Klinik Bersalin

1874 Kata
Setelah selesai makan siang Arumi kembali pada rombongannya. Mereka akan menuju ke daerah kota tua sebelum besok pagi kembali ke Jogja. Liburan yang awalnya selama 3 hari, harus diubah menjadi 2 hari karena ada sedikit masalah di dapur rumah sakit. Banyaknya pasien yang datang membuat tim dapur yang standby kewalahan dalam menyajikan makanan untuk para pasien. Ace meminta Bu Sandra dan timnya agar segera kembali dengan kompensasi sisa liburan akan diganti dengan tambahan gaji bulan ini. “Kayaknya Pak Elang ikut ke kota tua, Rum.” “Iya, Dinda sudah kirim pesan.” “Memang totalitas tanpa batas.” “Apanya?” “Perjuangan untuk mendapatkan cinta seorang Arumi.” “Halah, gak usah berlebihan deh, Ma!” “Ye ... ini bukan berlebihan, Rum.” Rahma mendekatkan badannya pada Arumi. “Pak Elang itu orang sibuk sekali. Kalau dia sampai meluangkan waktu hanya untuk menemanimu liburan itu tandanya Arumi adalah orang penting di dalam hidupnya.” Arumi mendengkus, sepertinya Rahma sudah menjadi tim sukses Elang dalam mengejarnya. Sogokan makan siang di restoran mewah langsung berhasil mengambil hati dan jiwa raga Rahma. “Pak Elang bisa dapat perempuan yang lebih baik dari aku, Ma.” Arumi menyandarkan punggungnya pada jok bus. “Kamu tahu sendiri ‘kan kondisi keluargaku seperti apa? Aku tidak mau membuat keluarga besar Kak Elang malu saat berhubungan dengan ku.” “Pak Elang bukan orang yang gegabah dalam mengambil keputusan, Rum. Pasti dia dan keluarganya sudah tahu mengenai masalah yang sudah di hadapi keluargamu. Benarkan?” “Hmm, Kak Elang memang sudah tahu. Aku bahkan memberitahunya beberapa kali agar dia mau menjauhiku.” “Keluarganya, bagaimana?” “Soal itu, aku belum tahu. Semoga saja orang tua Kak Elang tidak setuju jika anaknya berhubungan dengan perempuan yang orang tuanya memiliki segunung hutang. Ditambah lagi, Kakaknya adalah seorang koruptor di tempat kerjanya.” “Rumi!” seru Rahma, kedua matanya sudah berkaca-kaca. Semenjak mengenal Arumi, Rahma sudah menyukai kepribadian sahabat barunya yang sangat humble, cerita dan cekatan. Dia paling tidak suka jika Arumi merendahkan dirinya sendiri karena kondisi keluarganya. “Kamu perempuan yang hebat, Rum. Pak Elang tidak akan bertindak sejauh ini jika kamu tidak pantas bersanding dengannya!” “Sudahlah, Ma! Aku tidak mau membicarakan sesuatu yang aku sendiri tidak yakin dengan hal itu.” Rahma mengangguk. Dia tidak membahas soal Elang lagi karena mood Arumi sudah berubah menjadi buruk. Sesampainya di kota tua, mereka mencari masjid terlebih dahulu untuk melaksanakan ibadah sholat ashar. Arumi menunggu di taman depan masjid karena sedang mendapatkan tamu bulanan. Pembahasan mengenai Elang masih terngiang-ngiang di kepalanya. Hatinya mendadak sesak mengingat perjuangannya selama beberapa tahun ini. Dia yang awalnya dijadikan princess oleh sang ayah kini harus membanting tulang demi membantu melunasi hutang keluarga. “Kenapa menangis? Ada yang sakit?” Arumi membersihkan sisa air matanya terlebih dulu sebelum memberanikan diri mendongak ke atas. “Kakak kok sendirian?” tanya Arumi. “Dinda dan Rafa sedang membeli es krim.” “Kak Elang sudah sholat?” “Sudah, baru saja.” Elang sudah duduk di samping Arumi. Tentunya dengan jarak yang cukup lebar karena kursi yang mereka duduki lumayan panjang. Keduanya, diam tanpa ada yang mengeluarkan suara. “Ada yang mengganggu pikiranmu, Rum?” Arumi menggeleng. “Tidak ada, Kak.” “Jangan bohong!” Elang menghembuskan nafas kasar. Dia sangat benci dengan bakat akting yang dimiliki Arumi. “Apa Debt Collector datang kembali ke rumah?” “Nggak, Kak. Kami tepat waktu kok bayar bulan ini.” “Kalau begitu, kenapa kamu tadi menangis? Pasti ada alasannya tidak mungkin kamu hanya ingin membersihkan debu dalam matamu! Tanpa kamu menangis saja kotoran mata akan keluar dengan sendirinya, Rumi.” Arumi terkekeh mendengarkan jokes Elang. “Ngapain sih harus bahas kotoran mata segala?” “Kalau aku ajakin bahas soal pernikahan pasti kamu akan langsung kabur. Benar ‘kan?” Arumi memutar bola mata, Elang memang tidak akan menyia-nyiakan jika ada kesempatan untuk menggodanya. “Kak Elang sejak kapan bisa masak?” tanya Arumi, berusaha mengalihkan pembicaraan. “Sebenarnya, keahlian sejak kecil. Mami saat mengandung Dinda sering jatuh sakit beliau setiap hari muntah-muntah. Hanya bisa makan masakan yang aku buat.” “Woow, kenapa bisa begitu?” Elang mengangkat bahunya. “Enggak tahu juga, Rum. Jadi, selama sembilan bulan itu aku selalu masak di bantu oleh Chef yang di sewa oleh Papi. Setelah, Dinda lahir aku mendapatkan sertifikat lulus kursus memasak di restoran bintang lima milik teman Papi.” “Masak buat Tante Ariska sekaligus ikut les memasak. Ide dari mana itu, Kak?” “Papi tentunya, beliau bilang kalau sekalian saja aku ikut les memasak. Toh Mami dengan sukarela menawarkan diri sebagai pelanggan setia hasil masakanku.” Arumi mengangguk, dia tersenyum sekilas ke arah Elang. “Hebat sekali! Rumi tidak menyangka jika Pria sibuk seperti Kak Elang bisa masak makanan enak seperti tadi siang.” “Kalau boleh jujur, Rum. Aku sudah lama nggak masuk ke dapur setelah mengambil alih perusahaan Papi. Baru tadi siang aku kembali memegang alat masak dan bahan makanan.” Senyum Arumi semakin mengembang, dia tidak menyangka dapat makan masakan eksklusif dari pemilik restoran mewah yang sudah memiliki banyak cabang. Setelah, selesai makan siang Rahma mengatakan jika restoran milik Elang memiliki dua cabang di jogja. Tepatnya, di daerah malioboro dan di sekitaran rumah sakit tempat mereka bekerja. “Terima kasih, Kak. Sudah mau masak untuk ku.” Elang tersenyum. “Untuk ku. Apa itu berarti kamu merasa aku memasak hanya untuk mu, Arumi?” “Eh, E-enggak. Maksud Rumi bukan begitu!” “Lalu?” senyum jahil terbit di bibir Elang. Membuat Arumi semakin kalang kabut. Dia telah salah bicara barusan! “Ya, intinya Rumi berterima kasih karena Kak Elang sudah memberikan makanan gratis dan enak untuk ku dan Rahma.” Melihat wajah Arumi seperti kepiting rebus Elang semakin tergelak. Dia merasa lega saat Arumi sudah melupakan kesedihannya. Elang tidak tahu apa yang sebenarnya membuat Arumi menangis. Yang paling penting kini gadis yang dicintainya sudah kembali tersenyum. *** “Ayo foto di sini, Kak Rumi sama Dinda dan Rafa.” “Tadi sudah ‘kan?” “Iya. Tapi ‘kan di sebelah sana, Kak. Di sini belum,” jawab Dinda dengan meringis. Arumi mendekati Dinda dan Rafa. Elang bertugas menjadi tukang foto keliling. “Mau foto di mana lagi?” tanya Elang. Arumi menggendong Rafa yang sudah kelelahan. “Aku dan Rafa istirahat dulu ya sepertinya si Kakak sudah capek.” Rafa menyandarkan kepalanya pada d**a Arumi. Usapan lembut tangan Tante kesayangannya membuatnya langsung memejamkan mata. Dinda mengajak Rahma untuk menemaninya berkeliling kota tua. Rombongannya kini sudah berpencar semua. Jadi, tidak ada yang menyadari jika Arumi dan Rahma sedang bersama dengan keluarga Elang. “Biar aku yang ganti pangku Rafa.” “Nanti dulu, Kak. Biar nyenyak dulu kasian kalau terbangun.” “Rafa termasuk anak yang pemilih. Tapi sejak pertama bertemu denganmu dia langsung menempel seperti perangko.” “Memangnya Kak Elang tahu? Bukannya waktu Kakak kembali ke jakarta Rafa sudah tidur ya?” “Apa sih yang enggak aku tahu dari mu, Rumi?!” “Hilih, suka sekali percaya diri seperti itu!” Elang terkekeh pelan takut mengganggu tidur nyenyak keponakannya. “Kenapa begitu lihatnya?” “Nanti kalau kita punya anak pasti akan lebih tampan dan lucu dari Rafa.” “Kakak jangan mulai deh!” Arumi mengajak Elang kembali ke mobil karena ingin menidurkan Rafa di sana. Setelah sampai di dekat mobil ada seorang ibu hamil yang meminta tolong pada Elang. Dia terlihat sedang menahan sakit dengan memegang perut buncitnya. Arumi yang telah menaruh Rafa langsung mendekati ibu hamil tersebut. “Kenapa Mbak?” “Sepertinya, saya akan melahirkan.” “Suami Mbak, kemana?” “Tadi pamitnya beli minum tapi sampai sekarang nggak datang-datang juga. Padahal, sudah saya telpon dan kirim pesan.” Arumi meminta Elang mengantar ibu hamil pergi ke klinik bersalin. “Rafa kamu pangku saja duduk di depan.” Arumi bergegas mengambil Rafa. Ibu hamil itu sudah duduk di belakang dengan mengelus perut buncitnya. “Cari klinik bersalin yang dekat sini saja, Kak. Biar suaminya gampang nyusulnya.” “Hmm ...” Arumi memeluk Rafa dengan erat saat Elang mengendarai mobilnya sedikit kencang. Untung saja mereka dapat menemukan klinik bersalin tak jauh dari lokasi mereka berada tadi. Saat sampai, Elang turun lebih dulu meminta perawat yang berjaga membantu ibu hamil yang dibawanya. “Bapak bisa bantu gendong istrinya,” ucap perawat yang membawa brankar. “Dia bukan istri saya, Sus.” “Maaf, Pak. Saya kira istri Bapak.” “Itu istri saya ada di sana. Sedang menggendong anak saya,” tunjuk Elang pada Arumi. Suster mengangguk kemudian meminta temannya membantu mengangkat pasien yang baru saja datang. “Sini biar aku yang gendong, Rum.” Arumi memberikan Rafa pada Elang, anak itu meskipun tidur berpindah-pindah tetap saja tidak terbangun sama sekali. Elang mengajak Arumi mengurus registrasi ibu hamil yang mereka tolong tadi. “Kak ada telepon.” “Mungkin suaminya.” Arumi menggantikan Elang mengisi data pasien yang masih belum selesai. Pegawai administrasi tersenyum melihat Elang mengangkat telepon dengan menggendong Rafa. “Mbak sudah selesai,” ucap Arumi. “Ah, iya. Sebentar saya cek dulu ya.” “Iya.” Elang berjalan mendekati Arumi. “Suaminya sebentar lagi akan ke sini. Ternyata ponselnya hilang kecopetan saat mengantri di ATM.” “Astaghfirullah. Kasihan sekali, Kak.” Elang tidak sengaja mengelus kepala Arumi. Keduanya sama-sama tidak sadar. Arumi mengirim pesan pada Rahma dan Dinda jika dia dan Elang sedang berada di klinik bersalin. Dia juga meminta Rahma untuk meminta ijin pada Bu San-San karena tidak bisa kembali ke hotel bersama dengan rombongannya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya suami Ibu hamil tadi datang bersama dengan seorang anak kecil seumuran Rafa. Wajahnya terlihat panik dengan keringat yang sudah membasahi keningnya. “Langsung masuk saja, Mas. Istri anda ada di dalam,” ucap Elang. “Iya, Mas. Terima kasih sudah menolong istri saya. Saya langsung masuk ya,” jawabnya. Tanpa menunggu jawaban Elang, Pria seumuran kakak iparnya itu langsung masuk ke dalam ruang bersalin. “Memangnya boleh ya bawa anak kecil masuk ke dalam?” “Mungkin di titipkan sama perawat yang sedang berjaga.” “Emm, terus ini tasnya bagaimana, Kak?” “Aku titip ke perawat saja. Tunggu disini sebentar.” Arumi mengangguk, dia kini kembali memangku Rafa. “Sayang, anak ganteng. Bobonya nyenyak sekali sih.” Arumi mencium kedua pipi chubby Rafa. Setelah Elang kembali tidak sengaja melihat kelakuan Arumi yang sedang gemas dengan keponakannya. “Yuk ...” ajak Elang. Arumi berdiri, dia masih sibuk memandang wajah Rafa yang terlelap. “Rafa mirip sama Dinda ya, Kak?” “Iya, semua orang juga bilang gitu. Soalnya, waktu hamil Rafa. Kak Claudia suka sekali jahil sama Dinda. Mirip lah anaknya waktu lahir.” Arumi terkekeh mendengar cerita Elang. Memang hal semacam itu hanyalah mitos. Mau percaya boleh, mau enggak juga boleh. “Mau pulang, Mas, Mbak?” tanya Suster IGD yang sedang mengembalikan brankar ke depan ruangan. “Iya, Sus.” “Hati-hati di jalan, Mbak.” “Terima kasih, Sus,” jawab ramah Arumi. “Anaknya mirip sekali sama Papanya. Mamanya gak kebagian,” ucap suster satunya. Saat Arumi akan menjawab, Elang sudah lebih dulu menyahutnya. “Istri saya saat ini sedang hamil. Dedek yang kedua akan mirip Mamanya, Sus.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN