Melamar Maggy

1489 Kata
Malam ini keluarga Aland akan menghadiri undangan makan di rumah Maggy, serta mereka akan membahas soal pertunangan putra putrinya. Kini Maggy tengah sibuk merias diri, dia dibantu oleh dua penata rias. "Nona Maggy cantik sekali ya, pantas saja Tuan Muda Aland menyukai anda," ujar salah satu dari mereka. Maggy tersenyum puas. "Iya dong, hanya aku yang pantas berdampingan dengan, Aland. Bukan yang lain." "Iya, Nona. Wanita lain mana bisa menandingi segala yang ada pada diri, anda." Dipuji seperti itu membuat Maggy semakin melayang. "Belum jadi istrinya Aland saja sudah begini," batinnya. "Sayang, kamu sudah siap?" tanya Nyonya Vanesha yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu. "Iya, Ma, sebentar lagi." Kemudian Nyonya Venesha memasuki kamar anaknya. "Coba lihat putri Mama, cantik seperti ratu," pujinya sambil tersenyum. "Ah, Mama bisa aja." "Cepat selesaikan, karena sebentar lagi keluarga Aland akan tiba!" perintah Nyonya Vanesha. "Baik, Nyonya." *** "Ma, aku gugup sekali," kata Aland saat mereka dalam perjalanan. "Kenapa kamu gugup? Bukannya kita sudah sering ke rumah, Maggy?" tanya Nyonya Azzela tidak mengerti. "Malam ini beda, Ma. Aku datang melamar Maggy, bukan hanya sekedar bertamu atau main-main ke sana." "Itu biasa, Aland. Dulu Papa juga begitu saat melamar Mamamu," timpal Tuan Pram. "Benarkah?" tanya Nyonya Azzela. "Iya, namun Papa masih bisa menyembunyikan kegugupan dan memasang wajah yang tenang. Siapa yang tahu soal hati orang lain," jawab Tuan Pram terkekeh. "Hm, pantas saja wajah Papa pucat pasi saat menyatakan cinta sama Mama," kata Nyonya Azzela mengangguk-ngangguk. "Karena Papa merasa gugup sekaligus takut, Ma. Bagaimana jika waktu itu Mama menolak lamaran Papa? Mau ditaruh dimana muka Papa di hadapan keluarga besar Mama." Tuan Pram kembali mengingat perjuangannya untuk mendapatkan cinta Nyonya Azzela dulu. Karena Nyonya Azzela adalah tipe wanita yang sulit untuk didekati, membuat Tuan Pram harus berjuang keras untuk bisa menaklukkan hatinya. Belum lagi banyak pesaing dari kalangan konglomerat yang juga ingin melamar Nyonya Azzela. Namun, siapa sangka, ternyata pilihan Nyonya Azzela adalah Tuan Pram. Tanpa diduga oleh siapa pun, ternyata Nyonya Azzela sudah menyukai Tuan Pram sejak lama. Namun, ia malu untuk mengakuinya. "Bukannya, Papa dan Mama sudah saling cinta sejak dulu dan kemudian baru melamar? Seperti aku misalnya?" tanya Aland. "Tidak, Aland!" geleng Tuan Pram yang membuat Aland semakin tidak mengerti. "Tapi, Mama bilang kalian sudah kenal cukup lama." "Memang iya, Aland. Namun apa kau tahu, Mamamu sangat jual mahal. Didekati begitu saja dia tidak mau." "Pa, diamlah! Jangan membuat Mama malu di depan anak kita," protes Nyonya Azzela. "Biarkan saja, Ma. Biarkan Aland tahu bagaimana sifat Mamanya waktu muda dulu," kata Tuan Pram tertawa melihat wajah cemberut Nyonya Azzela. "Ayo, Pa. Cerita semuanya, aku jadi penasaran," kata Aland memaksa. Dia belum tahu soal yang satu ini. Setahu Aland, mama dan papanya sudah lebih dulu mengenal sebelum mereka menikah. Hanya itu yang dia tahu. "Kita sudah sampai, jangan dibahas lagi," sela Nyonya Azzela. "Pa, nanti cerita ya?" pinta Aland sebelum mereka turun dari mobil. "Siap!" Tuan Pram mengacungkan ibu jarinya ke depan membuat wajah Nyonya Azzela kian cemberut. "Awas saja nanti," ancamnya yang ditertawakan oleh Tuan Pram. "Ma, sepertinya yang datang cukup banyak," kata Aland saat melihat banyak mobil mewah yang terparkir di halaman rumah Maggy. "Iya, pasti semua kerabat Vane datang." "Mengapa harus banyak orang seperti ini sih, Ma? Kan hanya acara lamaran saja," protes Aland. "Kok kamu protes sama Mama sih, Aland. Yang mengundang kan keluarganya Maggy, bukan Mama," kata Nyonya Azzela geram. "Iya, tapi tidak sebanyak ini juga, Kan?" "Sudah, jangan berdebat. Ayo kita turun!" ajak Tuan Pram mendahului. Mereka bertiga turun dari mobil. Seorang pelayan wanita langsung menyambut kedatangan mereka. "Silakan masuk, Tuan dan Nyonya!" kata gadis itu membungkuk sopan. "Terima kasih," jawab Nyonya Azzela tersenyum. Setelah memasuki pintu, Nyonya Azzela langsung disambut oleh calon besannya itu dengan senyuman. "Selamat datang, Azzel!" Nyonya Vanesha memeluk dan mencium pipi kanan kiri Nyonya Azzela. "Selamat malam, Vane. Maaf jika kami terlambat," ucap Nyonya Azzela tidak enak hati saat melihat begitu banyak orang disana, pasti mereka sudah menunggu lama. "Ah, tidak juga. Kami baru saja siap-siap." Tidak lupa, Tuan Candra - papa Maggy juga menyambut kedatangan mereka. "Ayo, jangan bicara disini!" ajak Tuan Candra. "Iya, Pa. Mama sampai lupa ajak mereka ke dalam," kata Nyonya Vanesha terkekeh. Sambil menunggu Maggy turun, mereka duduk di ruang tamu. Semua mata gadis-gadis yang ada disana menatap Aland tanpa berkedip. Termasuk Aira yang juga ada di sana. "Lihat deh, tampan sekali, Tuan Muda," kata salah satu dari mereka. "Iya, Kak Maggy beruntung sekali ya." "Sst…." Aira menegur mereka agar diam. Tidak lama setelahnya perhatian mereka tertuju pada seorang gadis yang turun dari tangga, dia adalah Maggy, anak pemilik rumah yang sedari tadi ditunggu-tunggu kemunculannya. Maggy memakai gaun merah yang menjuntai ke bawah, atasan yang berbentuk huruf V tanpa lengan. Seketika itu juga, Aland tidak berkedip memandang pesona tubuh indah Maggy. "Ya ampun, Kak Maggy cantik sekali!" puji Aira. "Iya, Kak Maggy adalah wanita yang cocok untuk Kak Aland," kata yang lain. Tiba-tiba Aland jadi gugup, namun begitu dia masih tetap mencoba untuk tersenyum pada Maggy saat gadis itu sudah dekat dengannya. Maggy duduk berhadapan dengan Aland, di samping Tuan Candra dan Nyonya Vanesha. "Kau cantik sekali, Maggy!" puji Nyonya Azzela tersenyum. "Tentu saja, Azzel. Putriku adalah yang paling cantik dan paling pantas untuk bersanding dengan putramu," sahut Nyonya Vanesha. "Ah, Mama bisa saja," kata Maggy malu-malu. Namun dalam hati, Maggy mengakui apa yang dikatakan oleh mamanya barusan. Jika dia adalah yang paling pantas untuk Aland. Beberapa saat setelahnya, Nyonya Azzela menyenggol lengan Aland yang sedari tadi diam seperti batu. Bahkan mata Aland terus mengawasi Maggy. Nyonya Vanesha segera mengajak mereka semua untuk makan malam bersama. Ini bukan acara makan malam yang biasa, karena malam ini seluruh kerabat Nyonya Vanesha datang. Tentu saja karena mereka tahu Aland akan melamar Maggy. Setelah makan malam selesai, mereka berkumpul di ruang keluarga. "Aland, lamarlah Maggy sekarang!" bisik Nyonya Azzela menyenggol lengan anaknya. "Tapi, Ma," protes Aland yang belum siap. "Aland, bicaralah! Jangan bersikap seperti bukan lelaki," desak Nyonya Azzela. Aland menatap ke arah papanya, memohon agar pria itu melakukan sesuatu untuknya. Tuan Pram sangat mengerti dengan kegugupan Aland, lantas dia pun mulai bersuara. "Jadi, bisakah kita mulai membahas intinya langsung?" tanya Tuan Pram. "Tentu saja, Pak Pram. Itulah yang ditunggu-tunggu oleh semua orang sedari tadi," jawab Tuan Candra mantap. "Baiklah." Tuan Pram menatap Aland sebelum dia mulai bicara kembali. "Dengan tidak mengurangi rasa hormat kami, saya mewakili dari putra kami ingin menyampaikan tujuan dan maksud kemari, yaitu untuk melamar putri kalian," kata Tuan Pram sebaik mungkin, namun setelahnya dia merasa kalimat tadi kurang cocok. "Mengapa bukan Aland saja yang meminta?" protes Maggy tidak puas. "Iya, Kak Aland. Ada baiknya pria itu sendiri yang melamar secara langsung, bukan mewakili," kata salah satu wanita muda di sana. "Iya, benar. Hal yang paling ditunggu-tunggu oleh wanita adalah, ketika pria itu melamarnya sendiri," tambah Aira. "Kenapa jadi ribet begini," keluh Aland dalam hati. Rasanya dia juga ingin menyudahi acara ini sekarang juga, namun sepertinya ini belum selesai. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana cara aku mengungkapkannya?" pikir Aland. "Ayo, Aland. Utarakan keinginanmu sekarang juga," kata Nyonya Azzela. "Apa yang harus aku katakan, Ma?" tanya Aland berbisik. "Ya, kamu lamar saja, Maggy. Memang apa lagi?" jawab Nyonya Azzela kesal. Aland menarik nafas sejenak, dia memandangi Maggy yang sedari tadi tersenyum padanya. Setelah diam beberapa saat, Aland mulai bicara. "Maggy, apa lagi yang kau inginkan? Bukankah kau sudah tau apa tujuanku kemari?" kata Aland yang disambut dengan tawa-tawa para gadis. "Memangnya apa itu, Aland?" tanya Maggy tersenyum lebar. "Maggy, berhentilah bersikap seperti itu. Kita sudahi saja acara ini, dan selanjutnya kita bicarakan soal tanggal pertunangannya!" pinta Aland. "Tapi, Aland, apa tidak ada yang ingin kamu katakan terlebih dahulu?" tanya Maggy. "Katakan saja sekarang di depan semua keluargaku, jika kau ingin melamarku. Aku pikir itu tidak terlalu sulit, Aland," lanjut gadis itu. "Aku rasa mereka semua juga menantikan hal yang sama." "Iya, Kak Aland." "Ayo, Kak. Cepat lamar Kak Maggy!" Aland jadi frustasi. "Tapi, Maggy, itu tidak diperlukan lagi. Semua orang juga tau jika kita saling mencintai, lalu apa lagi yang harus aku katakan?" "Ya, ampun Aland," Maggy menghela nafas panjang. Semua orang juga kesal dengan perdebatan mereka berdua. "Sudahlah, Maggy. Jangan mendesak Aland, kasihan dia," sela Nyonya Vanesha. "Begini saja, kita langsung membahas pertunangan mereka. Saya rasa, ini sudah lebih dari cukup untuk lamarannya," kata Tuan Pram jadi tidak tega melihat wajah anaknya. "Ya…." Semua orang memasang wajah kecewa. "Tidak bisa begitu dong, Pa. Biarkan Aland bicara terlebih dahulu," protes Nyonya Azzela. "Apa lagi yang harus dibicarakan, Ma. Tentu saja Aland akan diam." "Benar apa yang dikatakan oleh Pak Pram, saya sangat setuju. Sebaiknya kita langsung membicarakan pertunangan mereka," timpal Tuan Candra. "Iya, Pak Candra. Saya juga sangat setuju dengan itu," kata Tuan Pram mantap. "Dasar lelaki!" semua wanita di sana menatap kesal ke arah dua pria tersebut. Setelah memilih tanggal yang cocok, akhirnya semua sepakat jika Aland dan Maggy akan bertunangan akhir bulan nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN