“Huwaa.... aku kesiangan... Ini aku tidur di mana sih? Kok bukan di kamarku?” Gadis bangun pagi dengan heboh. Dilihatnya jam dinding.
“Apaa... Jam setengah enam kurang lima menit? Ya Allah..., aku kan belum sholat subuh. Kok bude gak bangunin aku sih? Aah ya lupa bude dan pakde gak di sini. Duh duh duh...” segera saja Gadis bangun dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim, sholat subuh, walau merasa kesiangan tapi mau gimana lagi?
Usai sholat, Gadis segera membereskan bale tempatnya tidur semalam.
“Jadi semalam aku tidur di sini sendiran nih? Hiiy... kan seram. Tapi alhamdulilah tuh duda masih inget kasih selimut. Kalau enggak kan bakalan kedinginan banget aku. Eeh tapi emang Pak Ganda belum bangun ya? Emang gak sholat subuh tuh duda? Mentang-mentang lama tinggal di luar negeri terus melalaikan sholat huuh.."
Sambil mengomel sendiri, Gadis tetap beraktivitas. Tubuhnya yang memang imut, tampak lincah ke sana ke mari. Dia bahkan sudah menyapu dan ngepel. Nah sekarang dia harus ke dapur. Memasak nasi dan meracik kopi hitam seperti yang diajarkan Ganda semalam sebelum dia dimarah duda super tamvan itu.
Tidak berapa lama, ternyata bude dan pakdenya sudah pulang dan membawa belanjaan untuk beberapa hari ini. Membuat Gadis mendesah lega karena artinya dia tidak harus berduaan lagi dengan duda tampan tapi sedikit m***m itu.
“Gimana nduk? Sudah ketemu Pak Ganda kan? Dia baik sama kamu?” tanya si bude, merasa kaget karena pemilik villa datang lebih cepat.
“Sudah bude, iya baik tapi agak sedikit iseng ya bude? Mosok senengnya ngisengin Gadis melulu.” Keluh Gadis, manja.
“Mungkin karena kamu sepantaran sama keponakannya. Eeh tapi masih SMA ding. Sudahlah sekarang bantuin bude masak ya nduk. Moga-moga kamu betah ya di sini, lumayan bude dan pakde ada yang bantuin selama tiga bulan ini. Apalagi kan bude dan pakde juga masih harus ke rumah sakit lagi untuk kontrol sakitnya pakde nih.”
“Pakde masih berobatin asam uratnya ya?” tanya Gadis, prihatin, setahunya pakdenya memang terkena asam urat.
“Iya.. alhamdulilah sudah lumayan membaik tapi ya itu harus rajin kontrol nduk. Makanya pas kamu bilang akan di sini selama tiga bulan kami senang sekali, jadi ada yang mengurusi Pak Ganda.”
***
Sudah dua minggu dilalui Ganda dan Gadis di villa. Dua minggu itu dilalui mereka dengan damai. Ganda lebih banyak beraktivitas di dalam ruangan yang dia sebut studio. Mungkin studio lukis, karena dia betah sekali ada di situ dari pagi dan hanya keluar saat makan siang ataupun makan malam.
Tapi hari ini beda. Saat dia mendengar ada deru mobil yang masuk ke villa. Dia memicingkan matanya. Tidak bisa mengenali mobil itu. Hingga kemudian dia lihat pakde menurunkan koper dan beberapa tas dari mobil itu.
Hmm… tamu villa pertama? Bukankah aku sudah berpesan untuk menolak tamu kalau aku sedang ada di sini?
Yang membuat Ganda tambah kesal karena Gadis jadi ikutan repot mengurus tamu baru ini. Dia tidak suka jika ada orang lain yang menjadi prioritas padahal dialah pemilik tempat ini.
“Bude… Pakde… maaf, saya mau bicara dulu sebentar.” Ganda memanggil dua orang kepercayaan penjaga villanya.
“Ada apa Nak Ganda?” bude melihat muka Ganda yang tampak tidak senang. Raut mukanya keruh.
“Maaf Bude, saya dulu kan sudah berpesan kalau saat saya datang di villa ini, villa pertama dan kedua tidak boleh disewakan. Saya ingin menjaga privasi saya selama saya di sini.”
“Loh ini kan mereka mendaftar online dari sistem loh Nak Ganda. Kami berdua ndak tahu gimana caranya menolak. Kan katanya Nak Ganda juga pasang iklan menyewakan villa ini di internet tuh. Kami juga bingung kenapa kok bisa mereka pesan villa padahal kan Nak Ganda sudah melarang.” Pakde menjawab pelan.
Ganda menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Waktu itu dia lupa menginformasikan kepada admin online sales tanggal kedatangannya ke Yogyakarta. Ternyata memang salahnya.
“Aah maaf bude, itu salah saya. Saya lupa konfirmasi tanggal kedatangan saya waktu itu. Ya sudahlah, tadi saya sempat cek, mereka cuma satu malam kan ya? Kalau begitu tidak apa-apa asalkan mereka tidak sampai ke villa utama ini. Sekali lagi maaf. Dan mohon berikan pelayanan yang terbaik seperti biasa kepada para tamu.” Bude dan pakde menggangguk dan segera berdiri, tapi terhenti langkahnya saat Ganda berkata-kata.
“Ah ya, mungkin akan ada dua orang teman saya yang datang ke mari, akan menginap dua malam kalau sesuai rencana. Tapi belum tahu kapannya. Tolong dipersiapkan villa yang kedua ya bude. Terima kasih.”
Setelah keduanya pergi, Ganda kemudian berusaha santai di tempat tidur ayun di dekat kolam renang. Cuaca Yogya yang sedang musim hujan saat ini membuatnya semakin malas beraktivitas. Hingga dia mendengar suara tawa yang dua minggu ini familier di telinganya. Matanya mencari ke arah sumber suara. Dia lihat, Gadis tengah bercanda mungkin dengan salah satu anak tamu yang menginap di villanya.
Mereka tampak seumuran, tak heran bisa akrab seperti itu. Tapi entah kenapa, mendadak Ganda tidak suka melihat Gadis bisa dekat dengan lelaki lain, bahkan tertawa karenanya. Matanya memicing ke arah Gadis, tentu saja dengan pandangan tidak suka. Mendadak dia punya ide.
Diambil ponsel pintarnya dan segera menelpon Gadis. Terdengar nada masuk tapi tidak dijawab, tentu saja dia kesal. Hingga akhirnya Ganda berteriak, “Gadis… tolong ke mari, saya ada perlu!”
Terlihat Gadis menoleh ke arahnya dengan tatapan heran, tapi kemudian dia tampak berpamitan pada pemuda lawan bicaranya itu dan sedikit berlari kecil menuju arahnya.
“Apa pak?” Tanya Gadis saat sudah berada di dekat Ganda yang masih asyik bersantai di ayunan.
“Euum…?” Ganda menaikkan alisnya, seperti bertanya memangnya ada apa?
“Yee… tadi manggil katanya ada perlu. Ya udah kalau gak jadi, saya mau ke depan lagi saja. Lumayan tadi bisa mengobrol banyak sama si Mas Putra tentang S2 di UNJ.” Saat kaki mungil Gadis hendak melangkah, mendadak Ganda mencegahnya.
“Saya mau minum kopi. Tolong buatkan seperti biasa.” Titah paduka Ganda.
“Kan tadi pagi sudah pak. Ini juga sudah jam 4 sore, sebentar lagi juga makan cemilan. Gak baik minum kopi terus. Nanti malam gak bisa tidur loh.”
“Berisik deh kamu Gadis, pokoknya buatkan saya kopi. Titik! Dan habis itu temani saya di sini.”
“Diih…, gak mau. Habis ini saya kan juga mau masak pak, bantuin bude di dapur.”
Hmm… apapun deh yang penting dia gak ngobrol lagi sama si Putra itu.
"Tadi kamu bilang tentang S2 di UNJ, memangnya mau lanjut di Jakarta? Kamu kuliah apa sih sekarang? Mau jadi guru?” Ganda bertanya dengan nada heran.
“Saya kuliah di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan UNS program studi PAUD, Pendidikan Anak Usia Dini. Iya saya mau jadi guru pak. Kenapa? Ada yang salah dengan menjadi guru?” tanya Gadis dengan nada kesal. Entah kenapa banyak yang bertanya dengan nada melecehkan jika mendengar cita-cita mulianya, menjadi seorang guru.
“Enggak ada yang salah kok. Tapi biasanya cita-cita anak jaman now tuh bukannya jadi orang terkenal, jadi manajer apa, jadi celebrity chef, jadi artis, jadi model? Sedangkan guru…? Terus terang baru kali ini saya mendengar cita-cita mulia itu keluar dari seseorang seusia kamu. Saya tidak bermaksud melecehkan loh, malah bangga karena masih ada yang peduli dengan pendidikan di negeri ini.” Ganda menjawab dengan nada kalem, berusaha meredakan emosi Gadis yang mendadak muncul.
“Jadi menurut bapak, karena saya anak jaman now, saya gak boleh bercita-cita jadi guru gitu? Terserah saya kan cita-cita saya apa, karena yang menjalani itu saya, bukan bapak, bukan juga orang lain! Permisi!” Gadis kesal karena sekali lagi mendapat cibiran begitu dengar bahwa cita-citanya adalah menjadi seorang guru. Bahkan guru untuk anak usia dini. Bukan guru SMP atau SMA.
“Hei… tunggu. Gadis tunggu. Bukan maksud saya seperti itu. Tunggu…” Ganda segera beranjak dari ayunan santai berusaha mengejar Gadis. Dibaliknya tubuh mungil itu. Terlihat wajah yang sangat kesal, penuh emosi.
“Maaf Gadis. Saya tidak bermaksud menghina cita-citamu, bahkan itu sungguh mulia. Saya malah kagum karena masih ada orang yang peduli dengan pendidikan, bahkan untuk orang seusia semuda kamu. Sungguh, saya malah bangga. Maaf…”
Berkali-kali sudah Ganda berkata maaf. Baru dia sadar, hanya kepada gadis bertubuh mungil ini dia begitu mudah berkata maaf. Satu kata yang sangat jarang diucapkannya.
Gadis masih saja jual mahal. Rusak sudah moodnya mau banyak tanya pada Putra, tamu yang ternyata juga kuliah S2 di UNJ.
“Mmm…. sebagai permintaan maaf, besok saya akan antar kamu belanja di supermarket ya. Terserah kamu mau beli apa. Es krim dan s**u juga boleh.” Bujuk Ganda putus asa.
"Janji...?!" mata Gadis kembali bersinar.
Aaah memang dasar anak kecil!