Kepala Lele

1708 Kata
"Sudah!" "Sekali lagi, Kak. Kenapa sih dari tadi bilang sudah terus? Orang Dinda dan Kak Arumi masih pengen foto-foto." "Kalau kamu sendiri yang foto gak papa, asalkan jangan Rumi!" "Lah, memangnya kenapa? Kak Rumi justru yang harusnya banyak berfoto, mumpung ada di Jakarta." "Buat apa banyak foto? Nanti kalau sudah jadi istri Kakak bakal sering ke Jakarta. Minimal sebulan sekali lah buat jenguk Mami dan Papi." "Gak usah terlalu kepedean deh, Kak." "Memang harus PD. Lagian kenapa sih gak mendukung Kakakmu sendiri? Gak suka punya Kakak Ipar kayak Arumi?" "Jelas, suka lah. Dari sisi manapun Kak Rumi terlihat pas dan cocok sebagai menantunya Mami dan Papi. Tapi, kalau menjadi istri Kak Elang kayak kurang apa gitu," jelas Dinda dengan mengedikkan bahu. "Yang sabar ya, Kak Rumi. Gak ada pilihan lainnya, Pria di rumah yang masih available hanya tersisa Kak Elang saja." "Dinda!" "Sudah ... Sudah, kalian ini mau berdebat sampai kapan? Ini sudah larut malam sebaiknya kita segera pulang," saut Arumi. Dia sudah dibuat pusing dengan perdebatan antara Kakak dan Adik yang ada di depannya. Sejak berangkat dari rumah mereka terus saja berdebat mengenai hal-hal yang sepele. "Jangan pulang dulu dong, Kak. Kita mampir dulu ke warung tenda. Di sana sambalnya enak sekali pasti Kak Rumi bakalan suka." "Iya, kalau begitu ayok buruan. Gak enak sama Kak Claudia kalau sampai kita pulang terlalu malam." Dinda terkekeh mendengar jawaban Arumi. Di Jakarta jam 10 malam itu masih terlalu sore. "Tenang saja, Kak. Kak Claudia santai orangnya." Tanpa memperdulikan supir dan tukang foto dadakan yang sedang menekuk wajahnya. Dinda menggandeng Arumi menuju ke arah mobil mereka. Elang mengikuti kedua gadis kesayangannya dari belakang. Saat menuju ke warung tenda langganan Dinda, Arumi mendapatkan pesan dari sahabatnya Rahma. Dia tadi sore meminta maaf jika tidak bisa menepati janjinya untuk berangkat bersama. Namun, Rumi sudah meminta Ibunya untuk membuatkan dimsum pesanan Rahma. “Ramai sekali, Din. Kita makan di mobil saja, ya?” “Ngak-ngak! Mana enak makan di mobil, Kak.” “Tapi kamu lihat sendiri ‘kan? Gak ada tempat duduk yang kosong.” Dinda turun dari mobil lebih dulu, dia itu sudah sangat mengenal pemilik warung tenda tersebut. Sementara, Arumi masih ragu untuk turun karena keadaan di luar ramai sekali. “Disini dulu, Rum. Biar aku susul anak nakal itu.” “Tapi, Kak ...” “Gak, usah takut. Gak akan ada yang jahat. Tetap di mobil jangan keluar! Aku akan menghidupkan mesinnya agar AC nya tetap menyala.” Arumi menuruti perintah Elang. “Iya, Kak.” Elang bergegas menyusul adiknya yang sudah masuk ke warung tenda. Dia curiga jika Dinda akan membuat keributan untuk meminta disediakan tempat kosong. “Kak Elang kenapa nyusul, Dinda?” “Kamu ngapain masuk ke dalam, Din? Kakak lihat tadi gak ada tempat kosong. Lebih baik kita cari tempat lain saja.” Dinda menggandeng lengan Kakak kesayangannya. “Kata siapa gak ada tempat?” “Kamu maksa Bapaknya buat ngasih tempat?” “Sembarangan saja! Mana pernah Dinda begitu, Kak.” Protes Dinda. “Ada satu tempat yang gak akan diberikan para pelanggan manapun kecuali Dinda.” Sebelum melepaskan pelukannya dari Elang. Dia menuju ke arah mobil mengajak Arumi untuk menuju ke tempat yang sudah disiapkan oleh pemilik warung tenda. “Sudah dapat tempat?” tanya Arumi. Dinda mengulurkan tangan pada Arumi agar cepat turun dari mobil. Ketiga orang itu berjalan menuju ke belakang warung tenda. Elang berjalan mendahului kedua gadis di depannya untuk memastikan tempatnya aman. “Kakak minggir! Kenapa sih harus menghadang jalan. Dinda sudah lapar ini mau segera makan,” omel Dinda. “Kamu mau bawa kita ke mana? Bukannya kalau di belakang warung itu tempat cuci piring? Kakak gak mau makan di tempat seperti itu!” “Ye, suka berlebihan kalau berpikir deh! Lihat dulu tempatnya baru protes.” Dinda menarik tangan Arumi melewati Elang yang masih berkacak pinggang. Memang selalu begitu jika mengajak Elang makan di luar. Ribet sekali, banyak mau dan juga cerewetnya minta ampun. Arumi tersenyum saat sampai di tempat yang di pesan Dinda. “Gak nyangka di belakang warung tenda ada tepat sebagus ini,” ucap Arumi. “Ini tuh tempat rahasia Dinda, Kak. Hanya aku saja yang tahu.” “Kok bisa sih?” Dinda membisikkan sesuatu pada calon kakak iparnya. “Ini rahasia kita, Kak.” Arumi menganggukkan kepala. Kedua gadis itu duduk di atas tikar yang sudah disediakan pemilik warung tenda. “Kamu pacaran sama anak yang punya pecel lele ini?” “Ishhh ... Kakak! Jangan sembarangan bicara.” “Kakak hanya tanya. Kenapa kamu malah marah-marah begitu?” “Siapa yang marah? Tadi ‘kan Dinda hanya menegur saja. Soalnya, Kak Elang suka bicara sembarangan.” “Sembarangan yang bagaimana?” “Gak merasa ya?! Sudah ah makin lapar perut Dinda.” Saat Elang ingin mendebat adiknya, Arumi lebih dulu menyela. Dia tidak mau terjadi perdebatan lanjutan. Kepala sedikit pusing sejak tadi mendengar suara cempreng Dinda dan kebawelan Elang. Arumi mendapatkan pesan dari group chat nya yang beranggotakan dia, Nala dan Malika. Kedua sahabatnya kini sedang menggodanya karena tahu jika Arumi tengah berada di Jakarta. Lebih tepatnya, menginap di rumah Kakak dari Elang. “Kenapa cemberut? Sudah ngantuk?” “Nggak, Kak.” “Terus kenapa? Gak nyaman sama tempatnya?” tanya Elang lagi. Arumi menggeleng lagi, dia tidak mungkin menjawab soal kejahilan dari para sahabatnya. Bisa-bisa Elang akan besar kepala jika orang terdekat Arumi menjadi pendukungnya. “Gak, papa. Pengen cemberut saja.” Elang menggeser badannya menjauh dari Arumi. Dia khawatir jika gadis yang dicintainya tidak nyaman saat berada di dekatnya. “Kakak mau kemana kok jauh begitu duduknya?” “Gak, papa. Ingin bersandar saja.” “Nanti ada semut atau binatang lainnya kalau senderan sama pohon.” “Kalau yang di kerumuni semut itu bukan Kakak, Din. Tapi ...” Elang menggantung ucapannya. Arumi sudah menundukkan kepala. Dia tahu kalimat apa yang akan dikatakan oleh Elang. “Ehem ...” Dinda mengulum senyum. “Gak usah di terusin aku sudah tahu jawabannya.” “Kamu tolong lihat terus Kak Arumi, Din. Jangan sampai dia bentol-bentol karena digigit semut.” “Ih ... garing banget sih. Dasar orang tua! Jokesnya enggak banget deh.” Elang menjitak pelan kepala adiknya hingga membuat gadis itu mencak-mencak. Saat akan membalas perlakuan sang Kakak gerakannya tiba-tiba terhenti saat ada seorang pemuda datang mengantarkan pesanan mereka. *** “Kenapa sejak pesanan datang kamu diam saja?” “Kalau makan kata Mami harus diam, Kak. Gak boleh bicara.” “Masak sih?” “Hmm ...” “Bukan karena pemuda tadi?” “Enggak lah! Memangnya kenapa sama pemuda tadi? Gak ada hubungannya sama Dinda.” “Yakin?” “Kakak ini bawel banget sejak tadi! Tahu begitu Dinda Nggak ajakin Kak Elang jalan-jalan.” “Kak, sudah ah. Kenapa sih sejak tadi berdebat terus? Kakak ngalah dong sama adiknya. Kalaupun, mau kasih saran atau bicara penting lebih baik dibicarakan di rumah.” Arumi yang sudah tidak bisa menahan pusing akhirnya bertindak sebagai penengah perdebatan kedua Kakak dan beradik itu. Merasa ada yang mendukungnya, Dinda menjulurkan lidah pada Elang. Pria itu tidak bisa berkutik jika Humaira nya sudah menegurnya. Elang hanya bisa tersenyum manis dan meminta maaf pada Arumi. “Ayok, Kak. Di makan. Sambalnya enak sekali.” “Iya, Din. Tapi ini terlalu banyak. Kenapa gak pesan salah satu saja?” “Dinda pikir kalau pesan satu bakalan kurang Soalnya, pesannya tanpa nasi.” “Tadi ‘kan sudah makan malam di rumah Kak Claudia. Belum kenyang?” Dinda menggeleng. “Sekarang sudah lapar lagi, Kak. Gara-gara belahan jiwa Kakak tuh ngajakin ribut muluk.” “Belahan jiwa?” “Hmm ... Kak Elang akan menjadi belahan jiwa Kak Arumi. Iya ‘kan?” Dinda tersenyum jahil dengan menaik turunkan kedua alisnya. Padahal, baru saja berdebat dengan Elang. Kini, dia sudah menjadi tim suksesnya lagi. Memang kalau hubungan darah tidak akan betah merajuk lama-lama. “Gak suka lele?” Arumi ragu untuk menjawab. Dia merasa tidak enak dengan Dinda yang sudah memesankan makanan untuknya. “Kalau, Kak Rumi gak suka bilang saja. Gak usah sungkan sama Dinda.” “Bukannya nggak suka tapi agak geli kalau melihat kepala lele.” “Kenapa dengan kepalanya? Lucu begini?” Dinda memegang kepala lele. Menunjukkan pada Arumi. Arumi agak memundurkan badannya Dia benar-benar geli jika melihat ikan lele sekalipun sudah di goreng kering. “Dinda!” tegur Elang. Dia mengambil ikan lele yang ada di hadapan Arumi. “Gak ada makan lele malam ini. Makan bebek saja.” Dinda masih menatap Arumi dengan tatapan takjub. Dia baru tahu jika ada orang yang geli dengan makanan kesukaannya. Padahal, menurutnya lele adalah ikan paling lucu karena memiliki kumis panjang. “Maafkan Dinda ya, Kak. Nggak tahu kalau Kak Rumi takut lele tadi asal pesan saja.” “Iya, gak papa.” Ketiganya mulai menyantap bebek goreng dengan sambal tomat dan sambal hijau. Nasib para lele kini sudah berada di meja depan. Elang memberikan pesanan lele Dinda untuk tukang parkir. “Sambalnya Kak Rumi sudah habis. Mau tambah lagi?” tawar Dinda. “Boleh. Sambal hijau saja rasanya enak sekali. Nggak terlalu pedas.” “Baiklah, Dinda pesan dulu.” Dinda berdiri untuk memesan sambal. Memang ukuran bebek yang mereka makan lumayan besar jadi tidak akan cukup kalau hanya dengan sambal sedikit. Lagipula, sambal hijau dan tomat tidak pedas. Masih aman jika makan dalam jumlah banyak. “Sejak kapan takut dengan lele?” “Tepatnya enggak tahu, Kak. Tapi waktu Kak Mira pulang bermain membawa ikan lele di dalam ember Rumi langsung takut. Bukan takut yang terlalu sih hanya geli kalau lihat kepalanya. Rasanya, langsung merinding sekujur tubuh.” “Berarti sejak kecil sampai sekarang gak pernah makan ikan lele?” Arumi mengangguk. “Iya, Kak. Di rumah juga Ibu dan Bapak gak pernah masak ikan lele.” Arumi mengerutkan kening melihat sikap Elang yang mendadak berubah aneh. “Kak Elang kenapa?” “Sedang berpikir, Rum.” “Oh ...” “Kamu takut lele itu sekujur tubuhnya apa hanya kepalanya saja?” “Maksudnya?” “Tadi ‘kan kamu bilang kalau geli melihat kepala lele. Jadi, yang membuat kamu takut sama lele itu karena kepalanya saja?” “Kakak kenapa sih?” “Aku sedang memastikan sesuatu yang penting, Rum. Ini menyangkut masa depanku!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN