Desire 6 Mantera

1654 Kata
“Nduk, besok pagi bude dan pakde harus ke rumah sakit lagi, dan sepertinya akan menginap semalam. Gak papa kan kamu sendirian mengurus kebawelan Pak Ganda?” “Insya Allah bude, bisa kok. Pak Ganda asalkan dibuatin kopi sesuai keinginannya mah gak bawel, tapi emang ribet sih.” “Ya sudah sekarang istirahat ya, besok kami akan berangkat pagi-pagi biar ndak macet.” Beruntung esok pagi, bude sudah menyiapkan sarapan untuk Ganda dan dirinya, hingga tugas Gadis hanyalah membuat kopi hitam saja seperti yang sudah diajarkan Ganda padanya. “Nih duda nyusahin aja deh. Padahal kan sama-sama kopi ini, kenapa gak mau yang sachet sih? Kan praktis. Tinggal seduh... aduk siap diminum deh.” Tapi tak urung Gadis tetap saja meracik kopi hitam itu persis seperti yang diajarkan Ganda. "Hmm... good girl... Pinter kamu, jam segini sudah menyediakan kopi seperti yang aku ajarkan." Suara berat Ganda tentu saja mengagetkan Gadis. Hembusan nafas yang terasa di belakang lehernya karena rambutnya ia kucir kuda, baru kali ini Gadis merasakan sensasi seperti itu, membuatnya merinding. "Aduuh... aww... panas... panas...Bapak.... astagfirullah... apa-apaan sih, ngagetin orang hidup aja. Tuuh kan tumpah kopinya ke tangan saya. Ya Allah pak, ini kan air mendidih. Panas banget ini tangan saya." Gadis kesal bukan kepalang karena kaget tiba-tiba Ganda sudah ada di belakangnya, hingga tak sengaja kopi panas Ganda tumpah di tangannya. Gadis segera meletakkan cangkir kopi itu dan meniup-niup tangannya yang sekarang tampak kemerahan. "Maaf... maaf..." Ganda juga jadi panik melihat ruam merah di tangan Gadis. Tapi dia kesal karena Gadis tak jua sadar apa yang harus dilakukannya. Tak sabar, segera ditariknya tangan Gadis dan diletakkan di bawah kran yang sengaja dia buka agar air bisa mengalir. "Kalau terkena minyak panas atau air panas, jangan cuma ditiup-tiup tapi segera letakkan di bawah air mengalir, air hangat atau dingin untuk menghilangkan sumber panas. Sebisa mungkin minimal dua puluh menit dialiri air." Kata Ganda sambil memegang tangan Gadis yang sekarang ruam merahnya tampak semakin jelas, membuatnya semakin merasa bersalah. Gadis meringis, baru merasakan kulit tangannya sedikit nyeri. "Sudah pak, luka begini doang mah saya sudah biasa kok, kan saya sering bantu ibu memasak di dapur. Jatuh juga sering pas bantuin bapak di kebun. Ini mah remeh buat saya." Sebenarnya Gadis merasa sungkan karena selama dua pulun menit itu, Ganda terus terusan memegang tangannya. Bukannya apa-apa, selama ini dia hanya dekat dengan lelaki hanyalah dengan bapak dan Bima, sang kakak. Hingga dia merasa ada aliran listrik yang menjalari tubuhnya. "Sebentar... sini saya obati dulu biar gak terlalu perih lagi." Ganda membuka kotak P3K yang berada di dekat kitchen set. Diambilnya salep yang biasa digunakan untuk mengobati luka seperti ini. "Kamu duduk dulu di situ. Saya olesi dulu luka tadi pakai salep ini." Tanpa ragu, Ganda segera bertumpu pada lututnya agar bisa menyesuaikan dengan tinggi Gadis yang duduk di depannya. "Pak, bener deh gak usah. Gini doang mah cemen pak." Gadis berusaha menarik tangan kirinya, tapi tentu saja dia kalah tenaga. Mana bisa dia melepaskan dari tangan kekar Ganda yang tampak serius mengobatinya. "Diam dulu kenapa sih?! Sesekali nurut kalau dibilang orang tua. Nah.... sudah beres. Semoga nanti siang juga sudah enakan kok." Kata Ganda yang masih tetap dengan posisi bertumpu pada lututnya, dia melihat ke manik mata Gadis yang sesekali masih meringis entah karena masih merasa sedikit perih atau apa. Ganda tidak tahu betapa Gadis harus menahan rasa grogi karena perlakuan istimewa Ganda. Padahal bagi Ganda itu karena dia merasa bersalah, hingga membuatnya merasa harus menolong Gadis, walau hanya pertolongan pertama. "Kamu kenapa mukanya merah begitu? Sakit banget ya? Atau karena malu?" kembali Ganda menggoda Gadis. "Sakit pak. Sakitnya tuh... di sini...." Tunjuk Gadis ke ruam luka itu. Malah Gadis yang ingin membalas Ganda karena selalu menggodanya. "Beneran ya sakit banget? Kamu kecil gini sih, cuma ketumpahan kopi saja langsung sakit." Entah kenapa Ganda jadi percaya itu. "Salah bapak sih kenapa ngagetin saya." Gadis tak mau kalah tentu saja. "Kamu mau ke mana?" Ganda menghentikan rencana usilnya menggoda Gadis saat melihat gadis mungil di depannya beranjak. "Mau bikin kopi lagi buat bapak. Yang tadi kan tumpah lagian tinggal sedikit banget." “Sudah gak usah, biar nanti saya saja yang bikin sendiri. Kamu duduk saja, istirahat dulu.” Ganda berdiri dari tumpuan lututnya, dan beranjak menuju dapur untuk membuat kopi kesukaannya. Tapi dia sempat mengacak rambut Gadis yang hitam lebat. Tanpa Ganda tahu hal itu membuat jantung Gadis berdebar semakin kencang. “Apa sih pak? Kuciran saya kan jadi berantakan nih.” Untuk menghilangkan grogi, Gadis berusaha menutupi dengan berpura merajuk. “Kamu lucu sih. Mungkin kamu sepantaran keponakan saya, eeh tapi dia baru mau kuliah apa masih SMA malahan, kamu sudah mau lulus kan ya?” Sebuah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban karena Ganda tidak mau repot mendengar jawaban Gadis. “Loh… nih anak ke mana? Sudah dibilang untuk istirahat dulu kok ya gak menurut sih? Malah sekarang menghilang. Gadis… di mana kamu?” Ganda celingukan mencari sosok Gadis yang tidak terlihat lagi. Gadis muncul sudah rapih, sudah ganti baju dan membaca keranjang belanja. Ganda melihatnya dengan heran. Di sela-sela kegiatan mengaduk kopi hitamnya, dia mengawasi Gadis dari atas sampai bawah ke atas lagi. “Kamu mau ke mana? Bawa keranjang juga.” “Ngemall pak… “ “Ngemall? Jam segini? Emangnya sudah ada yang buka? Bawa keranjang pula.” “Menurut bapak aja deh kalau bawa keranjang gini mau ke mana?” jawab Gadis ketus. “Mmm… penampakanmu seperti bude kalau mau ke pasar.” “Nah pinter deh. Pak mau minta duit dong.” Gadis mengulurkan tangan kanannya. Tapi Ganda malah melirik ke arah tangan kiri Gadis, terlihat masih agak merah. “Berapa?” “Seratus ribu cukup kok.” “Buat apa?” tapi tak urung Ganda memberikan satu lembar uang berwarna pink bergamabr Soekarno Hatta. “Buat belanja di pasar lah pak, kalau ngemall mah mana cukup uang segini. Ya sudah saya pergi ke pasar dulu ya pak. Dah… Assalamualaikum.” Kaki mungil Gadis melangkah dengan lincah. Pergi ke pasar tradisional untuk berbelanja merupakan satu hobinya. Dia suka melihat interaksi antara orang-orang di situ, antara pembeli dan penjual, melihat mereka melakukan proses tawar menawar, terkadang melihat ibu-ibu yang ngotot menawar hanya sekedar lima ratus rupiah lebih murah. “Hei… tunggu! Tunggu saya bilang…!” Seru Ganda. “Apa sih pak? Nanti keburu sudah siang loh, sudah pada habis tuh, saya kan mau beli ikan nila, tempe tahu sama sayuran buat bikin sayur asem.” “Bagaimana tangan kirimu? Tadi kan saya sudah bilang kamu istirahat saja. Masalah makanan sampai tanganmu sembuh kita akan pesan melalui pesan antar saja. Kemarilah, duduk di sini dan jangan pergi ke mana-mana.” Ganda memerintah Gadis. “Pak di kulkas tidak ada persediaan bahan masakan, jadi kalau saya tidak ke pasar pagi ini ya… buat hari ini dan besok kita gak bisa makan apapun selain masakan dari telor dan mie instant. Memangnya bapak mau?” “Mau.… saya jarang makan mie instant di sono, merk yang saya suka sepertinya tidak dijual di kota tempat saya tinggal. Makanya kalau pas pulang ke Indonesia pasti cari makanan bakso, mie instant merk favorit dan tempe. Jadi gak masalah buat saya. Nanti kamu saya antar kalau mau belanja.” “Yakin bapak mau mengantar saya ke pasar?” Gadis bertanya dengan ragu. Duda dua kali ini kalau ke pasar bersamanya tentu saja akan membuat kehebohan, fisik Ganda yang mencolok akan sangat menarik untuk jadi bahan gosip, apalagi untuk emak-emak penjual di pasar. Bukannya jual beli pasti malah melihat penuh minat ke nih duda deh. Gadis kemudian melihat Ganda dari atas ke bawah ke atas lagi. “Memangnya kenapa? Kamu kenapa ngeliatin saya sampai seperti itu sih?” Ganda bertanya heran. “Pak daripada ribet saya belanja di tukang sayur yang biasa mangkal di depan sana deh. Nanti saya minta diantar pak satpam saja.” Gadis malas membawa Ganda ke pasar tentu saja daripada terjadi kehebohan. “Gak perlu, jangan ngeyel. Nanti kamu saya antar ke supermarket terdekat situ. Saya juga gak biasa sarapan berat kok. Cukup minum kopi ini. Sudah kamu duduk saja di situ, istirahat dulu sampai tanganmu terasa lebih enak.” Titah Ganda sambil menunjuk ke bale yang dipakai tidur oleh Gadis. Aura intimidasi Ganda membuat Gadis menurut. “Lihat tanganmu.” Tanpa menunggu ijin dari si empunya tangan, Ganda segera saja menarik tangan Gadis. Sudah tidak semerah saat pertama kali tersiram. Terbersit senyum kecil di bibir Ganda. Syukurlah, ruamnya sudah jauh berkurang. Sudah tidak semerah tadi. Ganda tiba-tiba melihat ke manik mata Gadis yang sedang melihatnya dengan gugup. Ganda tahu, Gadis salah tingkah. Mungkin saja, ini kali pertama dia diperlakukan seperti ini. “Dulu pas saya masih kecil, setiap kali saya terluka, mama selalu meniup-niup di bagian yang terluka itu. Kata mama biar rasa sakitnya bisa jauh berkurang. Kamu mau juga saya tiup-tiup? Siapa tahu bisa mengurangi sakitnya.” Bagai tersihir, Gadis mengangguk saja. Pasrah saja saat bibir Ganda meniup di ruam kemerahan itu. Dia lupa tadi Ganda sendiri yang bilang kalau luka kena air panas atau minyak panas, pertolongan pertama bukan ditiup tapi dialiri air. Entah mantera apa yang dipakai Ganda yang bisa membuat Gadis lupa, saat bibir Ganda kemudian malah mencium ruam kemerahan itu. Bergerak ke atas, sudah mencium lengan tangannya, kemudian tangan kekar Ganda tiba-tiba sudah berada di belakang lehernya. Bibir itu bahkan semakin liar mencecap leher Gadis, membuat Gadis mendesah pelan, sesekali menggelinjang kegelian. Baru kali ini dia merasakan sensasi seperti ini. Baru kali ini pula dia merasakan terbang tidak menjenjak bumi. Ganda begitu lihai membawa Gadis terbang tinggi, hingga membuat Gadis benar-benar pasrah saja saat Ganda kemudian melumat bibir mungilnya, bibir Ganda seolah mengajak bibir Gadis untuk beradu seperti ingin menyalurkan emosi dan kerinduan yang selama ini terpendam. Terpaaan nafas mint terhidu di hidung Gadis, semakin terhidu saat hidung mancung Ganda bertemu dengan hidung bangirnya. Ganda kemudian merebahkan tubuhnya perlahan ke bale itu. Tangan kekar Ganda bahkan sekarang mengukung tubuhnya. Gadis memejamkan matanya, seolah terbius, pasrah pada apa yang dilakukan Ganda padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN