Sesampainya di Jakarta, Claudia memboyong rombongannya menuju ke rumahnya.
Rafa tidak mau melepaskan pegangan tangannya pada Arumi. Sehingga kopernya dibawa oleh pengasuh anak-anak Claudia.
“Sayang sudah sampai,” ucap Arumi.
“Rafa mau digendong.” Rengeknya dengan manja.
Claudia mendengar anak sulungnya minta gendong langsung memberi teguran. “Kakak gak boleh minta gendong Tante Rumi. Sudah umur lima tahun masak minta gendong sih?”
Rafa masih asik memeluk Arumi di kursi belakang. “Ya, sudah. Rafa jalan sendiri.”
“Ayok, Kak.” Arumi dan Rafa turun dari mobil. Mengikuti Claudia yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah.
Kesan pertama saat Arumi masuk rumah Claudia adalah kagum dengan dekorasinya yang sangat mewah.
Meskipun Rumah Malika dan Nala sama besarnya tapi rumah Claudia jauh lebih terkesan mewah.
“Ayok, Tante. Bobok di kamar Rafa saja ya? Ranjangnya besar muat untuk berdua.”
“Iya, Sayang. Tunggu sebentar Tante mau ambil koper dulu.”
Rafa masih setia menunggu Arumi yang berjalan keluar untuk mengambil koper. Sebelum sampai di depan pintu, Bibik sudah membawa kopernya masuk.
“Ini koper, Non Arumi?”
“Iya, Bik. Terima kasih, Maaf sudah merepotkan.”
“Tidak masalah, Non.”
Arumi merasa aneh dengan sikap Bibik yang melihatnya lalu mengulum senyum.
Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikannya namun tidak berani menanyakannya.
“Ada apa, Bik?”
Bibik menggeleng. “Tidak apa-apa, Non. Ternyata Non Arumi cantik sekali.”
Arumi mengerutkan keningnya. Bingung tiba-tiba Bibik memujinya. “Bibik bisa saja.”
Karena Rafa sudah merengek minta di antar ke kamar Arumi bergegas menghampirinya.
“Lewat sana, Tan. Naik lift saja kalau lewat tangga susah.”
“Ada lift di rumah?”
“Hmm ...”
Rafa menggandeng tangan Arumi menuju ke arah kotak besi yang bisa membawanya naik ke lantai 3 tanpa mengeluarkan tenaga.
Arumi terus mengagumi rumah Kakak sepupu Nala yang sangat mewah dengan fasilitas lengkap.
Kamar Rafa terletak di lantai 3, dia sudah memiliki kamar sendiri. Biasanya kalau tidur dia akan ditemani oleh pengasuhnya.
Namun malam ini berbeda. Dia akan tidur ditemani Arumi, Tante baru kesayangannya.
“Tante Rumi mau bobok sekarang?”
“Nggak, Sayang. Tadi di pesawat sudah tidur sangat nyenyak. Rafa sudah mengantuk?”
Rafa bergeser ke arah Arumi, dia merebahkan kepalanya di pangkuan Tante Cantiknya.
Sikapnya sangat hangat dengan tamu yang datang ke rumahnya. Membuat Arumi semakin gemas.
“Sebenarnya Rafa masih belum ngantuk. Tadi pura-pura bilang sama Mommy kalau mengantuk.”
“Kenapa?”
“Biar di bolehin bobok sama Tante Rumi,” jawabnya dengan terkikik.
Arumi menarik pelan hidung mancung Rafa. Setelah itu mencium kedua pipi chubby nya. “Jahil sekali.”
Arumi menggelitik Rafa hingga anak itu tertawa dengan keras. Kelakuan keduanya membuat Claudia tersenyum di depan pintu yang tidak tertutup.
“Lagi pada ngapain nih?” Claudia berjalan mendekat ke arah ranjang.
“Mommy tolongin Rafa! Tante Arumi gelitik badan Rafa,” teriak Rafa.
“Seneng banget sih! mentang-mentang ada Tante Cantik.”
Setelah Arumi berhenti menggelitik Rafa. Anak itu langsung meminta pangku dan memeluknya sangat erat. Kepalanya menyandar pada d**a Arumi tersenyum ke arah Mommy nya.
“Adek sudah tidur, Kak?” tanya Arumi.
“Iya, setelah makan dimsum langsung mau minum obat tadi. Alhamdulillah panasnya sudah turun.”
“Alhamdulillah, Kak. Besok kalau masih sudah makan biar Rumi buatkan dimsum.”
“Tante, Rafa juga mau.”
“Iya, Sayang. Besok Tante buat banyak biar bisa di bagi-bagi sama orang serumah.”
“Yeeeyyy ... Terima kasih Tante Cantik.”
“Sama-sama, Sayang.”
Claudia menggelengkan kepala melihat tingkah manja anaknya. “Oh iya, Rum. Sampai lupa tujuanku ke sini.”
“Ada apa, Kak?”
“Ada yang nungguin kamu di bawah. Mereka sudah tidak sabar mau nyusul ke kamar Rafa tapi aku gak kasih ijin. Nanti pada berisik gangguin Adek yang lagi bobok.”
“Siapa, Kak?”
“Mami dan Dinda, mereka berdua sudah heboh gak sabar mau bertemu.”
“Oma dan Ante Din-Din?” tanya Rafa.
“Iya, Sayang.”
Karena Rafa masih ingin bermanja-manja dengan Arumi. Akhirnya, Claudia memperbolehkannya ikut turun ke bawah. Lagi pula Mami nya sudah merindukan kedua cucunya.
Arumi gugup saat akan bertemu dengan Mami Elang dan Claudia.
“Oma ...” teriak Rafa. Anak itu berlari menuju ke arah Ariska, Omanya.
“Sayangnya, Oma. Kangen banget!”
“Rafa juga kangen,” ucap Rafa.
Dinda menyambut kedatangan Arumi langsung bergegas memeluknya penuh kasih sayang.
Meskipun, baru pertama bertemu dan belum berkenalan gadis itu merasa sudah sangat akrab dengan calon kakak iparnya.
“Kak Arumi cantik sekali,” ucapnya.
“Dinda, Ya?”
Dinda melepaskan pelukannya terkekeh dengan tingkahnya sendiri. “Eh, iya. Lupa kalau belum memperkenalkan diri.” Dia mengulurkan tangan pada Arumi. “Dinda, Adiknya Kak Claudia dan Kak Elang. Salam kenal ya Kakak Cantik.” Dia memperkenalkan diri dengan tersenyum manis.
Arumi menerima jabat tangan dari Dinda. “Arumi, salam kenal juga. Kamu manis sekali sih?”
“Terima kasih atas pujiannya, Kak. Banyak sih yang bilang kalau Dinda manis.”
Claudia mencibir sang Adik yang memiliki tingkat kepercayaan diri tingkat tinggi. “Duduk sini, Nak. Kenapa jauhan? Tante mau kenalan.”
Dengan malu-malu Arumi berpindah duduk di sebelah Ariska. “Pasti Nak Rumi sudah tahu nama Tante dari Claudia?”
“Iya, Tan. Sudah diberi tahu sekilas tadi sama Kak Claudia.”
“Nama Tante siapa?”
“Oma Ariska,” saut Rafa.
Semua orang tertawa melihat kelucuan Rafa. Dia mengira Omanya sedang melakukan permainan tebak-tebakan.
“Tante kepingin mencicipi masakan Nak Arumi katanya Elang enak sekali rasanya. Anak itu cukup pemilih dalam hal makanan Tante sempat khawatir saat dia memutuskan menetap di Jogja. Tapi, saat dia mengatakan jika makan pagi, siang dan malam dengan masakan kamu. Tante jadi lega, pasti Elang kini sudah bertambah gemuk.”
“Sebenarnya yang memasak Ibuk, Tan. Rumi hanya membantu jika ada waktu senggang.”
“Siapapun yang memasak tetap saja Tante mengucapkan terima kasih. Karena sudah memberikan asupan nutrisi untuk perut anak bandel Tante.”
Arumi mengangguk dengan tersenyum. Ariska membawanya ke dalam pelukan. Akhirnya, anaknya menemukan gadis yang selama ini dia cari.
***
“Sudah bobok Rafa?”
“Iya, Kak. Baru saja.”
“Kalau begitu ikut Kakak ke bawah yuk,” ajak Claudia.
Arumi ikut saja, dia belum mengantuk sama sekali. Terbiasa tidur larut karena harus membantu Ibunya membuatnya tidak bisa tidur lebih awal.
“Lah ... kok ada dia,” gumam Arumi.
Sejak keberangkatan mereka dari Jogja sore tadi, Dia tidak mengijinkan Elang menampakkan diri di hadapan Arumi.
“Assalamualaikum, Humaira.”
Arumi mengerucutkan bibir, Elang ini tidak tahu tempat kalau mengajaknya bercanda.
Di saat ada keluarganya dengan santainya dia memanggil Arumi dengan sebutan ‘Humaira’.
“Waalaikumsalam.”
Claudia mengajak Arumi duduk di sampingnya. Kini di ruang keluarganya ada Ariska, Dinda dan juga Elang yang baru saja datang.
“Itu tadi nama panjang Kak Arumi?” tanya Dinda.
Elang menggelengkan kepala. “Bukan! Itu tadi panggilan kesayangan Kakak untuk Kakak Iparmu.”
“Astaghfirullah, Kak Elang. Kakak ini bicara apa?!”
Wajah Arumi sudah berubah menjadi merah. Dia sangat malu saat Ariska mengulum senyum ke arahnya.
“Memangnya salah kalau aku memanggil dengan sebutan ‘Humaira’? Biasanya juga begitu ‘kan?”
“Kakak!” seru Arumi.
Elang sengaja menggoda gadis yang tengah menahan malu sekaligus kesal padanya. Pemandangan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.
“Sudah, sudah! Kamu ini Lang, suka sekali jahil.” Ariska menegur putra satu-satunya yang dimilikinya.
“Oh, Iya. Kata Kak Claudia, Kak Arumi belum pernah ke Jakarta ya?”
“Iya, Din. Ini pertama kalinya.”
“Kakak mau nggak Dinda ajak melihat monas?”
“Tapi ini sudah jam 9 malam.” Arumi melihat jam tangannya. Dia tidak pernah keluar malam selama tinggal di Jogja. Kecuali, memang ada pekerjaan yang mendesak. Itupun hanya beberapa kali bisa dihitung dengan jari.
“Makin malam makin ramai, Kak. Sekalian nanti Dinda ajak makan pecel lele yang paling enak se Jakarta.”
Arumi tidak menjawab, dia melihat ke arah Claudia. Bagaimanapun juga dialah yang mengajaknya ke Jakarta.
“Kalau Rumi mau gak papa keliling Jakarta malam hari. Jalanan juga gak macet seperti tadi sore. Bisa juga menikmati pemandangan monas di malam hari.”
“Beneran ngak papa, Kak?” tanya Arumi memastikan.
“Iya, Sayang.”
Setelah mendapatkan izin dari Ariska dan Claudia. Kini Arumi dan Dinda sedang berada di mobil menuju monas. Mereka begitu asyik mengobrol di kursi penumpang. Dinda tak henti-hentinya menceritakan kegiatannya di sekolah. Gadis manis itu sudah merasa cocok dengan Arumi jadinya tidak sungkan saat bercerita masalah pribadi.
Berbanding terbalik dengan kedua gadis yang tengah tertawa bahagia. Di belakang kemudi ada seorang supir dadakan dengan wajah cemberut. Jangan tanya siapa? pasti kalian sudah tahu orangnya.
“Kakak masih ingat ‘kan pecel lele yang dulu pernah Dinda tunjukkan?”
“Hmmm ...”
“Oh, iya. Nanti turun di depan pintu masuk monas. Kami akan berfoto di sana.”
“Hmmm ...”
“Satu lagi, nanti Kakak yang jadi tukang fotonya ya?”
“Hmmm ...”
Mendengar jawaban menyebalkan dari sang Kakak, Dinda langsung memukul lengan Elang.
“Lah kenapa Kakak kamu pukul, Adek?”
“Kakak jawabnya kenapa begitu? Kalau nggak ikhlas anterin kita jalan-jalan kenapa harus menawarkan diri buat jadi supir? Padahal Dinda sudah meminta tolong supir Kak Claudia buat antar.”
“Siapa bilang Kakak tidak ikhlas? Kamu itu suka berpikir macam-macam!”
“Terus kenapa diajak bicara jawabnya gak niat begitu?”
“Gak niat bagaimana? Kakak sudah menjawabnya semua. Lagi pula ya, Dek. Kata-kata itu tidak penting yang penting adalah perbuatan.”
“Ngomong apa sih? Dinda gak paham.”
Mobil yang dikendarai Elang berhenti di lampu merah. Dia sedikit menoleh ke belakang agar dapat melihat ke arah Arumi dan Dinda.
“Kamu gak akan ngerti! Belum cukup umur. Bahasa Kakak itu hanya Kak Arumi yang paham. Bukankah begitu, Humaira?”