Gombalan Elang

1968 Kata
Selesai acara peresmian restoran dan villa Dinda langsung mengajak Arumi memetik buah strawberry. Keduanya sangat bersemangat sampai lupa tidak berganti pakaian terlebih dahulu. “Kalian ini seperti anak TK saja!” seru Elang. Dinda berbisik di telinga Arumi tanpa mau menjawab teguran Kakaknya. “Hust ... gak boleh begitu, Sayang.” “Biarin saja, Kak. Kalau diladenin urusannya bakalan panjang.” Merasa diabaikan oleh kedua gadis kesayangannya, Elang menghampiri Arumi dan Dinda yang sedang berjongkok di depan pohon strawberry. “Hey, kalian ini gak sopan! Orang tua kalau bicara itu di dengarkan lalu dijawab.” “Akhirnya, Kak Elang ngaku kalau sudah tua,” saut Dinda. Elang menyentil kening adiknya dengan pelan. “Dasar adik nakal!” “Hih ... Kak Elang gangguin orang lagi bersenang-senang.” “Bilang saja sama penjaga kebunnya kalau mau strawberry nanti bakal di ambilkan yang besar dan bersih. Jangan makan langsung tanpa dicuci lebih dulu!” Dinda mencebikkan bibir menatap Elang dengan kesal. “Makan langsung dari pohonnya itu lebih enak, Kak. Lagi pula, tadi Dinda sudah tanya sama Bapak Petaninya langsung. Strawberry di sini tidak memakai pestisida yang berbahaya. Jadi, aman kalau langsung dimakan dari pohonnya.” Elang menghela nafas, susah menasehati anak bungsu Mami Ariska. “Meskipun pakai pupuk organik tetap saja sebelum makan harus dicuci terlebih dahulu, Dinda.” Kini Elang melihat ke arah Arumi yang sejak tadi asik mendengarkan dan makan strawberry. “Rumi ...” “Hmmm ...” “Sejak kapan kamu jadi jorok begini?” “Maksud Kak Elang apa?” “Strawberry belum dicuci sudah kamu makan? Kalau itu buah baru saja di pupuk pakai kotoran sapi atau kambing bagaimana?” Arumi membelalakkan kedua matanya, dia memuntahkan strawberry yang masih ada di dalam mulutnya. Elang benar-benar seniat itu mengerjai kedua gadis polosnya. Hatinya bahagia karena dapat membuka cabang restoran sekaligus villa barunya sesuai jadwal yang ditargetkan. Ditambah lagi grand opening ditemani Perempuan yang di gadang-gadang sebagai calon istrinya. “Masak sih, Kak? Tadi kok Bapaknya enggak bilang begitu.” sanggah Dinda. “Mungkin saja Bapaknya lupa, Din.” “Kak Elang bohong pasti. Iya ‘kan?” tuduh Arumi. “Kakak tidak bohong.” Senyum lebar Elang semakin mengembang melihat wajah Arumi yang mulai panik. Gadis itu mengajak Dinda segera masuk ke dalam kamar untuk membersihkan mulutnya dengan air bersih. Sore harinya ... “Kak Rumi pulang sama Dinda saja ya?” “Kamu bawa mobil sendiri?” “Iya, sama supir Kak Nala.” “Ya, sudah. Nanti aku bareng kamu buat pulang ke Jogja.” “Okay, nanti Dinda boleh menginap di rumah Kak Rumi apa enggak?” “Memangnya besok kamu gak sekolah?” “Lah, Kak Rumi lupa ya? Ini ‘kan sudah waktunya libur semester genap. Dinda libur 2 minggu.” “Hehe, maklum Din. Kakak ‘kan tahunya hari sabtu dan minggu liburnya.” “Dinda maklumi, Kak. Asal dibolehkan menginap di rumah Kak Rumi.” Gadis itu mengedipkan mata genitnya. Saking gemesnya dengan adik kecilnya Arumi menangkup kedua pipi Dinda. “Iya, dibolehkan menginap.” “Yey ...” Dinda memeluk Arumi dengan sangat erat. “Terima kasih, Kak. Dinda janji nggak bakal bikin repot.” “Emm, kalau itu sih Kakak nggak yakin.” Dinda terkekeh, mana mungkin dia tidak membuat repot? Kalau anteng dan kalem bukan Dinda namanya, serunya dalam hati. Elang datang dengan Kartika setelah selesai rapat penutupan acara grand opening bersama dengan seluruh karyawan resto, villa dan perkebunan. Setelah, acara tadi. Arumi mengambil semua barang-barangnya yang ada di kamarnya. Dinda tidak mengijinkan calon Kakak Iparnya terlalu dekat dengan asisten Elang. “Sudah siap?” tanya Elang. “Iya, Kak.” “Rumi, barang-barang mu mana? Biar dimasukkan ke dalam mobil sama Dhafi.” “Gak perlu, Kak,” jawab Dinda. “Kak Rumi pulangnya bareng sama Dinda. Barang-barang sudah ada di mobil Kak Nala.” “Siapa yang kasih izin?” tanya Elang. “Ngapain juga minta izin? Yang paling penting ada mobil dan supir. Ah … iya satu lagi, ada bensin nya juga.” Elang mendengkus sebal ke arah adiknya. Selama Dinda ada di Jogja sudah dapat dipastikan akan memonopoli Arumi. Apalagi, Maminya sudah mengatakan jika anak bungsunya akan berlibur di jogja selama sepuluh hari. “Kakak yang ajak Rumi ke Magelang, Din. Pulangnya juga harus bareng sama Kakak. Soalnya, sudah janji sama Bapak buat antar pulang Rumi dalam keadaan sehat tanpa kurang apapun.” “Soal itu mah gampang, Kak. Ikuti saja mobil Kak Nala dari belakang. Selesaikan masalahnya?” “Adik siapa sih?! Keras kepala sekali!” Elang memiting kepala Dinda, membuat gadis itu berteriak dengan nyaring. Suara Dinda memang bisa membangunkan seluruh warga yang tinggal di sekitaran villa, saking kerasnya. “Sudah-sudah, kalian ini suka sekali berdebat dan bertengkar.” Kini Tika yang sejak tadi diam mulai menjadi penengah. Dinda menatap sinis ke arah asisten Kakaknya. “Kamu gak pulang ke jakarta, Kak? Sudah selesai juga acaranya,” ucapnya, dengan posisi kepala masih di ketiak Elang. “Din!” tegur Arumi. “Gak Papa, Dek. Dinda sudah sering begitu. Namanya juga masih ABG.” Kartika tersenyum manis. Benar-benar sangat dewasa sikapnya. Kini Tika menatap kearah Dinda. Senyum manisnya masih tersungging di bibirnya. “Kakakmu masih membutuhkan bantuanku, Din. Jadi, untuk beberapa hari kedepan aku masih harus berada di Jogja.” “Hmm ...” jawab Dinda dengan malas-malasan. Elang melepaskan Dinda setelah mendapat teguran dari Arumi. Keempat orang itu keluar dari kamar villa menuju ke parkiran mobil. Sebelum mereka pulang ke Jogja, Elang ingin mengajak rombongannya mampir ke suatu “Arumi.” Yang dipanggil hanya seorang namun lainnya ikut menoleh. “Kamu siapa?” tanya Elang. “Saya Abidzar, Pak Elang. Salah satu karyawan Bapak di perkebunan,” jawab Abi dengan sopan. “Kenapa kamu panggil Arumi? Kalian saling kenal?” Dinda merapatkan badannya pada Arumi. Dia tidak mau jika calon Kakak Iparnya di rebut orang lain. “Kebetulan saya kenal dengan Arumi sudah lama, Pak.” “Hanya teman lama?” “Benar, Pak. Saya juga tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini.” Abidzar tersenyum manis ke arah Arumi membuat Elang semakin panas dingin. Sementara Dinda mengeratkan pelukannya pada lengan Arumi. Kedua kakak beradik itu, kini sedang dalam mode siaga dalam menjaga Arumi. “Kak Abi tadi panggil Rumi, ada apa?” “Ah iya, Rum. Sampai lupa.” Abi memberikan bingkisan berisi buah dan sayur. “Dari Abah, Rum. Beliau belum bisa menemuimu karena hari ini harus ke kota buat kirim hasil panen.” “Terima kasih, Kak. Wah ini banyak sekali!” seru Arumi. “Pasti ini buat Ibuk ya?” Abidzar kembali tersenyum. “Iya, Rum. Kebetulan kamu ke sini Abah sedang panen raya.” “Sekali lagi terima kasih, Kak. Salam buat Abah ya maaf Rumi belum bisa mampir.” “Iya, Rum. Nanti aku sampaikan.” “Kalau begitu aku pamit pulang ya, Kak. Jangan lupa mampir kalau sedang ke Jogja. Ibu dan Bapak pasti senang bertemu dengan Kak Abi dan Abah lagi.” “Pasti, Rum. Oh, iya. Boleh minta nomor mu? Biar gampang kasih kabar kalau aku sedang ke Jogja mengantar hasil panen.” Elang langsung menjawab tanpa meminta persetujuan dari Arumi. Dia ini sedang menunjukkan sikap posesifnya. “Arumi gak punya ponsel. Kalau kamu mau berkabar bisa langsung lewat saya. Sudah tahu ‘kan nomornya?” Abidzar mengangguk, dia tersenyum pada Elang. Sikap yang ditunjukkan bosnya menunjukkan jika Arumi adalah Perempuan yang sangat penting dalam hidupnya. “Iya, Pak. Nanti saya akan hubungi Pak Elang kalau sedang berada di Jogja.” “Baiklah, aku tunggu,” jawabnya. “Masih ada yang perlu dibahas?” “Sudah tidak ada, Pak.” Elang mengajak rombongannya menuju ke mobil setelah berpamitan dengan Abizar. Elang berada satu mobil dengan Dinda dan juga Arumi. Sementara, Kartika semobil mobil dengan Dhafi. Awalnya, Kartika meminta bergabung beralasan jika hanya berdua dengan Dhafi akan terasa sepi. Namun, Dinda mengatakan jika mobil yang dibawanya hanya khusus keluarga resmi. “Dinda, Sayang. Kenapa sih suka ketus kalau bicara sama, Kak Tika?” “Nggak ketus kok, Kak. Tadi ‘kan Kakak dengar sendiri kalau Dinda sudah biasa bicara begitu sama dia.” “Memangnya Kak Tika nggak pernah marah?” “Tenang saja, Kakak Ipar. Gak bakalan juga dia berani marah sama Dinda.” “Kenapa?” “Ya, karena Dinda sepupunya. Masak iya mau marah gara-gara masalah sepele.” “Kirain kenapa. Kamu ini suka sekali membuat orang penasaran!” “Hehe ... by the way, Kak.” “Hmm ...?” “Kak Rumi ada hubungan apa sama Pria tadi? Dinda gak suka!” “Hanya teman lama, Din. Dulu waktu rumah orang tua Kakak di sita sama saudara. Keluarga Kak Abi yang kasih tempat tinggal sementara.” “Jadi, Kak Rumi tinggal satu rumah sama Kakak yang tadi?” Arumi menggeleng. “Ya enggak, Din. Waktu itu Orang tua Kak Abi menjadi marbot di masjid daerah tempat tinggal Kakak sekarang. Masjid itu menyediakan kamar untuk marbot. Namun, tidak digunakan oleh keluarga Kak Abi. Dari pada kosong beliau menawarkan untuk tempat tinggal Kakak dan keluarga selama belum mendapatkan rumah baru.” “Emm .. begitu. Terus berapa lama Kakak tinggal di sana?” “Gak lama. Mungkin hanya 2 minggu. Setelah Bapak dan Ibu mendapatkan pekerjaan kami pindah ke rumah yang sekarang. Dulu masih ngontrak, alhamdulillah sekarang sudah kebeli rumahnya.” “Kak Rumi, keren sekali sih! Dinda jadi terharu .” Elang sedang sibuk dengan ipad nya tapi masih mendengar percakapan keduanya gadis yang duduk di kursi belakang. Kisah hidup Arumi sangat menyedihkan sekali. Dia saja belum tentu kuat jika harus berada di posisi yang Arumi jalani sekarang. Akhirnya, mobil yang di tumpangi Elang, Dinda dan juga Arumi sampai di tempat tujuan. Elang mengajak rombongannya ke Silancur Highland yang berada di Magelang, Jawa Tengah. “Indahnya ...” “Suka?” “Hmm, Terima kasih, Kak.” “Apapun yang bisa membuat kamu tersenyum pasti akan aku berikan Rum.” “Jangan gombal!” “Ini kenyataan.” “Iya, iya, Kak. Percaya kok.” Arumi mengajak Dinda menuju ke sebuah Cafe dengan pemandangan sunset yang luar biasa cantiknya. “Dinda baru tahu kalau ada tempat secantik ini.” “Apalagi, aku. Anak rumahan yang jarang sekali pergi kemana-mana.” Dinda terkekeh. “Sebentar lagi juga bakal sering berpergian ke tempat-tempat baru, Kak. Tunggu saja!” “Maksudnya?” “Ah, lupakan! Yang penting kita harus menikmati secangkir kopi dengan mie kuah pedas.” “Kok kopi?” “Biar aesthetic waktu di foto minumnya sih tetap air putih hangat.” “Dasar!” Elang mengikuti dari belakang dengan Kartika dan Dhafi. Tika tidak terlalu banyak bicara seperti biasanya membuat Elang bisa sedikit tenang. Biasanya, asistennya itu sangat berisik jika Elang malah bersantai di saat pekerjaan sedang menumpuk. “Mau makan lagi? Memangnya belum kenyang?” tanya Tika. “Iya. Mana ada kenyang kalau hanya makan sedikit?” “Dinda tadi makan banyak sewaktu di restoran.” “Sok tau ih! Jelas-jelas hanya makan sedikit. Ditambah lagi tadi Dinda sudah Puff juga pastinya stok makanan yang ada di perut sudah habis.” “Dinda jorok ih, mau makan masak bahas soal begituan.” tegur Arumi. “Maaf, Kakak.” Dia mencium sebelah pipi Arumi. Membuat Elang tersenyum masam. “Sudah-sudah, kenapa harus berdebat?! Kalau mau makan pesan saja jika tidak nikmati saja pemandangannya,” ucap Elang. Kini elang mendekati Arumi yang sedang memilih makanan. “Mau pesan apa?” “Sepertinya mie goreng enak, Kak.” “Pesan saja tapi jangan terlalu pedas.” “Iya. Kakak mau pesan apa?” “Samakan saja.” “Oke. Minumnya apa, Kak?” “Kamu apa?” “Teh tawar hangat.” “Samain juga minumnya.” “Yakin mau minum teh tawar?” “Emmm, nanti kalau kerasa pahit waktu minum tinggal lihat kamu saja.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN