BAB. 4

1644 Kata
Parmi melihat Fitri yang berjalan menunduk, juga tak mau menatapnya, membuat wanita berambut sebahu itu kebingungan. Malah Parmi menegurnya saja tak mendapatkan balas apa-apa. Curiga, Parmi membuntuti juniornya itu. Apa karena masalah kemarin? Parmi tak bisa meminjamkannya uang? Kebangetan sekali anak ini! Geram Parmi dalam hati. Padahal kalau Parmi ada uang juga pasti bantu. Dia tau kalau Fitri butuh banyak uang untuk adiknya kuliah. Coba memahami kalau gadis berperawakan tinggi langsing itu lagi terjepit keadaan keuangannya. Biasanya juga Fitri banyak bicara biarpun lagi gundah karena uang. Tapi begitu dirinya sampai di dekat Fitri, Parmi memekik kaget. “Ya Allah, Fit! Kamu kenapa?” Fitri melengos, memalingkan mukanya cepat biar tak ketahuan ada lebam yang tak berhasil ditutupi. Mungkin kalau ia memiliki foundation bagus, lebam yang ada di sudut pipinya bisa tertutupi. Belum lagi bibirnya yang terluka. Perihnya saja masih terasa sampai sekarang. Ia bahkan belum sarapan karena memikirkan bibirnya yang dirasa cukup parah luka sobeknya. Tak hanya ditampar dua kali. Fitri sudah seperti samsak tinju ayahnya semalam. Jeritan Lia tak juga membuat Amir melepaskan Fitri. Bahkan beberapa tetangga yang terbangun dan langsung keluar untuk melihat kenapa rumah Fitri tiba-tiba ramai oleh jeritan, tak digubris Amir. Ia malah mengusir sambil berkata kasar pada semua yang datang. “Ya Allah, Fir,” desah pelan Parmi. “Sini. Obati dulu.” Parmi sangat prihatin dengan apa yang Fitri alami. Sebenarnya ia cukup tau yang melakukan hal ini pada gadis manis ini tapi tetap saja, mulutnya bersuara. “Bapakmu yang gila itu, ya, Fit?” Fitri hanya meringis. “Enggak apa-apa, Mbak. Ini nanti juga sembuh sendiri.” Parmi berdecak kesal. “Kamu ini kalau dikasih tau. Ayo,” diseretnya segera Fitri agar mengikutinya. Fitri berusaha sekali menolak tapi Parmi melotot marah. Ia tak berdaya di bawah amarah Parmi. Wanita itu tak benar-benar marah. Ada banyak perhatian yang Parmi beri untuknya. Fitri dapat merasakannya. Hatinya jadi trenyuh apalagi mengingat keadaannya sendiri. Bagaimana bisa orang lain lebih memperhatikan dirinya daripada sang ayah? Fitri lupa, kalau benar ayahnya itu gila. Persis seperti yang Parmi katakan. Langkah mereka berhenti tak jauh dari ruang di mana banyak terdapat persediaan untuk obat luka luar. Dengan telaten Parmi membersihkan luka yang mengering tapi tak benar-benar dibersihkan juga diobati oleh sang pemilik wajah. Fitri sendiri berkali-kali meringis apalagi saat lembam yang diolesi salep dingin. “Nah gini lebih baik. Badan kamu juga?” Fitri gelagapan tapi karena hal itu juga Parmi akhirnya tau kalau Fitri memang mendapat banyak kekerasan fisik. “Coba Mbak lihat!” katanya setengah memaksa. Fitri enggan tapi Parmi masih terus mendesaknya. “Kalau enggak diobati nantinya kamu yang rugi, Fit. Kalau perlu kamu visum. Biar bapakmu yang gila itu bisa ditarik polisi!” “Jangan, Mbak,” lirih Fitri pasrah saat akhirnya ia membuka satu per satu kancing kemejanya. Mengenakan kamisol bertali tipis sebagai pelapis, Parmi terbeliak kaget bukan karena tubuh gadis itu yang putih mulus tapi … “Gila bapakmu, Fit! Gila!!!” Punggung bagian bawah dekat bahu, tercetak satu garis lembab yang cukup panjang. Belum lagi di bagian kanannya tak kalah biru dari sebelahnya. “Dia pukuli kamu pakai apa, Fit, ya Allah!” Mana mungkin Fitri mau menceritakan betapa semalam rasanya Fitri lebih baik mati saja. Ia tak tau berapa banyak pukulan, tendangan, juga sabetan gagang sapu mendarat di punggung, kaki, tangan, juga bagian tubuh lainnya. Fitri juga tak menangis, tak mengeluh, tak menjerit kesakitan. semuanya ia telan bersama air mata yang ia tahan karena kalau dirinya menangis dan terlihat lemah, ayahnya makin meremehkan dirinya. Sakit hatinya mendengar pria yang seharusnya ia letakkan hormatnya yang tertinggi, malah berkesan menyalahkan ibunya yang sakit. Apa mau ibunya untuk sakit? Apalagi bertahun-tahun di mana tersisa kulit yang membungkus tubuh ibunya yang makin kurus itu. sudah banyak pengobatan dijalani tapi memang Tuhan masih setia memberi ibunya sakit. Apa Fitri harus terus menerus mengeluh? Lupa kah ayahnya saat sang ibu sehat dulu? Membantu sekuat tenaga untuk membantu menghidupi mereka semua? “Kamu harus ambil tindakan, Fit. Kalau enggak kamu disiksa terus, Fit.” Gadis itu menggeleng, “Makasih, Mbak Parmi sudah diobati punggungnya.” Pelan ia mengenakan kemejanya lagi. Dirapikan seperti semua walau semua geraknya mengalami ngilu yang cukup membuatnya meringis. “Lebih baik Fitri yang dipukuli dari pada Lia, Mbak.” Parmi memejamkan mata kuat-kuat. Parmi tau siapa Lia, adik kebanggaan Fitri. Yang selalu menjadi bahan cerita gadis itu mengenai kuliah yang diambil Lia. juga semangatnya saat belajar juga mencoba hal baru juga kegundahannya takut dirinya tak bisa membuat adiknya menjadi sarjana. Beberapa kali juga Parmi pernah bertemu dengan Lia. beda dengan kakaknya yang cantik berkulit putih dengan rambut panjangnya yang legam, Lia lebih bebas dalam berekspresi. Tampilannya santun juga sopan tapi wajahnya terlihat lebih riang dari pada kakaknya. Parmi tau dan yakin, mereka berdua saling menyayangi. “Mau Lia atau kamu yang dipukuli tetap salah ayah kamu, Fit,” Parmi membantu Fitri untuk bangun. “kamu istirahat saja, lah. Nanti Mbak yang gantikan kamu di ruang Dokter Andra.” “Jangan, Mbak,” cegah Fitri. “Jangan gitu. Fitri enggak enak sama Bapak nantinya.” Hal ini membuat Parmi bingung. “Kemarin Bapak bantu Fitri untuk uang kuliah Lia. kalau hari ini Mbak bilang aku sait, nantinya Bapak malah gimana gitu.” Parmi terkikik. “Benar juga, ya. Dokter Andra memang dikenal baik, sih. Kita yang enggak enak, ya, Fit.” Dalam hati Fitri bersyukur tak perlu banyak bersikeras dengan wanita bertubuh sintal ini. Dia baik dan pengertian. Fitri paham hal itu. “Ya sudah, nanti jangan lupa makan siangnya jangan telat. Ini Mbak ambilkan obat biar kamu enggak terlanjur sakit.” Fitri tertawa saja. tubuhnya bisa mengafirmasi kesakitan tapi hatinya? Lebih dari sekadar remuk redam. Ayahnya ini sudah keterlaluan. Ditambah ia ingat nominal juga ancaman dari orang-orang tertato itu. Bulu kudu Fitri mendadak berdiri dengan cepatnya. Kalau sampai ancaman ayahnya terjadi? Ya Allah. *** Bekerja di ruang Dokter Andra sebenarnya tak jadi soal. Fitri sendiri banyak belajar dari beliau yang dikategorinya dokter terkenal di rumah sakit ini. Banyak pasien yang cocok juga ramahnya pria paruh baya yang tak terlihat tua ini dalam menyikap banyak keluhan pasien-pasiennya. Tapi hari ini … “Sudah, kamu duduk saja di sana. Kamu bantu saya kalau meringis kesakitan gitu, saya mana tega, Fit, Fit.” “Tapi, Dok,” Fitri berusaha bersikeras untuk tetap mengambilkan dokumen yang dibutuhkan. Tapi punggung bagian belakangnya membuat gerak Fitri terbatas. “Kamu kenapa memangnya?” Alasan yang Fitri beri sejak tadi adalah jatuh di kamar mandi tapi Andra pintar. Tak percaya begitu saja ucapan gadis manis di depannya. Tak mau banyak bicara, Andra meminta Fitri duduk di sudut saja. Ia lebih baik bekerja sendiri lagian hari ini tak terlalu banyak pasien yang berkunjung dan membuat janji. “Gimana adik kamu?” Andra bertanya sembari mengecek dokumen yang tengah ia pelajari. Pasien terakhirnya sudah menebus obat ia rasa. Sudah tak ada lagi antrian pasien hari ini. Jam praktiknya juga sudah mendekati selesai tapi ia belum mau beranjak karena adanya laporan yang kini ia pelajari. “Adik saya Alhamdulillah baik, Dokter. Terima kasih banyak sudah membantu. Langsung dibayarkan saat itu juga,” kata Fitri dengan wajah tertunduk malu. “Nanti Fitri ganti tunggu uang Fi—“ “Memang saya minta ganti?” Tetap saja bagi Fitri serta niat di hatinya untuk mengganti uang itu. Ia hanya butuh berusaha lebih keras untuk mengumpulkan uang. Mungkin setelah uang cicilan di koperasinya selesai, ia mencicil uang yang Dokter Andra berikan. “Duduk sini, Fit,” perintah Andra saat melirik gadis yang masih tenggalam dalam tunduk, juga pastinya melamun. Ia menunjuk kursi yang tepat ada di depannya. “Ya, Dok?” “Duduk sini, Fit,” katanya lagi. “Saya paling enggak suka kalau mengulang perintah.” Fitri menelan ludah gugup. Selama ia mengenal sosok Dokter Andra, Fitri memang tak pernah mendengar dua kali perintah darinya. Entah kenapa suaranya tak bisa terbantahkan, ada banyak wibawa di sana, belum lagi sorot matanya yang berkharisma. Gadis itu yakin seratus persen kalau dokter yang ada di depannya ini semasa mudanya, incaran para gadis. Bahkan sampai sekarang pun wajahnya bukannya makin terlihat tua malah terlihat segar dan bersemangat. “Maaf, Dok,” kata Fitri yang sudah mendaratkan dirinya di kursi yang Andra minta. Tak mau berlama-lama menatap Dokter Andra, Fitri memilih menunduk yang mana pilihan itu ternyata salah. Padahal Fitri tengah menyembunyikan memar yang wajahnya alami. Sudah cukup Parmi yang tau kalau dirinya habis dipukuli. Jangan sampai Dokter Andra tau. “Wajah cantikmu kenapa. Fit?” Pria matang di depannya ini sungguh tak bisa membuat Fitri berkutik banyak. Yang bisa Fitri lakukan hanya makin menunduk yang malah membuat Dokter Andra menepuk bahunya pelan. “Lihat saya, Fit.” Pelan, Fitri mengangkat wajahnya. berharap dirinya menghilang dari Dokter Andra adalah harapan paling tinggi. Tak mau ia ditanya-tanya sebenarnya. “Kamu sakit? Atau disakiti, Fit?” Fitri menggeleng cepat. “Kamu enggak bisa membohongi saya.” Andra merasa ada yang aneh dengan Fitri hari ini. Benar saja, gadis itu ternyata menderita luka di wajahnya. Tadi dia bilang apa? Jatuh di kamar mandi? Lalu wajahnya? Dicakar macan? Ada-ada saja alasan yang dibuat-buat Fitri. “Cerita sama saya, Fit.” “Ini …“ Fitri memilih menunduk lagi. “Enggak kenapa-napa, Dok.” “Perempuan itu kalau bilang enggak kenapa-napa, hatinya lagi perang, Fit. Antara mau cerita atau menutupi diri biar dibilang tegar.” Andra tersenyum kecil. “Cerita saja. Menjadi lemah itu bukan hal yang memalukan, kok. Asal setelahnya, kamu kembali menegakkan pandangan.” Fitri menegarkan diri. “Enggak, Dok. Ini masalah pribadi juga.” Andra masih mengulum senyum. “Ya sudah, kalua gitu, saya minta ganti uangnya sekarang saja.” “Eh?” Pria itu mengangguk. “Bisa?” “Ta-tapi Dokter bilang ka—“ “Cerita kalau begitu.” Fitri tak bisa untuk tidak terperangah apalagi setelahnya Dokter Andra enteng sekali berucap. “Anggap saja p********n di muka untuk cerita kamu. Mahal, lho, kisah kamu saya bayar.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN