Oleh-Oleh Dari Calon Besan

1822 Kata
Kedua orang tua Arumi kaget saat Elang datang membawa 2 buah koper berukuran besar. Pria yang saat ini sedang menikmati dimsum dengan lahap itu membiarkan calon Ibu Mertuanya membuka oleh-oleh yang diberikan oleh Maminya. Sementara Hasyim, tidak ikut membuka justru diam saja melihat begitu banyak barang-barang dan makanan yang di keluarkan dari koper. “Nak Elang kenapa membawa oleh-oleh sebanyak ini?” “Mami yang kasih, Pak. Beliau memang selalu berlebihan jika sudah menyangkut dengan keluarganya. Jadi, mohon dimaklumi dan diterima ya, Pak.” “Saudara?” tanya Annisa. Elang mengangguk. “Mami ‘kan sudah bertemu dengan Arumi, Buk. Beliau juga tahu siapa Arumi. Jadinya, sudah menganggap Arumi dan orang tuanya adalah saudara. Syukur-syukur segera menjadi besan.” “Memangnya sudah bisa merebut hati Putri kesayangan, Ibu?” “Belum, Buk. Susah sekali didekati, ditolak terus Elang!” “Yang sabar, Nak. Kalau jodoh gak akan kemana.” “Iya, Pak. Elang selalu sabar kalau soal Arumi.” Annisa membuka koper yang kedua, dia membelalakkan mata ketika melihat isinya. Kedua tangannya juga bergetar saat melihat benda yang sedang dia pegang. “Kenapa, Buk?” tanya Hasyim. “Nak Elang ini tidak salah isi kopernya?” Annisa melihat ke arah Elang, dia mengangkat tas yang bertuliskan brand terkenal. Harganya kisaran 100 juta, bisa juga lebih. Annisa tidak bisa memastikan harganya, dia tidak terlalu mengerti dengan jenis-jenis tas branded. “Semua yang ada di dalam koper untuk Arumi, Ibu dan Bapak. Itu amanah dari Mami, Buk.” “Tapi ini barang-barang harganya sangat mahal, Nak. Sepertinya, kami tidak bisa menerimanya.” Hasyim penasaran dengan isi koper kedua kini ikut duduk di bawah, tepatnya di samping sang istri. “Jam tangan Rolex?” gumam Hasyim. “Nak Elang, sepertinya yang dikatakan oleh Ibu benar. Isi dari koper ini salah.” Karena kedua pemilik rumah duduk di karpet tebal, Elang ikut berpindah duduk juga. Merasa tidak sopan, ditambah lagi harus menjelaskan pada orang tua Arumi bahwa hadiah itu benar-benar untuk mereka. “Pak, Buk. Tidak ada yang salah dengan oleh-oleh yang dikirimkan oleh Mami untuk Arumi dan keluarga.” “Semuanya barang-barang mahal, Nak. Jujur Bapak takut untuk menerimanya.” “Mami memang selalu begitu, Pak. Beliau sudah menyiapkan semua barang-barang ini dari jauh hari saat Elang mengatakan jika Arumi akan ke jakarta.” “Tetap saja, Nak. Semua ini terlalu berlebihan, Bapak dan keluarga tidak bisa menerimanya,” tolak Hasyim lagi. Elang sudah menduga jika kedua orang tua Arumi akan menolak oleh-oleh yang diberikan Maminya. “Mami tidak memiliki maksud apa-apa, Pak. Beliau hanya ingin menyenangkan Arumi dan keluarga.” Hasyim yang melihat wajah panik Elang langsung tersenyum. “Bapak tidak berpikiran buruk dengan orang tuamu, Nak Elang. Hanya saja barang-barang ini terlalu mahal. Bapak saja masih berusaha mencicil hutang setiap bulannya. Masak iya mau ngojek pakai jam tangan ini. Nanti dikira orang hasil Bapak mencuri,” terang Hasyim. “Disimpan dulu, Pak. Tidak perlu langsung dipakai.” Elang mengambil jam tangan yang ada di depannya. “Ukurannya sepertinya pas untuk Bapak.” Elang membantu memakaikan jam ke tangan Hasyim. Dalam hatinya terus berdoa agar kedua orang tua Arumi bersedia menerima semua hadiah yang dibawanya dari jakarta. “Bagus sekali! Bapak terlihat kembali muda 10 tahun,” goda Elang. Annisa terkekeh mendengar pujian Elang pada suaminya. “Pintar sekali merayunya,” saut Annisa. “Belum terlalu pintar, Ibuk. Buktinya masih ditolak.” “Sabar ya.” “Selalu, Buk.” Elang tersenyum lega saat Hasyim mengatakan menerima oleh-oleh dari Maminya. Meskipun begitu, Hasyim dan sang istri tidak akan memakai barang-barang yang harganya jika di total bisa untuk melunasi hutang-hutangnya. “Senyamannya, Bapak dan Ibuk saja. Elang mewakili Mami mengucapkan terima kasih karena sudah mau menerima oleh-olehnya.” “Sama-sama, Nak. Kami juga mengucapkan terima kasih. Semoga kebaikan yang diberikan keluarga Nak Elang untuk keluarga Bapak dibalas dengan pahala berlipat ganda oleh Allah.” “Amin ...” jawab Elang. Arumi sejak tadi belum keluar dari kamarnya. Kata Annisa, Putri cantiknya sedang sibuk membaca buku yang baru dibelinya. “Cari Arumi?” tanya Hasyim. Elang menggaruk pelipisnya yang tidak gagal. Selain mengantar oleh-oleh, kedatangannya juga bertujuan bertemu dengan gadisnya. “Arumi apa kabarnya, Pak?” “Alhamdulillah dia baik, Nak. Sepulangnya dari jakarta, dia menginap di rumah Pak Reiga. Katanya, Nak Nala kangen.” Melihat Elang duduk gelisah Hasyim meminta tolong pada Annisa agar memanggil Arumi agar keluar dari kamarnya. Memang calon mertua terbaik. Tahu saja apa yang diinginkan oleh Elang. “Astaghfirullah, kok ada Kak Elang?!” teriak Arumi. Dia berlari menuju kamarnya karena tidak memakai kerudung. Elang yang baru pertama melihat rambut Arumi yang tergerai indah sampai lupa mengedipkan mata. “Memangnya Ibu tadi tidak kasih tahu, Rumi?” tanya Hasyim. “Lupa, Pak. Tadi Ibu hanya bilang kalau Bapak ingin bicara.” Annisa pamit pergi ke dapur karena harus membuat roti pesanan pelanggannya. Sementara, Hasyim memasukkan kembali oleh-oleh ke dalam koper. Agar lebih mudah saat dibawa masuk ke dalam. “Bapak dan Ibu mana?” Arumi duduk di kursi paling ujung jaraknya sangat jauh dengan Elang. “Ibu masak kalau Bapak masukin oleh-oleh dari Mami.” “Owh ...” Elang diam saja, dia hanya memandang lurus ke arah Arumi. Membuat gadis itu menunduk malu. Meskipun dia tidak menatap mata Elang tetap saja dia bisa tahu jika Pria yang ada di depannya terus saja memandangnya. “Rumi.” “Hmm ...” “Apa kamu baik-baik saja?” “Iya. Memangnya kenapa?” “Yakin, kamu baik-baik saja? Gak bohong ‘kan?!” “Iya, Kak. Rumi baik-baik saja kok.” “Kenapa 2 hari yang lalu kamu menangis lagi?” “Gak nangis kok!” “Kenapa sih suka sekali bohong?” “Kak Elang tahu dari mana?” “Aku sudah pernah bilang ‘kan? Semua yang terjadi padamu pasti aku akan mengetahuinya. Jadi, jangan berusaha untuk berbohong lagi!” Arumi menghela nafas, memang susah berkilah di depan Elang. “Gak mau jawab!” seru Arumi. Elang tidak bisa memaksa Arumi, dia hanya bisa pasrah menunggu sampai gadis kesayangannya mau menceritakan masalahnya dengan kemauannya sendiri. “Hari ini libur ‘kan?” tanya Elang mengalihkan pembicaraan. “Iya, Kak.” “Sudah ada acara?” Arumi menggeleng. “Hanya mau membaca buku saja.” “Mau pergi ke suatu tempat denganku?” “Di mana?” “Berkunjung ke lokasi proyek.” “Kalau ke proyek kenapa ajak, Rumi?” “Suka daerah sejuk ‘kan?” “Hmmm ...” Elang mengambil ponselnya, dia ingin menunjukkan lokasi proyeknya yang sudah jadi. Elang yakin Arumi pasti akan menyukai tempat itu. “Rumi tidak pernah tahu di Jogja ada tempat seperti itu,” gumam Arumi pelan. “Apa udaranya sangat dingin, Kak?” “Waktu kesana kemarin suhunya 8 derajat.” Senyum Arumi mengembang, dia itu sangat suka dengan tempat dingin dengan pemandangan pegunungan. “Mau datang ke sana?” tawar Elang. “Berdua saja?” “Berempat, kita akan pergi dengan sekretaris dan juga asistenku.” “Pria semua?” “Asistenku wanita, Rum. Makanya aku ajakin dia biar kamu mau ikut.” “Minta ijin dulu sama, Bapak.” Elang tersenyum saat Arumi secara tidak langsung mengiyakan ajakannya. Tebakan Nala memang selalu benar, Arumi tidak akan menolak saat diajak ke Magelang. “Biar aku saja yang meminta izin dengan Bapak. Lebih baik sekarang kamu berkemas. Setelah mendapatkan ijin kita akan segera berangkat. Libur 2 hari ‘kan?” “Iya, Kak.” Arumi masuk ke dalam kamarnya untuk berkemas setelah memanggil Bapaknya yang sedang menemani Ibunya di dapur. Dia mengatakan pada Ibunya akan ikut Elang pergi ke Magelang. Rumi juga menjelaskan jika tidak akan sendirian melainkan bersama dengan 3 orang lainnya. “Kenalkan saya, Kartika, Pak.” “Hasyim, Ayah dari Arumi,” jawabnya. “Bapak titip Arumi ya, Nak. Temani dia selama berada di Magelang.” “Iya, Pak. Saya akan melaksanakan amanah dari Pak Hasyim.” Arumi dan Elang berpamitan pada Hasyim dan Annisa. Setelah itu, mereka masuk ke dalam mobil bergegas menuju ke Magelang. Proyek yang baru saja diselesaikan oleh Elang besok akan grand opening. Dia mau saat pembukaan restoran sekaligus penginapan, Arumi ada di sampingnya. Selama perjalanan, Arumi sibuk membaca buku setelah berbincang dengan Tika. Sedangkan Elang duduk di depan dengan Dhafi membicarakan masalah pekerjaan. Group Trio Gemas Nala : “Cie ... Ada yang lagi liburan ke Magelang nih.” Malika : “Siapa, La? Kamu?” Nala : “Gak mungkin aku dong, Lika. Tau sendiri 'kan aku masih mabok parah setiap pagi.” Malika : “Rumi? Lah, kemarin 'kan habis liburan ke jekardaaah. Masak udah liburan lagi. Kok ngak ajakin aku sih!” Nala : “Kamu mau jadi Baygon Lavender?” Malika : “Wahhh ... Akhirnya, Kak Elang sudah berhasil meluluhkan hati Arumi Imutsss.” Arumi baru saja membuka ponselnya. Ternyata, sudah ramai dengan percakapan kedua sahabatnya di group. Dia langsung mengerucutkan bibirnya saat membaca chat dari Malika dan Nala. Sahabatnya itu menggodanya dengan mengatakan jika sudah jadian dengan Elang. "Kenapa, Dek?" tanya Tika. "Eh ... Gak papa kok, Kak." Tika tersenyum, asisten Elang itu ternyata masih sepupunya. "Baca chat dari pacar?" Tika sengaja mengeraskan suaranya agar Elang mendengar ucapannya. "Nggak, Kak. Rumi gak punya pacar." "Iya. Arumi memang tidak punya pacar," saut Elang. "Tahu dari mana?" "Ya, Taulah! Aku ini 'kan calon suaminya." "Kak Elang!" "Awwwww ..." teriak Tika. "Memangnya sudah diterima, Bos?" tanya Dhafi penasaran. "Ngak, ngak ada yang terima Kak Elang. Arumi juga belum siap menikah dalam waktu dekat." "Gak usah ngaku-ngaku, Lang. Kamu ini gak berubah sama sekali. Masih suka memaksa!" omel Kartika. "Aku nggak maksa!" Kilahnya. "Iya, 'kan Rum?" "Maksudnya Kak Elang apa? Rumi takut di jebak kalau mengiyakan pertanyaan Kakak." "Maunya menikah dengan tema apa?" "Lah, kok bahas soal pernikahan sih?!" Arumi mendengkus sebal, kedua pipinya kini sudah merona. Sejak tadi, Kartika dan Dhafi menggodanya tiada henti. "Aku rasa pernikahan Pak Elang dan Arumi akan terjadi secara sederhana. Tidak akan ada pesta besar." Dhafi sedang mengeluarkan kemampuannya dalam memprediksi masa depan. "Kok bisa? Gak mungkin Tante Ariska tidak membuatkan pesta mewah. Apalagi Elang yang akan menggantikan posisi Om Cakra." "Kita lihat saja nanti. Pasti prediksi ku tepat." kekeuh Dhafi. Arumi hanya mendengarkan perdebatan antara sekretaris dan asisten Elang. Keduanya membicarakan pernikahannya seolah-olah hal itu benar-benar akan terjadi. Perjalanan menuju ke Magelang sedikit macet karena hari libur banyak warga Jogja yang ingin berlibur ke sana. "Ngak, usah di bangunkan. Biar aku tungguin saja di sini. Kalian kalau mau istirahat duluan gapapa." "Gak, mau ah. Aku 'kan sudah janji buat jagain Arumi." tolak Kartika. "Gak bakal aku apa-apain juga, Tik." "Kurang percaya aku sama kamu, Lang." "Memangnya aku pernah apa-apain perempuan selama ini, enggak 'kan?" "Memang iya, karena belum bertemu dengan perempuan yang kamu cintai waktu itu." Kartika memajukan badannya mendekat ke arah Elang. "Dari cara kamu menatap Arumi saja penuh nafsu. Mana mungkin aku meninggalkan gadis polos ini dalam keadaan tidur. Bisa-bisa kamu akan mencari kesempatan buat grepe-grepe." "Astaghfirullah, Tika. Sembarangan kalau bicara!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN