat ini saya masih gulat,” ucap Arif kemudian terkekeh.
“Ya?” jawab Ustaz Hamzah, dari suaranya sepertinya ustaz my bias itu belum mendapat pencerahan.
Aku terus menunduk, mungkin saat ini ustaz ganteng itu sedang menatap Arif dengan bingung.
“Oh, begini Ustaz,” ucap Arif datar dan aku mendapat firasat tentang apa yang akan dikatakan oleh teman kecilku ini bakal nggak bagus.
Teman sebayaku ini mulai menceritakan awal kejadian hingga kedatanganku.
“Ya, begitu, Ustaz. Soalnya lawanku itu dulu pas sekolah dasar pernah disikat sama Rayya, nangis lagi, sampai heboh, ya gitu deh, jadi kayaknya begitu ditantang Rayya, dia langsung males, mungkin penyikatan yang dulu pernah terjadi, masih membekas di kepalanya, ya ... mungkin ... Si Edy trauma ya sama Rayya,” imbuh Arif dengan santai.
“Allahu rabbi ... kenapa juga yang itu harus diceritakan sih, Rip? Duh! Hancur sudah reputasiku, gugur sudah kompetisiku dengan grup fandom Ustaz Hamzah,” keluhku dalam hati.
Aku menahan diri untuk nggak menyepak Arif. Saksi hidup kenakalan-kenakalan zaman pra hijrah itu terus menceritakan kejadian-kejadian itu. Ada rasa bangga yang tersirat dari suaranya karena ia menjadi bagian dari kejadian-kejadian di kala itu, memang sih, bisa dibilang Arif adalah my partner in crime saat itu. Astaghfirullah! Ampuni aku ya Allah, hamba menyesal ... sungguh deh!
Kuping ini menangkap suara embusan napas dari mulut Ustaz Hamzah, mungkin selama mendengarkan kisah-kisah kami, ustaz ganteng itu menahan napas.
Aku bersu’udzon, mungkin selama mendengarkan kisah-kisah itu juga, ia sedang membanding-bandingkan kebandelan kami dengan masa remajanya yang suci layaknya anak-anak produk pesantren yang santun.
“Ihh! Tapi, ‘kan ada juga anak pesantren yang bandel ya,” belaku dalam hati saat prasangka buruk itu meraja.
“Wah! Rayya ternyata punya sejarah yang menegangkan dan penuh tantangan,” puji Ustaz Hamzah dengan ringan.
Pujian itu membuat kepala ini mendongak dengan ekspresi tak percaya.
Sesaat kemudian kepala ini kembali menunduk.
“Itu pasti pujian yang hanya untuk menyenangkan dan menenangkan hati ini, ‘kan ada materi kajian itu kemarin di masjid,” keluhku dalam hati dengan sedih.
Ustaz Hamzah terkekeh pendek.
“Arif, tobat memang banyak tantangan, ustaz seneng banget melihat Arif tetap berusaha istiqomah. Em ... ke depan, ustaz ada beberapa hal yang butuh bantuan satu orang anak, Kamu mau meluangkan waktu untuk membantu ustaz?” tanya Ustaz Hamzah lembut.
Sepertinya teman sebayaku itu sedang mengangguk-anggukkan kepala dengan semangat ketika dalam hati ini ada rasa iri yang datang, “kok bukan aku sih yang ditawarin bantu-bantu, Ustaz?”
“Oke, nanti kukasih tahu jadwalnya,” lanjut Ustaz Hamzah kemudian.
“Rayya!” panggil ustaz ganteng ketika aku sedang mengalihkan pandangan untuk sejenak melempar keirian ini.
“Ya?” jawabku singkat.