BAB. 3

1726 Kata
“Pokoknya Lia mau kerja. Enggak bisa seperti ini terus.” Lia bicara dengan kata final. Uang semesterannya sudah segera ia bayarkan tapi Lia tau, kakaknya harus berjuang mendapatkannya. “Kuliah kamu gimana?” Fitri mengusap wajahnya pelan, lelah seharian bekerja ditambah baru saja ia duduk di sofa lusuh yang ada di ruang tamu, adiknya sudah kembali menarik urat-urat di kepalanya untuk berpikir. “Alah. Kakak enggak percaya banget sama aku bisa berbagi waktu.” Lia mendekat pada kakaknya. Ia paham kenapa dirinya dilarang. “Aku janji, aku berusaha banget untuk bisa bagi waktu.” Fitri menatap adiknya lekat-lekat. Sorot matanya yang mirip sekali dengan mendiang ibunya pun hadir di sana. Membuat Fitri tiba-tiba rindu. Pada sosok lemah lembut dan selalu mendukungnya. Akhirnya ia hanya bisa mengembuskan napas pelan. ditahan sedemikian rupa pun, Lia akan tetap ngotot meminta izin bekerja padanya. “Oke. Tapi sekali Kakak lihat kamu terganggu karena kerja, resign Lia. Aku enggak mau mengecewakan pesan Bunda. Kamu tau, kan?” Lia manggut-manggut dengan senyum penuh kelegaan. Bayangkan bekerja di sela waktu kuliahnya, memiliki uang sendiri untuk jajan, bisa meringankan sedikit biaya kuliah lainnya. Tak melulu bergantung dari uang kakaknya. “Lia? Janji dulu. Malah senyum-senyum gitu. Kakak jadi curiga.” Fitri memicing pada Lia yang malah tertawa. Makin jadi lah kecurigaan Fitri pada adiknya ini. Sedikit menahan tawanya, Lia akhirnya bicara. “Enggak, Kak. Aku beneran enggak bohong. Mana aku berani bohong sama Kakak. Kakak panutanku. Saudari paling aku sayang sedunia.” Lia bergerak cepat, memeluk kakaknya erat. Masa bodo saat ia mendengar kakaknya berteriak kehabisan napas. “Jaga amanah Kakak, ya, Lia.” Fitri mengusap punggung Lia penuh sayang. Pelukan tadi sudah sedikit dilonggarkan adiknya. Membuat Fitri bisa bernapas lega. Lia mengangguk dalam dekapan kakaknya. Hatinya membara semangat tinggi karena akhirnya izin yang selama ini selalu ditahan Fitri akhirnya ia dapatkan. “Aku itu dapat tawaran kerja jadi admin onlineshop gitu, Kak,” terang Lia setelah mereka sama-sama duduk santai. Fitri sudah mandi dan berganti pakaiannya dengan daster longgar. Lia juga sama. sudah menggunakan celana pendek yang lebih santai dan menikmati mie ayam yang ia beli di Mang Ridho. Di lingkungan rumah mereka, mie ayam Mang Ridho yang paling terkenal enaknya. Juga murah. Lia juga mikir-mikir kalau ingin membeli makanan yang cukup menguras kantong. Gerakan Fitri mengaduk mie ayam terhenti sebentar. “Admin gimana?” “Bantuin rekap jualan gitu.” “Punya temanmu?” Lia mengangguk cepat, secepat ia menggulung mie ayamnya di garpu. Hingga sebesar ini, Lia masih belum bisa menggunakan sumpit. Berbeda dengan kakaknya yang mahir sekali. “Yang penting jujur dan teliti. Orang jujur itu dipakai di mana-mana, Lia. Selain dia harus kerja keras, kejujuran di mana pun pasti berguna. Enggak untuk orang lain, tapi untuk kita sendiri.” Fitri memberi nasihat agar adiknya bisa mendengarkan lebih jauh. Walau gadis berlesung pipi itu yakin, adiknya bisa diandalkan. Belum pernah selama ini Fitri mendapat surat teguran dari pihak sekolah apalagi dari bidang kemahasiswaan karena ulah nakal adiknya. “Iya, Kak.” Senyum Lia mana mau pergi dari bibirnya. Bayang kesibukannya juga gaji yang ditawarkan memang membuat liurnya menetes. Sementara Fitri yang memperhatikan adiknya, terselip rasa khawatir yang cukup besar. Tapi melihat semangat Lia, rasanya Fitri menjadi seorang kakak yang jahat kalau terlalu banyak melarang. Anggap saja Lia sedang belajar mengatur waktu, diri, juga tanggung jawabnya yang berkaitan dengan orang lain. Fitri tak mungkin mengajarkan hal itu padanya. Dia sendiri bekerja di bawah aturan perusahaan. “Pokoknya,” Lia bicara buru-buru sampi mengunyah mie bagiannya. “Kakak tenang saja. Aku enggak akan buat Kakak kecewa. Doakan saja, ya.” Fitri mengangguk saja. doanya hanya satu, semoga Tuhan melindungi adiknya apa pun jalan yang ia pilih. Yang terpenting, masih sesuai dengan koridor yang Tuhan beri. Baru saja Fitri selesai mencuci piring kotornya, Lia ambil bagian menyapu juga mengepel lantai ruang tamu, ia mendengar suara gaduh di depan. Juga jeritan Lia yang membuatnya khawatir. Tak peduli kalau dia hampir kepeleset lap kaki di dapur. “Lia? Ada apa?” Di depan Fitri sekarang, ada beberapa orang bertubuh tegap juga mukanya sangar. Satu di antaranya mencengkerem tangan Lia kuat-kuat. “Lepasin!” sentak Lia yang malah makin membuat cekalan itu kuat sepertinya. Buktinya Lia kembali menjerit. “Siapa kalian?” “Wah, gadis ini cantik juga.” Fitri mengambil sapu yang tak jauh di dekatnya. “Siapa kalian!” “Sudah, sudah. Tujuan kita si Amir. Bukan mereka,” kata salah satunya lagi. kepalanya plontos tapi bertubuh paling kecil di antara mereka semua. Fitri menghitung cepat, ada lima orang ternyata yang tiba-tiba masuk. “Siapa nama kamu?” tanya si Plontos lagi pada Fitri. Lia sudah dilepaskan dan cepat adiknya itu menepi dan menggamit tangan kakaknya. Gemetaran. “Fitri dan kalian siapa?” Fitri berusaha menutupi semua pemikiran buruknya. Kedatangan orang-orang bertubuh tegap ini bukan kali ini saja. Kalau dulu, Lia tak ada karena masih ada tugas yang harus diselesaikan di kampus. Tapi wajah orang-orang ini berbeda. Fitri merasa asing mengingat mereka semua. “Mana bapakmu?” “Enggak tau. Belum pulang.” “Alah! Udah lah, lama banget. Dia ini macam lintah. Kau saja bego, mau saja diperdaya Amir!” Orang yang tadi mencekal Lia bersuara keras. Fitri agak berjengit jadinya. Memperkuat genggaman pada adiknya yang makin gemetar. “Urusan gue itu, Cok. Diam saja lah.” Fitri menelan ludah takut. Matanya masih mencoba tegar padahal hati carut marut. Ia takut ada hal yang tak diinginkan terjadi di sini. Mau minta bantuan siapa? Kalau ia berteriak, akibatnya … “Bilang bapak kamu, Fitri, Jodi cari. Hutannya bayar kalau enggak.” Si Plontos bernama Jodi itu membuat gerakan sedramatis mungkin. Lehernya ia garis menggunakan telunjuk. Matanya sengaja dipejamkan. Gurat-gurat sangar terlihat jelas di mata Fitri. Sekali lagi, Fitri menelan ludah. “Bo-boleh Fitri tau hutang Ayah berapa?” Jodi tersenyum licik. Matanya menatap Fitri. “Ehm … berapa, ya? Berapa, Cok?” Pria bernama Ucok itu tertawa keras. “Hutang ditambah bunga kira-kira 75 juta, Jod.” Fitri melolot. 75 juta? Batinnya. Buat apa? “Bilang sama dia, saya beri tempo seminggu. Kalau enggak, kamu tau akibatnya, kan, Fitri?” Mereka kompak tertawa tak tau apa yang ditertawakan. Ucok sedikit menendang meja yang tadi dibuat makan bersama Fitri juga Lia. Belum lagi orang satunya yang Fitri tak tau siapa namanya. Membanting pintu seenaknya, menimbulkan suara bantingan pintu yang cukup mengganggu. Suara-suara taawa itu masih bisa Fitri dengar hingga akhirnya hilang. Gadis itu akhirnya bisa bernapas lega juga adiknya yang tiba-tiba lemas. Jatuh terduduk. “Aku takut, Kak,” katanya dengan suara gemetaran. “Mereka siapa?” Fitri bingung kalau harus bicara jujur pada adiknya ini. “Ayah punya hutang? Banyak banget, Kak.” Fitri juga bingung kenapa bisa sebanyak itu dan untuk apa? Ia tak pernah bicara baik dengan ayahnya. Selalu saja pria paruh baya itu marah-marah tak jelas, pulang larut malam, dan selalu menjadikannya mesin cetak uang. “Dia pegang-pegang aku, Kak,” lirih Lia. Kali ini ucapan adiknya mendapat perhatian besar dari sang kakak. “Ada Kakak. Kamu tenang saja. Dia enggak bakalan berbuat kayak gitu lagi sama kamu.” Lia tau, ucapan kakaknya itu hanya pemanis. Lia sendiri juga paham, kalau kakaknya pun ketakutan setengah mati. Mereka hanya berdua sekarang. Tak ada yang membela juga mengasihani. Apalagi melindungi. “Kamu tidur sanah.” Fitri mengusap rambut adiknya pelan. “Sudah malam juga. Kakak rapikan meja dulu baru tidur.” Lia mengangguk saja. Mematuhi kakaknya sembari berusaha agar hatinya mulai tenang. Walau sulit karena bayang pria-pria sangar itu sangat menganggunya. *** Fitri bangun dengan kepala sedikit pening karena terpaksa membuka mata. Suara gaduh di depan pintu lah penyebabnya. Dia baru ingat, kalau ayahnya belum pulang. Pasti yang membuat keributan itu sosok ayahnya. Ia bangun dengan cepat agar pria tua itu tak terlalu berbuat berisik di sana. Takut mengganggu tetangganya. Ribut malam-malam tanpa tau waktu. “Dasar anak t***l! Lama banget bukain pintu!!!” hardik Amir segera. Kepalanya pening, jalannya terhuyung, mulutnya bau alkohol tapi dia tak peduli. Pikirnya, dia harus tiba di kasur. Tidur. “Ayah mabuk lagi?” tanya Fitri ke sekian kalinya yang sebenarnya tak butuh jawaban. Fitri sudah tau jawabannya. Dulu, dia sering membantu ayahnya sampai ke kamarnya. Melepas sepatunya. Sedikit membasuh tangan juga kakinya agar tak lengket. Tapi semakin hari, ayahnya semakin tak terkendali. Kini Fitri malas membantunya lagi. kadang ayahnya jatuh terduduk karena lemas atau pusing, Fitri tak peduli. Untuk membantu bangun saja, Fitri enggan. “Ngapain kamu tanya-tanya, hah?” Fitri diam saja. Amir rasanya sudah berpegangan pada tembok rumahnya tapi kenapa malah ia jatuh? Kepalanya berkunang-kunang juga ia serasa jalan tak menapak lantai. Ia masih bisa mendengar anaknya berdecak kesal. “Tadi ada yang cari Ayah. Nagih hutang.” Di sisa kesadaran Amir, ia pun berusaha bangun. Matanya mengedip berkali-kali agar fokus menatap anaknya yang berdiri di depannya ini. “Siapa?” “Enggak tau. Ada lima orang. salah satunya namanya Jodi.” Amir tertawa. “Biar saja. kan, jaminannya Lia. gampang itu.” Ucapan ayahnya membuat Fitri melotot kaget. “Apa maksud Ayah?” Amir lagi-lagi tertawa. Tak peduli kalau tawanya itu mengerikan atau serasa di surga. Jalannya masih terhuyung tapi lebih ringan. Jodi ke sini? Biar saja. Kalau ia tak sanggup bayar hutang, ada Lia yang harus membayarnya. “Yah!” Pria itu merasa ada yang menariknya paksa dan saat ia menoleh, Fitri yang melakukannya. Mata anak itu meloto tajam sekali ke arahnya. “Apa maksud Ayah?” “Diam kamu!!!” Satu tamparan dilayangkan Amir pada wajah anaknya itu. Tak peduli kalau pipinya yang putih itu memerah karena telapak tangannya tak main-main memberi pukulan. “Kalau enggak ngerti urusan orang tua, diam saja!” “Apa maksud Ayah membayar dengan Lia?!” Amir masa bodo. “Ayah hutang apa saja memangnya sampai sebanyak itu? Buat mabuk-mabukan dan judi, kan? Amir masih masa bodo. Ia terus melangkah menuju kamarnya yang rasanya agak jauh. Kepalanya makin pening karena suara Fitri sekarang. Sial anaknya itu! “Yah!” Fitri tak peduli rasa sakit yang tadi menderanya. Ia takut kalau ayahnya benar-benar menjadikan Lia sebagai jaminan. Ya Tuhan! Sekali lagi, Amir membuat pipi anaknya memerah. Kali ini juga, sudut bibirnya sampai berdarah. Fitri meringis kesakitan tapi malah membuat Amir berang. Ditariknya rambut anak itu dengan kuatnya. Didekati wajah itu sambil berkata, “Ini semua karena ibu kamu yang enggak berguna! Sakit-sakitan tapi nyusahin orang saja! Kalian anaknya, yang harus bayar. Bukan saya! Paham kamu!!!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN