BAB. 5

1599 Kata
    Sebenarnya Fitri sangat menyesali tindakannya yang seenaknya bercerita panjang lebar di depan seorang Andra Riyanto. Tapi mau dibilang apa karena desakan, ancaman, juga Fitri baru menyadari kalau dirinya diperdaya. Andra tak pernah sungguh-sungguh mengancamnya mengadakan uang di mana nominalnya saja sudah membuatnya bergidik ngeri.     Sisa dari uang pemberian Andra segera ia belikan bahan makanan sebagai stok di rumahnya. Setidaknya ia bisa mencukupi kebutuhan makan walau sederhana di mana baik Fitri juga Lia tak pernah mau membawa bekal ke kantor atau ke kampusnya.     Bagi mereka berdua, sepakat, kalau lapar makan apa pun yang ada di kotak bekal rasanya nikmat. Juga bisa berhemat karena uang yang mereka miliki jumlahnya terbatas.     Akibat yang Fitri timbulkan dari ceritanya pada Andra, berbuntut panjang. Berhubung dari ini jam kerjanya sampai sore, Fitri bisa secepat mungkin pergi dari jangkauan Andra. Dokter itu bilang, “Saya bicara dengan ayah kamu kalau begitu, Fit.”     “Ya, Dok?” FItri belum paham maksud Andra seperti apa. Ia juga tak mau ambil risiko murka ayahnya makin jadi karena ada orang lain yang datang menemuinya. Terlebih ikut campur di mana rasanya Fitri mau mencabut saja ucapannya barusan.     Fitri ingin sekali menggetok jidatnya yang mulus biar tak terlalu banyak bicara.     “Memangnya kurang jelas saya bicara, Fit?”     Gadis itu mengerang frustrasi. “Bukan gitu, Dok. Tadi janjinya Dokter hanya akan mendengarkan tapi kenapa sekarang malah mau temui Ayah?”     “Memangnya salah?”     Kenapa bicara dengan Dokter Andra selalu diwarnai dengan banyak pertanyaan yang membat Fitri dijebak banyak? “Saya enggak apa-apa, Dok. Saya sudah bercerita kenapa dengan saya hari ini. Apa yang mengganjal sedikit banyak juga sudah berkurang jauh. Terima kasih Dokter sudah mau mendengarkan tapi untuk permintaan menemui ayah saya, saya rasa, saya enggak bisa memenuhi.”     “Kenapa begitu?”     Fitri terdiam.     “Kamu takut ayah kamu mengancam saya?”     Sedikit banyak apa yang Andra katakana benar adanya.     “Ya sudah kalau begitu. Besok saya mau ke kampus adik kamu, ya.”     Fitri kalau berkendara selalu menggunakan lampu sein dengan baik. Berhati-hati dengan jarak antara motor di depannya, samping kanan dan kirinya, juga mobil yang melintas di belakang atau di depannya. Semuanya Fitri buat perhitungan agar dirinya tak mencelakai orang lain atau malah dirinya yang tertimpa celaka. Tapi kenapa bicara dengan Andra seolah pria di depannya ini orang yang ugal-ugalan di jalan raya?     Yang tak peduli sein hidup ke mana beloknya ke arah yang mana.     Atau menekan kuat klaksonnya padahal jalan macet parah saking tak sabarnya ia berkendara.     Atau paling parah, mengerem mendadak karena ada telepon yang bordering minta diaangkat.     Seperti itu lah perumpaan dari Fitri untuk pria paruh baya di depannya ini. Senyumnya masih ada di wajah Andra. Tatapannya sehangat mentari pagi tapi tajam tak terbantahkan. Awalanya membicarakan sang ayah, kenapa bisa-bisanya melantur pada kampus adiknya berkuliah.     “Saya dulu pernah jadi pembicara di kampus adik kamu, Fit. Jangan pasang wajah waspada gitu. Saya enggak nuntut kamu apa-apa lagi, kok.”     Fitri mampu bernapas lega sekarang. “Benar, Dok?”     “Benar. besok temani saya ke sana, ya.”     Ingin sekali Fitrii bertanya ada apa, ada urusan apa, kenapa harus bersama dirinya, tapi semua itu hanya sebatas angan. Terhambat di tenggorokan. Ragu untuk lidahnya bergerak mengucapkan. Terlebih Andra lagi-lagi sibuk dengan berkas di depannya.     “Kamu ke kantin belikan saya makan, ya. Kamu tau selera saja, Fit?”     Fitri menggeleng polos.     “Lain kali kamu harus hapal apa selera saya terutama makanan. Saya ini pecinta masakan rumah tapi istri saya sibuk. Enggak terlalu sempat untuk masak.”     Gadis itu mengangguk saja tak mengerti arah bicara Andra yang benar-benar ngawur hari ini. Harusnya Fitri yang melantur, kan? sudah semalam dipukuli ayahnya, diceramahi Parmi untuk membuat visum dan melaporkan tindakan ayahnya ke polisi, sekarang dirinya menghadapi Andra yang aneh sekali.     “Saya mau makan pakai cumi cabai hijau, ya. Tumis kembang paya. Nanti kamu buatkan teh tawar hangat.” Andra mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari dompetnya. “Kamu sekalian beli makan. Kita makan di sini.”     Fitri terbeliak kaget. “Ini kebanyakan, Dok.”     Andra tergelak. “Untuk beli makan cukup satu lembar yang merah, Fitri. Sisanya untuk kamu. Beli salep juga obat untuk luka kamu. Sayang wajah cantik kamu, lho. Saya jadinya punya perawat di sini enggak cantik lagi.”     Gadis itu bisa mengategorikan, pujian yang Andra beri berbalut dengan godaan. Dasar lelaki selalu saja sama saja. Melihat perempuan yang cantik secara wajah, pujian selalu diberikan tanpa berpikir, kira-kira pujian itu membuat hati seseorang salah sangka atau jengah?     Tapi tiga tahun bekerja bersama dengan Andra di ruang ini, Fitri sudah kebal dengan godaan dari Andra. Bukan hanya dirinya yang terkena sasaran pujian Andra. Hampir seluruh perempuan yang bekerja di sini. Bagi Andra, Fitri pernah mendengar, “Saya memuji bukan untuk mencari perhatian, Fit. Bagi saya itu apresiasi yang Tuhan beri atas kecantikan wanita.” ***     “Lia besok sibuk?” tanya Fitri setelah dirinya tiba di rumah. Sang adik menyambutkan dengan pelukan serta raut wajah khawatir. Memberondong sang kakak dengan banyak pertanyaan terutama keadaan dirinya.     Tadi pagi Lia sempat melarang kakaknya bekerja. Bagaimana ia tega mendapati kakaknya yang kesulitan mengenakan kemeja kerjanya. Belum lagi saat tidur, beberapa kali Lia dengar kakaknya meringis kesakitan.     Semalam mereka tidur bersama. Lia sesekali mengusap pelan kakaknya dan menangis dengan isakan tertahan. Kalau ia berisik, bisa mengganggu kakaknya yang terlelap tidur. Kadang Lia ingin sekali gantian menghajar ayahnya yang sudah seperti setan. Tapi Lia kalah tenaga. Berulang kali Fitri melindunginya dari amukan sang ayah.     Tapi saat kakaknya pulang tadi dengan senyum cerah juga satu kantung kresek berisi kotak martabak manis yang sangat Lia sukai, kekhawatiran Lia sedikit berkurang. Setidaknya di tempat kerja kakaknya, ia baik-baik saja.     “Masih sakit, Kak?” tanya Lia sambil makan besar-besar martabak ini. Rasanya enak sekali. Apa karena dirinya jarang makan martabak seenak ini?     “Kakak tanya apa kamu jawab apa.” Fitri mengusap kepala adiknya dengan sayang. Ia tak bisa membayangkan kalau adiknya yang semalam dipukuli. Bisa-bisa hatinya semakin sakit karena perlakuan ayahnya. Tak apa. Sakit ini bisa ia tahan asal jangan melukai adiknya.     “Besok enggak sibuk, Kak. Sore juga sudah pulang tapi aku mau buat banner untuk i********:. Biar tampilannya bagus. Teman aku pandai buat, Kak. Aku minta ajari aja. Biar gratis.”     Fitri tertawa. “Semangat jualannya, ya.”     Lia mengangguk cepat. “Ayo, Kak. Dimakan nanti keburu dingin.” Diisapnya segera ujung jemarinya yang berlumuran cokelat. “Aku ambilkan minum dulu, deh. Kakak tunggu di sini, ya.”     Padahal martabak ini sederhana. Fitri beli dengan harga yang paling murah yang ia temui di pinggir jalan. Tapi adiknya lahap sekali memakannya. Tak pernah ada raut kecewa setiap kali Fitri bawakan sesuatu untuknya. Hal ini yang membuat hati Fitri menghangat.     “Besok Kakak mau main ke kampus kamu,” info Fitri segera setelah ia menghabiskan gelas berisi air dingin yang Lia ambil di kulkas tadi.     “Tumben. Ada apa?” Lia cukup penasaran. Jarang sekali kakaknya main ke kampus Lia kecuali memang sempat untuknya menjemput. Tapi bisa terhitung jari karena kakaknya terkadang lembur juga mengerjakan beberapa tugas tambahan. Juga terkadang Lia mengerjakan tugas di perpustakaan di mana ia pikir, suasana kampus lebih menyenangkan dari pada di rumah.     Rumahnya sudah seperti setengah neraka bagi Lia. Apalagi kalau ada ayahnya. Sudah tua Bangka tapi hobinya mabuk-mabukkan. Menekan anaknya untuk terus punya uang sampai-sampai harta peninggalan ibunya, di mana seharusnya digunakan untuk Lia kuliah, habis di warung minum. Diperparah di meja judi yang mana tak pernah ayahnya itu menang.     Seandainya menang pun, Lia tak sudi memakainya.     Kalau saja ayahnya tak berkelakuan minus seperti itu, mungkin Lia tak semarah dan sedendam ini pada sang ayah. Sayangnya, Amir bukan sosok ayah yang baik untuk mereka berdua.     Andai saja Lia bisa memilih sosok ‘ayah’ sudah pasti nama Amir yang merupakan ayahnya yang sekarang, tak masuk dalam hitungannya.     “Dokter Andra yang mau mampir ke sana. Tadi Kak Fitri diminta untuk temani beliau ke kampus kamu.”     Lia langsung ingat sosok dokter yang senyumnya ramah sekali. Cara bicaranya yang tegas tapi terkesan santai. Belum lagi pembawaannya yang berwibawa. Membuat sosok Dokter Andra tak mundah terlupakan oleh Lia. Sungguh beruntung yang menjadi anaknya. Terlihat penyayang dan sabar dari luarnya. Lia yakin itu.     “Ada apa memangnya, Kak?”     Fitri tersenyum ragu. “Itu lah yang Kakak enggak tau. Kakak enggak berani desak, Lia.”     Benar juga. Kalau Lia ada di posisi kakaknya pun ia tak akan banyak berani bicara. Sepertinya walau sosok itu hangat tapi menyimpan aura menyeramkan tersendiri. Ah … Lia rasa itu hanya perasaannya saja.     Buktinya, kebaikan hati Andra lah yang menyelamatkannya dari cekikan uang semesteran ini. Setidaknya Lia bisa bernapas lega sembari mengatur usaha kecil-kecilannya ini. Banyak sekari harapannya agar dirinya bisa mandiri secara finansial juga untuk meringankan beban kakaknya.     “Nanti kalau bertemu jangan lupa sampaikan rasa terima kasih ke beliau, ya, Lia.”     Cepat, Lia mengangguk. “Aye-aye, Captain.”     Fitri kembali mengacak rambut adiknya. “Kakak istirahat dulu, ya. Capek. Tadi juga dikasih resep obat dan salep. Nanti kamu bantu Kakak oles luka yang di punggung, ya.”     Lia kembali mengangguk.     “Mbak Parmi bilang lebamnya cukup parah. Iya kah Lia?”     Hati Lia rasanya diguncang gempa. Tatapan kakaknya hanya menyiratkan rasa penasaran tapi jauh di lubuk hati Lia, ia kesakitan. “Maafin Lia, ya, Kak. Kakak jadi dipukuli terus sama Tua Bangka itu,” lirih Lia tapi setelahnya ia geram. Tangannya terkepal kuat. “Kalau lagi-lagi Tua Bangka itu memukuli Kakak, aku lapor polisi.”     “Jangan, Lia. Nanti kita yang repot juga,” cegah Fitri. “Biarkan saja. Yang penting bukan kamu kalau prinsip Kakak. Sakit ini enggak akan lama, kok.” Fitri tersenyum kecil. “Kakak ke kamar dulu, ya.”      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN