“Yah, Fit. Maaf, ya, Mbak enggak bisa bantu,” kata Parmi setelah mendengar ucapan dari juniornya di dekat resepsionis. “Mbak ada perlu.”
Gadis manis itu tersenyum kecil, mengangguk mencoba mengerti. “Maaf, ya, Mbak. Aku ngerepotin terus.”
“Hush! Enggak boleh gitu. Mbak enggak kerepotan tapi memang baru kemarin dipakai. Kamu telat bilangnya.”
Fitri masih melebarkan senyumnya. “Oke, deh. Makasih, ya, Mbak. Aku ke ruang Dokter Andra dulu. Beliau ada praktik sebentar lagi.”
Parmi mengangguk, menepuk bahu gadis manis itu cepat. Sampai punggung gadis itu menghilang dari koridor kanan yang ada di dekatnya, Parmi belum mau melepaskan pandangannya pada Fitri.
Rasanya déjà vu. Seperti saat ia berusaha keras sekali untuk menghidupi keluarganya. Tak peduli muka yang dilabeli tukang pinjam uang walau selalu diganti setiap kali gajian. Asalkan kebutuhan terutama sekolah adiknya terpenuhi. Parmi tak peduli dengan label itu.
Rasanya juga, ia bercermin pada Fitri. Sayangnya, ia tak bisa membantunya sekarang. Hanya doa yang bisa Parmi lakukan agar Fitri mendapatkan jalan keluar.
Sementara Fitri sungguh kebingungan. Cicilannya di koperasi rumah sakit masih ada. Kalau ia meminjam lagi, pasti ditolak. Rekan kerjanya yang lain, sudah ia coba pinjam tapi tak ada yang bisa bantu. Dia juga memaklumi kalau sekarang bisa dibilang tanggal tua.
“Fit, kamu enggak salah beri catatan di sini?”
Fitri terhenyak, di depannya berdiri dokter Andra yang menatapnya lekat. Kacamata perseginya hampir merosot di bawah hidung mancungnya itu.
“Fit? Jangan melamun. Kamu memperhatikan saya?”
Mata Fitri mengedip cepat. “Ah, eh … itu. Enggak, Dok. Enggak. Ini saya … di mana yang salah tadi?”
Andra tersenyum. Memutar tubuhnya untuk kembali duduk di kursinya. Yang mana segera saja Fitri susul dan duduk di depan sang dokter.
“Maaf, Dok. Saya salah. Segera saya perbaiki.” Fitri yang telah menemukan di mana salahnya, segera meminta maaf. Ia malu. Sepanjang dirinya bertugas di dekat dokter Andra, belum pernah ia melakukan kesalahan seperti ini.
Pasti karena Lia. Makanya konsentrasinya terganggu. Adiknya belum makan. Bibirnya terluka. Belum lagi pasti kepalanya pusing. Ingin sekali Fitri obati, tapi adiknya menolak. Lia memilih berangkat ke kampus setelah memeluknya. Adiknya tak pernah mau berbagi tangis dengannya.
Sementara Fitri? Matanya sudah merah juga pipinya basah air mata. Mana tega dirinya melihat sang adik diperlakukan seperti itu oleh ayahnya.
“Tuh, kamu melamun lagi, Fit.”
Yang bisa Fitri lakukan hanya lah menunduk.
Andra melepaskan kacamatanya. “Ada apa? Mumpung belum ada pasien, lho.”
Fitri menggeleng.
“Fit? Sama Bapak enggak boleh berbohong.”
“Bapak bukan ayah saya,” cicit Fitri pelan. Di depannya, pria yang hampir sebaya dengan ayahnya tertawa. Andra Riyanto. Sp. PD-KKV namanya. Atau Fitri biasa memanggilnya dengan ‘Bapak’. Sama seperti staff lainnya.
“Ada apa, Nduk?”
Fitri rasanya mau kabur kalau sudah ditanya dengan nada seramah ini. Sehangat ini. Dan juga sesimpatik ini. Mana berani Fitri angkat kepalanya untuk sekadar menatap si lawan bicara. Sudah bisa dipastikan dalam benak Fitri, kalau pria paruh baya ini menatapnya tanpa putus.
Belum juga niat kabur itu terlaksana, ponselnya bordering nyaring dan menganggu. Suaranya langsung membuat ruang Dokter Andra berisik. “Saya … saya angkat telepon dulu, ya, Pak.”
Andra beri izin. “Di sini angkatnya, Fit.” Itu izin yang ia berikan pada Fitri yang malah melongo menatapnya. “Cepat, Fit. Siapa tau penting.”
Gadis itu tergeragap. Wajahnya polos sekali ditambah binar matanya yang terang membuat Andra tak bosan memandangnya.
Percakapan itu pun dimulai. Di mana Andra tau, Fitri berusaha sekali menjaga suaranya agar tak terlalu bisa didengar. Hanya saja sepertinya gadis itu lupa, kalau mereka hanya berdua saja.
Andra bisa jelas mendengar semuanya. Termasuk …
“Iya, Kakak usahakan segera. Tunggu, ya. Kakak kerja dulu. Tiga juta? Oke.”
Lalu sambungan telepon itu mati.
“Saya kerjakan ini dulu, ya, Pak,” pamit Fitri setelah memastikan ponselnya ia kantungi dengan benar. Jangan sampai benda itu jatuh dan rusak. Ia belum mampu membeli yang baru. Masih banyak kebutuhan yang harus ia pikirkan ketimbang hape baru.
“Ikut saya, Fit.” Andra melepaskan snelli-nya dengan cepat. Meraih kacamatanya lagi dan mengecek dompet yang selalu setia di kantung belakangnya.
Gadis itu mengerjap bingung. “Ikut?”
“Ayo.” Andra tak suka ada yang membantahnya. Ia berjalan segera dan ia tau, Fitri mengikutinya. Senyum Andra tertarik sedikit. Sebelum merampungkan niatnya, ia harus bertemu dengan resepsionis dulu. Menyampaikan pesan kalau dirinya keluar ruangan sementara waktu. Yang mana ia tau, janji temu dengan pasiennya sudah padat tapi ia undur sementara waktu. Ada hal yang lebih penting ia rasa. Menunda bertemu pasien tak sampai satu jam, pikirnya begitu.
Langkahnya teratur dengan sesekali membalas atau menegur rekan sejawatnya. Suasana di Medika Hospital sudah ia anggap seperti rumahnya sendiri. Menghirup aroma rumah sakit yang sudah hampir seperti separuh napasnya. Mengingat perjuangannya dulu membangun satu demi satu ruangan yang ia lewati kini.
“Pak, kita mau ke mana?” tanya Fitri penasaran. Mereka sudah ada di lift di mana hanya mereka berdua saja. Andra di mata Fitri hari ini bertingkah aneh. Tak biasanya dokter yang selalu kebanjiran pasien ini sampai menunda bertemu para pasiennya.
Andra menoleh sebentar pada gadis yang menatapnya penuh harap. “Nanti kamu juga tau, Fit.”
Di kalangan para perawat juga dokter wanita baik yang single maupun sudah memiliki suami, senyum Dokter Andra ini memang berbeda. Seolah ada nyawa diselipkan di sana. Yang mana menimbulkan kekaguman tersendiri. Entah anugerah dari Tuhan atau kutukan, Fitri tak mengerti. Senyum itu selalu Fitri nikmati.
Senyum penuh hangat, simpati, juga ramah dalam satu waktu. Belum lagi, nada suara Dokter Andra yang tegas tapi berkharisma. Fitri berandai-andai, saat Dokter Andra seusianya pasti lah jadi incaran banyak gadis. Dan sungguh beruntung, istri Dokter Andra.
“Tuh, hobi melamun, ya, kamu?”
Fitri terperanjat. Keterkejutan itu disambut tawa oleh Andra.
“Kamu lucu, Fit.”
Kalau saja berdecak di depan seorang pria paruh baya itu sopan, pasti sudah sejak tadi dilakukan Fitri.
“Kita mau ke mana, Pak?” tanya Fitri sekali lagi. Ia masih belum tau tujuan dokter di depannya ini. Tiba-tiba, langkahnya terhenti.
“Nomor rekening kamu berapa?”
Fitri mengerjap pelan. “Ya?”
“Segera, Fit. Kamu tau jadwal saya, kan?”
“Untuk apa, Pak.”
“Fitri.” Andra menatap Fitri lekat. Di mana gadis itu buru-buru mengeluarkan ponselnya. Menyebutkan digit-digit rekeningnya. Jantungnya berdebar kencang sekali. “Sudah saya transfer untuk uang kuliah adik kamu. Segera bayar.” Lalu Andra memilih meninggalkan Fitri tepat di dekat mesin ATM.
Dari pantulan kaca yang ada di sekitarnya, Andra tau, Fitri masih agak kebingungan tapi segera masuk ke dalam bilik kecil di mana mesin ATM itu ada. Segera ia ketikkan pesan lanjutan pada gadis berlesung pipi yang sejak tadi kehilangan konsentrasinya. Ternyata karena sang adik.
Andra. R : Sisanya kamu buat makan. Saya lihat, kamu makin kurus. Jangan kembali ke ruangan saya sebelum kamu makan. Asupan gula itu penting untuk konsentrasi, Fit.
Pria itu tak tau, di dalam bilik, air mata menetes deras dari Fitri. Nominal lima juta tertera di sana. Sudah ia bayarkan uang yang adiknya butuh. Juga dadanya menghangat karena pesan singkat juga nasihat dari Andra.
“Makasih, Pak. Semoga berkah selalu,” doanya tulus.