“Arumi kamu benar berangkat bersama dengan Pak Elang?”
“Bukan, Kak Elang. Tapi, Kakaknya.”
“Lah, kok kamu bisa kenal?”
“Dia ‘kan sepupu Nala.”
“Oh, iya ya ...”
“Memangnya pada tahu ya kalau aku berangkat bareng sama siapa?”
“Hmm, semua orang taunya kamu berangkat sama Pak Elang.”
“Dari mana asal mula berita itu?”
Rahma menggeleng. “Aku juga tidak tahu, Rum. Waktu aku datang ke rumah sakit semua orang langsung bertanya padaku.”
“Terus, kamu jawab apa?”
“Aku bilang saja, Arumi berangkat bersama dengan saudara yang bekerja di jakarta. Dia sengaja berangkat lebih dulu karena ingin menjenguk keponakannya yang baru saja lahir.”
“Pada percaya apa enggak?”
“Sebagian percaya kalau kelompoknya Metha kamu tahu sendiri ‘kan? Mereka pasti tidak akan percaya dengan jawaban ku begitu saja. Makanya, selama di jakarta hati-hati. Pasti mereka diam-diam masih mengawasimu, Rum.”
“Iya, Ma. Terima kasih, ya.”
Arumi memeluk lengan sahabatnya. Mereka masih berada di dalam kamar baru saja selesai melaksanakan shalat subuh.
Hari kedua, rombongan Arumi berada di jakarta akan melakukan wisata ke Dufan. Beberapa karyawan yang belum pernah pergi ke Jakarta penasaran dengan permainan yang ada di Dufan.
Jadi, pihak panitia yang awalnya tidak memasukkan dalam list akhirnya menyisipkan dalam agenda di hari kedua.
Arumi kembali naik ke atas ranjang, dia membuka ponselnya ingin mengecek apa ada telepon atau pesan masuk.
Semalam, dia langsung membersihkan diri lalu tidur karena badannya terasa lelah setelah beraktivitas seharian.
Burung Elang
“Nanti agenda di mana, Humaira?”
Dinda
“Kak Arumi, Dinda dan Rafa mau ke Dufan. Kalau Kakak sudah sampai sana berkabar ya. Nanti, Dinda dan Rafa samperin.”
Kak Claudia
“Arumi, Sayang. Titip Rafa ya, dia mau menyusulmu ke Dufan nanti siang.”
Arumi menghela nafas, dia ini ingin menikmati gathering kantor dengan damai dan tenang. Sepertinya, Elang dan keluarganya tidak akan membiarkannya tenang selama di jakarta.
“Kenapa wajahnya begitu, Rum?”
“Ma, kalau aku bertemu dengan Adik dan Keponakan Pak Elang di Dufan, bagaimana?”
Rahma yang sedang menikmati secangkir teh di dekat jendela mendekat ke arah ranjang. “Memangnya kamu sudah janjian sama mereka?”
Arumi memberikan ponselnya pada Rahma agar sahabatnya dapat membaca pesan yang dikirimkan oleh keluarga Elang.
Rahma tersenyum setelah membaca pesan pada ponsel sahabatnya.
“Kok senyum-senyum begitu kenapa, Ma?”
“Maaf, ya Arumi. Aku tidak sengaja membaca pesan Pak Elang yang baru saja masuk.”
“Pesan apa?”
Arumi mengambil ponselnya kembali, dia membaca pesan yang di maksud oleh sahabatnya.
Ternyata, Elang mengirimkan kembali pesan yang berisikan tawaran untuk menjadi tour guide selama Arumi di jakarta.
“Cie, Rumi ...”
“Apa sih, Ma!”
“Firasatku ternyata benar," Ucap Rahma dengan terkekeh. "Saat kamu sedang ijin, Pak Elang datang mencarimu. Wajahnya, kelihatan khawatir saat Bu San-San bilang kamu sedang sakit. Saat itu, aku merasa jika Pak Elang memendam rasa dengan sahabatku,” terang Rahma.
Arumi teringat saat izin sakit Metha sempat mengirimkan pesan suara padanya dengan nada ketus.
Awalnya, dia menganggap jika Metha marah karena pekerjaannya bertambah banyak. Sepertinya bukan karena itu, melainkan dia marah karena Elang mencarinya sampai ke dapur.
“Rumi kenapa melamun?”
“Ah, nggak papa. Kamu jangan ember kemana-mana ya, Ma. Ini rahasia kita berdua.”
“Asiap ...”
“Terima kasih, Ma.”
“Oh, iya Rum. Terus gimana?”
“Apanya?”
“Perasaan Pak Elang, kamu terima apa enggak?”
“Jelas aku tolak, Ma. Gak mungkin ‘kan aku terima. Aku ini tidak pacaran!”
“Bukannya, Pak Elang langsung ajakin nikah?”
“Tahu dari mana?”
Rahma terkikik, dia tidak sengaja scroll pesan Elang yang dikirimkan pada Arumi tempo hari.
Dia membaca pesan yang berisikan ajakan menikah namun di abaikan begitu saja oleh sahabatnya.
“Rahma ...” ucap Arumi.
“Maaf, Rumi. Nggak sengaja baca tadi,” jawab Rahma dengan mengangkat kedua jarinya.
“Rahma nakal, ihhhh!”
Arumi menggelitik perut Rahma karena gemas dengan sahabatnya yang terus saja menggodanya.
Meskipun, Rahma sejak awal sudah tahu jika Arumi sering pergi makan siang dengan Elang dia tetap diam saja. Menunggu sahabatnya siap menceritakan masalah pribadinya padanya.
***
“Mau naik apa, Rum?”
“Halilintar, yuk! Penasaran pengen naik itu.”
“Gak mau ah! Serem, aku takut muntah.”
“Masak sudah sampai sini gak mau cobain mainan yang gak ada di Jogja? Rugi dong, Ma.”
“Ya, sudah aku anterin sampai di loket halilintar. Aku tungguin di bawah sampai kamu selesai naik itu.”
“Masak sendirian?” rengek Arumi.
“Dari pada aku mabuk dan muntah-muntah nanti kamu juga kerepotan sendiri buat merawat ku.”
Arumi mengerucutkan bibirnya, dia memeluk lengan Rahma mengajak sahabatnya menuju ke loket halilintar.
“Aku masuk dulu, ya. Kamu tungguin aku di bawah. Jangan pergi-pergi! Setelah ini, gantian aku temani ke tempat komedi putar.”
“Lah ... kenapa komedi putar?” tanya Rahma heran.
“Permainan ala-ala princess,” goda Arumi.
“Jahilnya ...”
Arumi berlari masuk ke dalam antrian tiket masuk halilintar sebelum Rahma sempat mencubit pelan lengannya.
Teman satu rombongannya jarang sekali yang memilih permainan ekstrim seperti dirinya. Jadi, di antrian barisan tidak ada satupun yang dikenalnya.
Saat Arumi sudah duduk dan memakai sabuk pengaman, dia dikejutkan kedatangan dua orang yang sedang tersenyum manis padanya.
“Kak Arumi, Dinda datang. Maaf ya, agak sedikit telat soalnya Adek tadi merengek minta ikut.”
“Sudah bisa pakai sabuk pengamannya?” kini gantian Elang yang bertanya.
Arumi hanya bisa mengangguk saja, dia tidak menyangka jika apa yang dikatakan oleh Elang dan keluarganya benar-benar mereka lakukan.
“Rafa mana?”
“Ada di bawah bersama dengan sahabat mu, Rahma.” Elang menjawab dengan senyuman.
Tidak ada obrolan lagi ketika permainan sudah dimulai. Semua orang yang naik halilintar berteriak dengan keras ketika permainan itu sudah naik keatas dan ke bawah dengan kecepatan tinggi.
Arumi dan Dinda tertawa keras ketika melihat wajah pucat Elang setelah permainan berakhir. Sebenarnya, Pria berusia matang itu sangat takut dengan ketinggian. Demi cintanya pada Arumi dia mencoba melawan ketakutannya selama ini.
“Kakak tidak apa-apa?”
“Sedikit pusing, Rum.”
Arumi meminta Dinda membantu memapah kakaknya. Dia tidak mungkin bersentuhan dengan Elang.
“Duduk di sana dulu, Din,” tunjuk Arumi pada kursi kecil yang ada di dekat loket. “Bawa minum apa enggak?”
“Iya, Kak. Ada di tas.”
“Ya, sudah. Aku ambil dulu ya.”
“Eh, Kak Rumi di sini saja jagain Kak Elang. Biar Dinda saja sekalian ajak Rafa gabung sama kita.”
Arumi tidak bisa menolak, Dinda sudah berlari meninggalkannya. Kini Elang masih memejamkan matanya. Kepalanya pusing dan perutnya masih sangat mual.
“Kalau nggak tahan sama ketinggian kenapa dipaksakan, Kak?”
“Soalnya mau menjagamu, Rum. Masak kamu berani sama ketinggian sedangkan aku tidak.”
“Memangnya kenapa kalau takut ketinggian, Kak? Bukannya semua orang punya kelemahan masing-masing.”
“Kamu gak masalah punya suami yang takut ketinggian, Rumi?”
“Lah, kenapa sampai kesana sih pembahasannya?!”
Elang terkekeh melihat wajah lucu dari Arumi. Meskipun mereka jarang sekali saling menatap. Tetap saja Elang suka dengan wajah imut Arumi ketika sedang merajuk.
Dinda datang bersama dengan Rafa dan Rahma. Anak kecil itu berlari dengan memanggil nama Tante kesayangannya.
“Halo, Sayang. Ganteng banget sih hari ini.”
“Iya, Tan. Kata Mommy juga begitu. Rafa kelihatan ganteng saat pakai baju ini.”
“Sejak tadi aku nggak dikatain ganteng kayak Rafa. Padahal baju kita sama,” protes Elang.
Arumi mendelik tajam, sementara Rahma dan Dinda sudah mulai menggodanya.
Elang memang tidak bisa memfilter bicaranya jika sedang bersama dengan Arumi.
“Gak usah aneh-aneh kalau bicara, Kak!” seru Arumi.
Gadis cantik itu mengambilkan minuman jahe hangat untuk elang. Dia juga menambahkan sedikit madu yang ada di dalam tasnya agar rasa mual yang dirasakan Elang cepat mereda.
Rahma tersenyum saat melihat perhatian sahabatnya pada Elang. Dalam hatinya berdoa jika Arumi dapat berjodoh dengan Elang.
Agar sahabatnya itu dapat memiliki pasangan yang dapat membantu perekonomian keluarganya.
***
Lelah bermain permainan yang ada di Dufan Elang mengajak Arumi, Dinda, Rahma dan Rafa makan di restoran.
Dia tidak nyaman jika harus makan di tempat ramai.
Awalnya, Arumi menolak. Dia takut jika dicari oleh Bu San-San jika pergi terlalu jauh. Namun, setelah Elang meminta izin pada kepala dapur. Arumi dan Rahma langsung setuju.
Restoran yang dipilih oleh Elang sangat mewah. Membuat kedua gadis yang berasal dari Jogja itu terkagum-kagum.
Rahma bahkan berbisik pada Arumi soal harga makanan.
“Ayok masuk. Kenapa kalian malah berdiri di situ?”
Arumi mendekati Elang. “Kakak memangnya nggak berlebihan makan siang di sini?”
“Makanan disini rasanya enak sekali, Rum. Kamu pasti akan suka.”
“Bukan masalah rasa makanannya, Kak. Tapi tempatnya,” jawab Arumi.
“Kamu gak suka sama tempatnya?”
Arumi menggeleng cepat. Mana mungkin dia tidak suka dengan restoran yang bergaya american style. Interior depannya saja sudah terlihat sangat mewah apalagi di dalamnya.
“Pasti harganya sangat mahal, Kak. Uang saku Rumi gak bakalan cukup buat bayar.”
Elang terkekeh mendengar ucapan gadisnya. Bisa-bisanya Arumi mengkhawatirkan harga makanan ketika sedang bersamanya.
“Sudah, ayok masuk! Gak usah dipikirkan soal harga.”
Elang masuk terlebih dahulu, Arumi dan Rahma mengikuti dari belakang. Rafa melambaikan tangan pada Arumi saat melihat Tante kesayangannya masuk ke dalam ruang VIP.
“Kak, sini ...” panggil Dinda.
“Kenapa pilih ruang VIP?”
“Biar lebih privasi saja, Kak. Lagian restoran ini masih dekat dengan Dufan. Kak Elang mungkin antisipasi saja jika tidak sengaja bertemu dengan teman Kak Arumi.”
Arumi mengangguk, penjelasan Dinda memang sangat masuk akal. “Kak Elang kemana?”
“Tunggu sebentar lagi, Kak Rumi. Kak Elang sedang menyiapkan sesuatu yang spesial.”
“Apa?” tanya Rahma penasaran.
Dinda membisikkan sesuatu pada Rahma. Keduanya tertawa cekikikan. Membuat Rafa yang duduk di tengah ikut penasaran. Anak kecil itu ikut mendekatkan telinganya pada Dinda agar tahu apa yang sedang Tantenya bicarakan.
“Kalian lagi ngomongin apa?”
“Rahasia ...” Jawab ketiganya dengan kompak.
“Jangan nakal ya! Nanti aku marah!”
“Gak takut,” jawab Rahma. “Marahnya Arumi masih kalah keras dengan kentutnya Paijo.”
“Rahma, Astaghfirullah. Masak kamu samakan marahku dengan kentut sih?!”
Rahma tertawa. “Memang benar ‘kan?”
“Paijo itu siapa?” tanya Dinda.
“OB yang ada di rumah sakit.”
“Owhhh, kirain siapa,” jawab Dinda.
Setelah menunggu beberapa saat Elang datang bersama dengan 2 orang yang membawakan makanan.
Dia sudah berganti baju. Penampilannya kini terlihat seperti chef profesional. Membuat Arumi dan Rahma menganga mulutnya.
“Makanan pertama untuk Humaira. Silahkan di nikmati.”
Elang memberikan piring yang berisi makanan pada Arumi terlebih dulu. Biasanya, gadis itu akan mencak-mencak saat Elang memanggilnya dengan sebutan ‘Humaira’ kini dia anteng saja. Terpesona dengan kecantikan makanan yang tersaji dalam piring.
“Kak Elang sendiri yang masak khusus untuk Kak Arumi,” ucap Dinda.
“Bener?” tanya Arumi.
Elang mengangguk, dia menyuruh pelayan restoran untuk menyajikan makanan yang sudah dibuatnya.
Dia ikut duduk di samping Rafa karena tidak mungkin duduk berjejeran dengan Arumi sebelum status mereka berubah menjadi suami dan istri.
Seperti biasanya, Mereka makan dengan sangat tenang. Tidak ada satupun yang berbicara.
Sebelum makan tadi Arumi mengatakan pada Rahma kebiasaan keluarga Elang saat menyantap makanan.
“Rafa mau tambah lagi, Sayang?”
“Sudah cukup Ante perut Rafa sudah penuh.”
Arumi membantu membersihkan sudut bibir keponakan Elang yang cemong akibat makan siangnya.
“Masakan Om Elang memang juara!” seru Rafa.
“Memangnya Om Elang sering masak ya?”
“Iya, Ante. Om Elang ‘kan yang punya restoran ini.”
“Apa ...”
“Apa!”
Teriak Arumi dan Rahma bersamaan. Kedua gadis itu, kaget mendengar kenyataan jika restoran mewah tempat mereka makan siang adalah milik si Burung Elang.
“Kenapa sampai begitu kagetnya, Rum?” tanya Elang dengan terkekeh.
“Jadi, yang masak semua ini Kak Elang juga?”
“Hmmm ... khusus buat Humaira.”
“Isshhh, bisa gak sih para Kakak ku jangan saling menggoda di depan jomblo!” seru Dinda.
“Siapa yang menggoda?” Arumi mengerucutkan bibir mungilnya. “Kak Elang tuh kalau bicara lupa pakai saringan!”
“Lah, buat apa pakai saringan, Rum? Kalau sarungan malah aku sering pakai.”