Kalimat Ambigu

1861 Kata
Sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah Claudia. Arumi terus saja diam tanpa mengatakan sesuatu. Sejak tadi, Dinda mengajaknya bicara namun dia hanya menjawab dengan anggukan dan gelengan. Gelagat aneh yang ditunjukkan oleh Arumi mengundang rasa penasaran dari gadis manis yang sedang duduk di sebelahnya. “Kak Rumi ngantuk?” “Iya, Din. Perut kenyang membuat cepat mengantuk.” “Padahal, tadi Kak Rumi hanya makan sedikit. Seporsi bebek goreng tanpa nasi.” “Sebelum pergi ‘kan sudah makan malam di rumah Kak Claudia.” “Kakak tadi juga makan sedikit waktu di sana,” debat Dinda lagi. Elang yang berada di balik kemudi gemas melihat perempuan pujaan hatinya dicecar oleh adik kesayangannya. “Din, kamu ini kenapa sih? Kalau Kak Rumi ngantuk harusnya kamu gak tanya-tanya terus!” Dinda meringis ke arah Arumi, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Maafkan, Dinda ya Kak Rumi.” “Iya, gak papa.” Dinda menyandarkan kepalanya pada lengan Arumi. Gadis itu memang manja sekali dengan calon kakak iparnya. Mobil yang dikendarai Elang berhenti tepat di carport rumah Claudia. Dia menoleh ke belakang, kedua gadis kesayangannya sudah tertidur dengan posisi Dinda berada di pelukan Arumi. “Lang ...” panggil Claudia. “Tumben belum tidur, Kak.” “Kakak gak bisa tidur kalau Arumi belum kamu bawa pulang.” Elang mendengkus ke arah sang kakak. “Gak bakalan Elang bawa kabur juga, Kak. Perginya juga sama Dinda ‘kan?” “Dinda itu masih labil. Di sogok sama pecel lele saja langsung jadi adik manis yang sangat penurut.” Tanpa menjawab ucapan Claudia, Elang lebih memilih membangunkan Arumi dengan sangat lembut. “Sudah sampai, Kak?” tanya Arumi dengan suara serak. Matanya mengerjap pelan. “Iya, baru saja sampai,” jawab Elang. “Jangan langsung turun! Duduk sebentar biar gak pusing kepalanya.” Arumi mengangguk. Dia mengelus pipi gadis manis yang ada di pelukannya agar segera bangun. Perlakuan Arumi pada Dinda menarik perhatian Claudia. Dia tersenyum, dalam hatinya berkata 'Adiknya memang tidak salah memilih perempuan yang akan dijadikan istri'. “Kakak,” gumam Dinda. “Sudah sampai ya?” “Iya, ayok bangun dulu. Kita pindah ke kamar Rafa,” ajak Arumi. Elang memapah Dinda yang berjalan dengan sempoyongan. Sementara Arumi mengikuti keduanya dari belakang bersama dengan Claudia. “Apa ngak sebaiknya Dinda, aku bawa pulang saja, Kak?” “Dia sudah bilang mau tidur sama Rumi dan Rafa.” “Mana cukup ranjang Rafa buat bertiga? Kakak tahu sendiri tingkah polah si bungsu kalau tidur. Muter-muter kayak gangsing.” “Terus bagaimana? Masak mau di pindahin ke kamar tamu. Besok pagi kalau bangun bakalan teriak-teriak.” “Minta Bibik siapin extra bed saja. Biar Dinda tidur di kasur sendiri. Arumi yang akan menjaga Rafa.” Claudia mengangguk, dia keluar dari kamar anaknya untuk meminta Bibik menyiapkan kasur tambahan untuk Dinda. Di rumahnya yang sangat besar itu banyak sekali kamar kosong tapi adik bungsunya bersikeras ingin tidur bersama dengan Arumi. Arumi masih menyandarkan badannya pada sofa panjang yang ada di kamar Rafa. Rasa kantuknya sudah mulai datang kembali. “Baring di ranjang saja, Rum. Nanti kalau sudah ketiduran di sofa aku gak bisa pindahin. Soalnya belum boleh sentuh-sentuhan.” “Kak Elang bicaranya!” “Memangnya aku salah? Memang benarkan kita belum boleh begituan?” “Idih ... malah makin menjadi. Kalau, mau buat kalimat yang jelas dong, Kak. Ngapain sih malah pakai kalimat ambigu? Bahaya jika ada yang gak sengaja dengar.” “Ambigu? Bagian mana?” “Kak Elang ini memang susah kalau diajak bicara. Sudah Ah! Mendingan Rumi tidur biar besok nggak kesiangan.” Arumi berjalan mendekati ranjang Rafa. Di sebelah kiri ada Dinda yang sudah tertidur nyenyak. Dia langsung berbaring diranjang membawa Rafa masuk ke dalam pelukannya. “Iri nya aku sama Rafa,” ucap Elang. “Apaan sih, Kak!” “Pengen jadi Rafa biar bisa dipeluk kamu.” “Dari pada pikiran Kak Elang ngelantur kemana-mana lebih baik Kakak segera pulang dan istirahat.” “Terima kasih, Rum.” Arumi mengangkat sebelah alisnya bingung kenapa Elang tiba-tiba mengucapkan terima kasih. “Maksudnya?” “Aku ucapin terima kasih karena kamu sudah perhatian.” “Kapan?” “Tadi. Baru saja. Masak lupa?” Arumi menghembuskan nafas lelah. Padahal dia berniat mengusir Elang. Malah Pria itu beranggapan dia sedang memberi perhatian. Benar-benar manusia aneh! Claudia datang bersama dengan Bibik, kasur yang biasa dipakai ketika sedang bepergian jauh di pasang di bawah ranjang Rafa. Setelah kasur sudah mengembang dengan sempurna Elang memindahkan Dinda agar Arumi dan Rafa bisa tidur dengan nyenyak. “Sudah, ayo keluar,” ajak Claudia. Elang masih berdiri, dia tidak bergerak sama sekali. “Elang, mau sampai kapan kamu di sini? Lihat tuh Rumi sudah mengantuk. Dia tidak nyaman jika ada kamu di kamar.” “Sebentar lagi juga bakalan cari Elang kalau sedang tidak ada di kamar.” Tanpa mau menjelaskan maksud dari ucapannya, Elang pergi begitu saja dari kamar Rafa. Claudia hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah aneh adiknya ketika sedang jatuh cinta. Arumi langsung memejamkan mata setelah Elang pergi. Keesokan harinya ... “Ante Rumi mau kemana?” “Tante mau menyusul teman-teman kerja, Sayang.” “Rafa boleh ikut?” Arumi menggeleng. “Gak boleh, Sayang. Acara buat orang dewasa, anak-anak belum boleh ikut.” “Memangnya mau kemana?” “Tante juga belum tahu. Soalnya kemarin ‘kan berangkatnya nggak bareng sama rombongan. Jadinya, waktu briefing ketinggalan.” Rafa masih bergelayut manja pada lengan Arumi. Gadis manis itu kini sedang memoleskan make up tipis pada wajah cantiknya. Rafa sudah merengek sejak bangun tidur karena tahu jika akan di tinggal oleh Tante kesayangannya. Setelah shalat subuh tadi, Arumi sudah turun ke bawah. Dia membantu Bibik memasak sarapan. Sang pemilik rumah belum bangun karena tidak sholat juga tidak tidur semalaman karena menjaga si adek yang kembali panas. “Ke bawah yuk,” ajak Arumi. “Rafa sarapan dulu setelah itu Rafa temani Adek. Kasihan Mommy gak ada yang bantuin jagain Adek.” Rafa menggandeng tangan Arumi dengan erat. Meskipun, wajahnya cemberut dia tetap patuh dengan apa yang dikatakan oleh tantenya. “Selamat pagi ...” “Om Elang, kapan pulang?” Rafa berlari ke arah Elang. Semalam waktu Elang sampai dia sudah tidur. “Tadi malam, Sayang.” “Kangen sekali sama, Om Elang.” Elang membawa Rafa ke dalam gendongannya lalu mencium kedua pipi chubby keponakannya. “Om Elang juga kangen sekali sama, Rafa.” Arumi menyiapkan piring dan peralatan makan. Claudia sudah mengatakan pada Bibik akan terlambat sarapan. Dia menyuruh Arumi sarapan lebih dulu. “Dinda mana, Rum?” “Belum bangun, Kak.” “Kok bisa? Biasanya dia paling rajin bangun pagi.” Arumi mengangkat bahu, dia hanya mengatakan yang dia tahu saja. Setelah mereka melaksanakan kewajiban di waktu subuh. Dinda kembali tidur sampai sekarang belum bangun. “Nasi goreng buatan kamu, Rum?” “Berdua masaknya bareng sama, Bibik.” Arumi memberikan piring yang sudah berisi nasi goreng beserta telur di atasnya. “Terima kasih,” ucap Elang. Arumi mengangguk. Dia mengambilkan bagian Rafa yang tidak pedas sama sekali. “Mau sama telur apa udang, Sayang?” “Rafa mau dua-duanya, Tan.” “Memangnya nanti habis?” “Rafa suka masakan Tante Rumi pasti akan habis. Biasanya Rafa kalau makan enak nambah beberapa kali.” “Memangnya tahu dari mana kalau masakan Tante Rumi enak?” tanya Elang. “Kemarin waktu di pesawat Tante Rumi kasih Rafa dimsum. Rasanya enak sekali,” jawab Rafa dengan tersenyum manis pada Arumi. Elang menatap Arumi dengan cemberut. Dia ternyata kalah langkah dengan keponakannya. Padahal, selama di Jogja Elang selalu meminta dibuatkan dimsum. Arumi selalu menolak dengan alasan sedang sibuk tidak ada waktu untuk membuat. “Kenapa gak dimakan? Keburu dingin gak enak, Kak.” “Rumi, kamu pilih kasih!” “Hah?” “Rafa yang baru kamu kenal saja langsung di buatkan dimsum. Sementara, aku yang sering minta gak pernah tuh di buatkan sekalipun,” protesnya. Rafa terkekeh dengan mulut penuh makanan saat melihat Omnya merajuk. “Bukan Rumi yang buat, Kak. Tapi Ibuk.” “Gak percaya!” Elang mulai memakan sarapan paginya dengan sangat lahap. Di rumah kediaman orang tuanya sudah tersaji berbagai macam menu makanan untuk menyambut kedatangannya. Namun, tanpa pamit Elang malah pergi sarapan di rumah Claudia. Sarapan pagi ketiganya berlangsung dalam diam. Dari pengamatan Arumi aturan di rumah Claudia jika sedang makan tidak boleh sambil berbicara. Berarti selama Elang menumpang makan di rumahnya sudah melanggar aturan keluarganya. “Kenapa melamun?” “Ah, enggak kok.” “Kepikiran sama teman-teman kamu?” Arumi menggeleng. “Nggak, Kak. Aman kalau masalah teman-teman. Rahma sudah kirim pesan jika rombongan mereka akan tiba di Jakarta pukul sembilan pagi.” “Terus tadi lagi pikirin apa?” “Emm ...” “Rumi,” saut Elang. “Keluarga Kak Elang makan tidak sambil bicara ya?” “Benar sekali, aturan turun temurun.” “Tapi, Kak Elang setiap makan di rumah Bapak selalu diajak bicara sama Bapak dan Ibuk.” “Bukannya, setiap keluarga memiliki aturan masing-masing, Rum? Aku juga harus menyesuaikan diri di keluarga baru. Nanti kalau kita akan sudah menikah, aku akan membuat peraturan sendiri untuk keluarga kecil kita.” “Om Elang dan Ante Rumi akan menikah?” “Iya, Sayang. Rafa senang apa tidak?” Rafa tersenyum. “Kalau Ante menikah sama Om berarti akan tinggal di rumah Oma?” “Sepertinya, tidak. Hanya saja Ante Rumi akan sering berkunjung ke jakarta.” “Yeyyyy ...” Rafa bertepuk tangan, dia sudah menghabiskan makanannya. Hatinya semakin berbunga-bunga mendapatkan kabar ngawur dari Om kesayangannya. Arumi mendengkus kesal, dia tidak bisa menyangkal karena tidak tega membuat senyuman manis di wajah Rafa hilang begitu saja. *** Saat arumi akan berangkat menyusul rombongannya. Rafa dan Dinda terus saja bergelayut manja pada lengannya. Membuat Arumi tidak bisa bergerak dengan bebas. Kini, Arumi dan keluarga besar Elang sudah berkumpul di ruang keluarga rumah Claudia. Ariska memberikan begitu banyak hadiah untuk calon menantunya hingga koper Arumi beranak menjadi 3. “Tante, bukannya Rumi menolak hadiah dari Tante. Tapi, kalau membawa 3 koper sepertinya akan sangat sulit.” “Gak papa, Sayang. D koper yang berisi hadiah dari Tante biar Elang yang akan membawanya ketika kembali ke jogja. Rumi tetap membawa koper yang dibawa dari jogja.” “Iya, Tan. Terima kasih,” jawabnya. Dia tidak bisa menolak atau mendebat Mommy Elang. Memang satu keluarga hobi sekali memaksakan kehendak. Arumi yang hanya gadis lemah lembut tidak akan bisa melawan keinginan keluarga Elang. Hingga akhirnya, Rahma memberikan kabar jika rombongan mereka sudah sampai di hotel. Arumi berpamitan pada Ariska dan Claudia sementara Rafa dan Dinda akan ikut mengantarnya. “Sering-sering main ke jakarta ya, Sayang. Mami ingin masak bareng sama Rumi. Tadi pagi waktu Mami tanya sama Bibik ternyata Rumi sudah selesai membuat sarapan. Padahal, mau Mami ajak masak di rumah.” “Kalau bulan depan Rumi sudah menjadi menantu Mami. Minimal sebulan sekali lah kita akan berkunjung ke jakarta,” saut Elang. “Kakak!” seru Arumi, dengan menatap galak pada Elang. “Amin ...” “Amin.” “Aaaaammmiiinnn.” Ariska, Claudia dan Dinda dengan kompak mengatakan ‘Amin’ untuk ucapan Elang. “Astaghfirullah, Kak Elang!” seru Arumi dengan mengelus d**a.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN