Si Penjaga Masjid

1822 Kata
Pagi hari di Magelang sangat dingin membuat Arumi tersenyum dengan memejamkan kedua matanya di depan jendela. Gadis itu memang sangat suka udara dingin dan pemandangan alam. “Dek, “ Panggil Tika. “Nggak dingin dari tadi di depan jendela?” “Nggak, Kak. Malahan pengen keluar tapi belum mandi.” “Kakak males mandi meskipun pakai air hangat.” “Justru kalau habis mandi tuh biasanya enggak terasa dinginnya, Kak. Rumi juga begitu soalnya.” “Ahh, memang kamunya saja yang betah sama udara dingin.” Arumi terkekeh melihat Tika yang kembali masuk ke dalam selimut. “Memangnya mau ada acara apa di sini, Kak?” “Peresmian restoran sekaligus villa, Dek. Memangnya Elang gak jelasin ke kamu?” “Enggak! Kak Elang cuman bilang kalau proyek yang dikerjakannya sudah selesai dan akan diresmikan. Itu saja!” Kartika duduk menyandarkan badannya pada kepala ranjang. “Ini punya Elang sendiri, Rum.” “Owh, pantas saja Kak Elang kekeuh banget ajakin Rumi ke sini.” “Dia maksa kamu ya?” “Hehe, enggak kok kak. Awalnya, memang Rumi menolak waktu diajak ke sini. Selain takut pergi berdua dengan Kak Elang, Bapak pasti juga gak akan kasih ijin.” “Terus gimana ceritanya kamu bisa setuju?” “Waktu Kak Elang nunjukin villa dan pemandangannya, Kak. Rumi langsung penasaran dan pengen ke sini.” “Kayaknya Elang sudah menjebak kamu, Dek.” “Maksudnya, Kak?” “Dia kemarin minta di kirim video pemandangan Villa dan restoran sama Dhafi. Kakak kira mau di tunjukkan ke Om Cakra gak taunya mau dibuat merayumu.” “Sampai segitunya, Kak?” “Hmm, sejak kenal Elang. Kakak baru melihat dia segigih ini mengejar seorang perempuan. Sampai memutuskan pindah ke Jogja.” “Kata Kak Elang memang kerjaannya yang menuntutnya untuk tinggal di Jogja?” “Bohong, kamu jangan percaya, Dek. Itu hanya alasannya saja.” Arumi berpikir sejenak. Apa iya, yang dikatakan oleh Kartika benar? Kalau iya, Elang memang patut diacungi jempol karena kegigihannya dalam mengejar cintanya. “Dek, kok ngelamun?” “Eh, hehe ... maaf, Kak.” “Kakak berkata seperti itu bukan bermaksud mengeluh sama kamu, Dek.” “Iya, Kak. Rumi tahu kok Kak Tika enggak ada maksud jahat.” “Benar sekali! Sebenarnya sih ada maksud lain juga.” “Apa?” “Rahasia,” ucap Tika. Arumi mengerucutkan bibirnya, gemas dengan orang yang suka berbicara setengah-setengah padanya. “Kalau begitu, Rumi mandi dulu ya, Kak. Udah gak sabar mau jalan-jalan keluar.” “Iya, aku mau lanjut tidur lagi. Acaranya masih jam sepuluh nanti.” Arumi mengambil baju ganti sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Elang sudah mengirim pesan sejak tadi namun dia belum berniat membalas. Selesai mandi dan bersiap, Arumi pamit pada Kartika yang kembali bergelung dalam selimut tebal. Dia akan mengitari kebun strawberry yang sudah waktunya panen. “Rumi.” panggil seseorang saat Arumi berada di tengah kebun. “Abidzar? Benar itu kamu?” “Iya, Rum. Ini aku Abi si penjaga masjid.” “Ya allah, Abi. Kamu apa kabar?” “Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri bagaimana Rumi?” “Alhamdulillah kabar aku baik juga. Kamu sekarang tinggal di sini?” “Iya, Abah ajak pulang kampung jadi petani.” “Rumah kamu di sekitaran sini, Bi?” Abidzar mengangguk, dia menunjuk ke arah di mana ada pemukiman warga. “Sebelah sana, gak kelihatan jelas kalau dari sini.” “Lumayan dekat.” “Hanya butuh jalan beberapa langkah saja untuk sampai ke perkebunan milik Pak Elang.” “Pak Elang?” tanya Arumi. “Iya, Rum. Sebagian besar perkebunan ini sudah dibeli oleh Pak Elang.” “Owh, begitu.” “Aku dan yang lainnya bekerja di sini. Selain merawat kebun sebagian dari kami juga ada yang bekerja di villa dan restoran. Alhamdulillah, Rum. Orang sebaik Pak Elang mau membuka usaha di sini.” Arumi tersenyum. Memang Pria menyebalkan yang suka mengganggunya begitu baik, dia akui itu. “Kalau begitu selamat bekerja ya, Abi. Aku mau lanjut jalan-jalan lagi.” Saat Arumi akan pergi, Abidzar memanggilnya lagi. “Ada apa, Bi?” “Kamu sedang apa disini, Rum?” “Liburan saja, Bi. Di ajak sama teman.” “Bukannya tempat ini belum dibuka untuk umum?” Arumi kebingungan menjawab pertanyaan dari Abi, gadis itu hanya meringis. Dia tidak pandai membuat alasan namun tidak mau mengatakan jika kedatangannya di ajak oleh di pemilik Villa. “Maaf ya, Abi. Aku tidak bisa menjawabnya.” “Iya, Rumi. Tidak masalah. Silahkan lanjutkan kelilingnya, di sebelah sana kamu bisa mencicipi strawberry karena sudah dicuci.” Arumi mengangguk dan tersenyum, dia pamit pada Abi lalu melanjutkan perjalanan berkeliling kebun. Selain, strawberry kebun milik Elang juga ada berbagai jenis sayuran. Meliputi ; Wortel, sawi, kubis dan juga kentang. Dalam hatinya berkata ‘Jika tempat ini di dekat rumah Ibu pasti beliau sangat senang sekali’. Secinta itu Annisa dengan berbagai macam sayuran hijau dan segar. “Siapa pria tadi? Kelihatannya, kalian sudah akrab.” Arumi sedikit berjengkit ketika suara Elang tiba-tiba muncul di belakangnya. “Kak Elang?” “Jawab Rumi!” “Kok galak sih?” protes Rumi dengan mencebikkan bibir. Gadis itu memang sangat polos. Elang sedang cemburu saja dia tidak tahu. Padahal, wajah Elang sangat datar dan suaranya sudah berubah sedingin es. “Kenapa kamu tersenyum dengan Pria itu, Rum? Sedangkan denganku, kamu melihat wajahku saja tidak mau!” “Kak ...” “Apa aku memang seburuk itu, Arumi?!” “Kak Elang kenapa?” Arumi bingung dengan sikap Elang yang berubah. “Siapa Pria yang menyapamu tadi?” tanya Elang lagi namun kali ini dengan nada lembut. “Dia Abi, Kak. Anak Marbot masjid yang memberi tempat tinggal saat rumah Bapak disita oleh sepupunya.” Elang menghembuskan nafas, dia sudah terbawa emosi saat melihat gadis kesayangannya berbicara sangat akrab dengan Pria lain. “Maaf, tadi sudah bicara kasar sama kamu, Rum.” “Kak Elang kenapa?” “Gak, papa. Hanya tidak suka saja kamu tersenyum dengan Pria lain.” Kedua pipi Arumi tiba-tiba memanas, dia mengulum senyum melihat ke arah samping. Elang memang paling bisa membuat debaran pada jantungnya. Udara sangat dingin berubah menjadi hangat hanya karena kalimat Elang. “Aku suka melihatmu blushing, Rum. Tapi sayang sekali aku belum bisa menyentuh pipi yang sedang merona itu,” ungkap Elang. “Kak Elang apaan sih?!” Arumi meninggalkan Elang yang masih menggodanya. Kalau berlama-lama di dekatnya benteng pertahanan hati Arumi akan runtuh. *** “Dari mana, Dek? Aku cari sejak tadi gak ketemu.” “Kak Tika cari Rumi, ada apa?” “Khawatir kalau kamu nyasar saja.” “Ah, terima kasih, Kak. Rumi habis keliling kebun strawberry tadi nyobain sekalian ngobrol sama petaninya. Jadinya, keterusan gak ingat waktu. Maaf ya, Kak.” “Iya, gak masalah. Aku keluar dulu ya mau lihat persiapan grand opening. Nanti kalau kamu sudah siap langsung nyusul saja di tempat acara.” “Iya, Kak.” Arumi bergegas mandi kembali karena ikut turun ke sawah membuat pakaiannya sedikit kotor. Lagipula, tadi Elang memberikan paper bag berisi baju dan sepatu baru untuknya. Saat Arumi sedang make up pintu kamarnya ada suara ketukan. Dia mengira Kartika yang datang jadi membuka pintu tanpa memakai kerudung. “Kak Elang, kok lihatnya ke sana sih? Ada apa?” “Pakai dulu kerudung dulu, Humaira!” Arumi membelalakkan mata, dia menepuk keningnya juga. “Tunggu sebentar, Kak. Sekalian Rumi bersiap.” “Hmmm ...” Tanpa menutup pintu, Arumi bersiap di depan cermin. Elang sedikit mengintip apa yang dilakukan oleh calon istrinya itu. Kedua sudut bibirnya terangkat saat melihat gadisnya tengah merias wajah cantiknya. “Sepatunya?” tanya Elang. “Terlalu tinggi, Rumi takut jatuh.” “Masak pakaiannya sudah cantik sepatunya pakai flat shoes?” “Memangnya kenapa, Kak? Ini cocok dengan warna gamis yang Rumi pakai.” “Kamu kurang tinggi sedikit, Rum.” Arumi mencebikkan bibir, dia itu memang golongan perempuan minimalis. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. “Nanti kalau jatuh gimana? Gak biasa pakai sepatu hak tinggi,” rengeknya. Baru kali ini Arumi merengek pada Elang, biasanya gadis itu akan bersikap ketus dengan wajah masam. “Coba dipakai, aku mau mau lihat,” titah Elang. Arumi kembali masuk mengambil kotak sepatu yang ditaruh di sebelah tasnya. “Pas, terlihat makin cantik,” ucap Elang. “Kalau di buat jalan agak susah, Kak. Mana tempat ini jalannya naik turun. Takut terjungkal nanti.” “Sebentar ...” Elang mengambil ponselnya dari saku jasnya. Dia terlihat sedang menghubungi seseorang. Arumi hanya bisa mendengar kata ‘Cepat cari sekarang’ selebihnya dia tidak dapat mendengarnya. Arumi duduk di depan kamarnya sementara Elang sibuk dengan Dhafi. Gadis itu tidak mengerti kenapa disuruh menunggu? Sementara Kartika sudah berisik memanggil Elang agar segera pergi ke tempat acara. “Coba dipakai!” Elang memberikan kotak sepatu pada Arumi. “Bagaimana?” “Tidak terlalu tinggi pas juga sama kaki, Rumi.” “Bagus. Kalau begitu kita berangkat sekarang.” Arumi mengangguk, dia berjalan di belakang Elang menuju tempat acara peresmian restoran sekaligus villa milik Elang. Selama acara berlangsung, Arumi duduk di samping Elang. Dia merasa tidak nyaman karena banyak orang-orang yang menatapnya. Hingga akhirnya, acara berlangsung sangat sukses. Para tamu undangan kini menikmati jamuan yang sudah disediakan oleh Elang. Orang yang dia kenal akhirnya datang juga jadi Arumi tidak merasa sendirian lagi. “Kak Arumi, Maafin Dinda yang datangnya telat ya?” “Iya, gapapa, Sayang.” “Gara-gara Kak Elang tuh suruh Dinda buat cari sepatu lagi.” “Jadi kamu yang beliin sepatu tadi?” “Hmmm ... Dinda tadi tuh seharusnya belum telat tapi gara-gara cari sepatu malah ketinggalan acara.” “Bukannya sepatunya sudah datang sejak tadi?” Dinda memeluk lengan Arumi. “Soalnya tadi Dinda belum mandi, belum dandan dan sarapan juga,” jawabnya dengan santainya. Arumi menggelengkan kepala melihat sikap ajaib Dinda. Bisa-bisanya berangkat ke Magelang dari jakarta tanpa mandi lebih dulu. “Gapapa, yang penting ‘kan belum selesai acaranya. Mau makan lagi apa enggak?” “Tentu saja, Kak. Dinda tadi ‘kan baru sarapan sedikit.” “Sedikit versi kamu itu sangat banyak buat Kakak, Din.” “Hehe, namanya juga masih dalam masa pertumbuhan, Kak.” Kedua gadis itu berjalan menuju ke stand makanan. Elang bisa melepaskan Arumi tanpa cemas saat adiknya sudah tiba di tempat acara. Dia sedang sibuk berbincang dengan para kolega bisnisnya. “Loh, Dinda ada di sini?” “Eh, ada Kak Tika. Kirain masih di jakarta ternyata sudah melalang buana sampai Magelang.” Arumi meremas genggaman tangannya pada Dinda. Dia merasa nada bicara Dinda tidak seramah biasanya. “Kakakmu yang menyuruhku menyusul ke Jogja, Din.” “Hmm ...” Dinda mengajak Arumi mengambil makanan tanpa memperdulikan Kartika yang masih mengajaknya bicara. “Dinda, jangan di ulangi lagi ya? Gak sopan, Sayang!” “Biarin saja, Kak. Dinda tuh kurang suka sama Kak Tika.” “Bukannya dia saudara kamu?” “Iya, saudara dari hasil merebut!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN