“Fit,” panggil Parmi cepat. Di tangannya ada sebuah tentengan yang sengaja khusus dia bawakan untuk Fitri. Gadis yang baru saja memarkirkan motornya di parkiran khusus karyawan rumah sakit, juga meletakkan helm, dan melepas jaketnya, terhenti.
“Ya, Mbak?”
“Ini buat kamu sarapan. Mbak bawa banyak takutnya kamu kehabisan. Tau sendiri kalau dimsum buatan Mbak laris manis.”
Gadis manis itu tertawa lepas. Dilongoknya tentengan plastik yang sudah berpidah tangan. Ada satu kotak berisi beberapa potong dim sum buatan Parmi. Tiap kali ada pesanan khusus, Fitri memang selalu kebagian jatah satu kotak katanya untuk dicicipi. Tapi tiap kali pesanan itu ada, Fitri selalu kedatapan jatah. Ada rasa tak enak sebenarnya tapi Parmi selalu bilang, “Menolak rezeki itu enggak baik, Fit.”
Akhirnya gadis itu menyerah, memilih menikmatinya saja lagi pula dim sum Mbak Parmi ini memang terkenal enak. Biasanya pesanan khusus itu menjelang weekend karena ada beberapa dokter yang memilih libur di kala weekend. Menikmati santai bersama keluarga di rumah. Bergantian dengan dokter lainnya agar tak ada kesenjangan sosial.
Fitri tak peduli. Hari apa pun liburnya, ia tetap sibuk. Di rumahnya banyak pekerjaanya yang harus diselesaikan. Sejak ibunya sakit beberapa tahun lalu Fitri terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Walau terkadang dibantu sang adik, tapi karena Lia masih dalam waktu sekolah yang sering kali sibuk mengerjakan tugas, Fitri tak terlalu memaksakan untuk dibantu adiknya.
Ia hanya meminta kamar adiknya selalu rapi dan dibereskan sebelum dia berangkat.
“Makasih, ya, Mbak,” kata Fitri setulus hati. Ia camkan baik-baik betapa wanita bertubuh sintal ini memiliki sifat yang baik. Siapa tau di masa depan Fitri diberi kesempatan untuk membalas kebaikan budinya. Akan Fitri mannfaatkan waktu itu untuk membalas semua yang pernah Parmi lakukan untuknya.
Pagi ini dirinya memang tak sempat sarapan. Ia kesiangan. Adiknya pun sama tapi setelah ditanya kenapa bangun siang, Lia hanya terkekeh. “Hari ini kuliahnya cuma siang aja, Kak. Pagi enggak ada. Pengin ngerasain bangun siang itu gimana.”
Ada-ada saja alasan adiknya itu. Karena bangun kesiangan tadi, Fitri tak sempat membuatkan sarapan apa-apa. Membagi sisa uang yang ia dapat dari Dokter Andra kemarin sore untuk bekal Lia. Adiknya terkejut bukan main dan sedikit mendesak Fitri untuk mengatakan uang dari mana. Lia tau dengan pasti kapan kakaknya memiliki uang. Juga sisa uang di tanggal-tanggal segini pasti lah tak banyak.
Tapi bagi Lia, kakaknya ini penuh dengan misteri juga. Fitri tak mau menjawab asal uang itu tapi berpesan agar digunakan dengan cara paling hemat sampai dirinya gajian. Lia pasrah saja dengan keinginan kakaknya. Lagian kakaknya tak mungkin berbuat aneh-aneh, kan?
“Kamu tuh makannya diperhatikan, Fit. Tambah kurus aja.” Parmi menepuk bahu Fitri pelan. Mereka berjalan bersama menuju ruang perawat di lantai tiga. “Eh, luka kamu gimana?”
“Alhamdulillah sudah lebih baik, Mbak. Kemarin diberi resep salep sama Dokter Andra. Tapi enakan salep dari Mbak, sih. Adem.”
Parmi tertawa saja. “Mana ada begitu. Paling juga resep salepnya sama. Wong aku dikasih tau Dokter Andra dulu kalau ada lebam pakainya salep ini aja.”
Fitri jadi ikutan tertawa karena ketahuan sedikit berlebihan pada Parmi. Sesekali Fitri mendengarkan Parmi bercerita tentang anaknya yang makin hari makin banyak tingkahnya terus.
“Seru banget kayaknya punya anak, ya, Mbak?”
“Seru, Fit. Tapi sebelum nikah mending pikirin dulu kelakuan ayah kamu itu, lho! Bahaya!”
Fitri tak mengerti bagian mana bahaya antara ayahnya dengan memiliki anak. Lagian Fitri sendiri belum ingin menikah. Kuliah adiknya masih harus berjalan, kan? Dirinya sendiri belum mapan secara finansial. Jadi ide menikah apalagi memilki hubungan dengan lawan jenis, dikesampingkan sekali oleh Fitri.
“Lho, iya bahaya, Fit.” Parmi menatap Fitri dengan gelisah. “Kalau kamu nikah, punya anak, tapi kelakuan kakeknya seperti itu apa enggak bikin kamu risih? Sama suami kamu juga. Bisa jadi kamu malah dicap perempuan enggak baik. Wajar aja lah Fitri enggak becus ini dan itu, ayahnya aja tukang mabuk dan penjudi. Gimana?”
Yang Parmi bilang itu benar adanya. Di masyarakat yang Fitri tinggali, label anak tak baik karena memiliki ayah seorang penjudi, pemabuk, belum lagi hobi sekali KDRT pada anak-anak juga ibunya dulu. Sering kali meremehkan Fitri juga Lia karena memiliki ayah dengan peringai buruk. Katanya, “Alah, anak pemabuk aja bisa jadi sarjana. Duit dari mana? Ibunya aja sakit-sakitan.”
“Iya benar, Bu. Biaya dari mana coba ibunya sakit begitu? Malah dipakai untuk judi terus. Pak Amir aja enggak bisa berpikir. Apa jangan-jangan si Fitri ini dijadiin salah satu simpanan bos-bos di tempatnya kerja? Bisa aja, kan?”
Fitri pernah mencuri dengar hal itu. Sakit rasanya. Ia bekerja tak kenal lelah. Berusaha semaksimal mungkin untuk ibunya selama sakit. Pengobatan apa pun ia jalani untuk ibunya. Kasbon di rumah sakit selama ibunya bolak balik di rawat juga belum ia lunasi, masih dalam tahap dicicil. Beruntung rumah sakit tempatnya bekerja bisa memberinya kelonggaran seperti itu.
Itu juga yang membuat Fitri tak mau terlalu banyak memanggil para tetangganya karena tak ingin banyak mendengar ucapan miring dan tak benar dari mulut usil tetangganya. Mereka tak tau bagaimana berjuangnya Fitri meraih ini semua. Berterima kasih lah dirinya karena selama di rumah sakit, ia sibuk. Berangkat pagi pulang sudah menjelang isya.
Jadi tak terlalu banyak bertegur sapa basa basi dengan tetangganya.
Malah Fitri yakin, mereka dapat gosip baru saat dirinya dipukul tengah malam oleh ayahnya. Belum lagi dalam keadaan mabuk biarpun banyak yang melerai dan menarik ayahnya agar keluar, tetap saja Fitri yakin, mereka semua kembali jadi buah bibir.
“Eh, malah bengong. Katanya anak gadis itu kalau melamun jodohnya jauh,” kelakar Mbak Parmi sambil menyenggol bahu Fitri yang membuat gadis itu tersentak. Sibuk dalam lamunan anehnya mengenai tetangga jadi tak menggubris semua ucapan Parmi yang ada di sebelahnya.
Padahal seharusnya Fitr tak melakukan hal itu, kan?
“Enggak ada perumpamaan seperti itu, Mbak.”
Parmi lagi-lagi ketawa geli. “Eh, kamu itu kaku banget, sih. Coba sesekali keluar sama kenalan cowok. Di sini banyak, kok, yang menarik. Apa enggak ada yang menarik buat kamu?”
Fitri sadar, ucapan Parmi lagi-lagi benar. Dirinya terlalu banyak berpikir mengenai hidup, kebutuhan hidup, bertahan hidup, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup. Tak sempat dirinya berpikir untuk kesenangan pribadi. Mau jajan di mall saja, ratusan kali Fitri berpikir. Jajan satu tapi adiknya tak bisa mencicipi yang segera saja membuat Fitri urungkan niat untuk membeli.
Kemarin jajan martabak karena ada sisa uang dan untuk menambah semangat Lian memulai bisnis kecil-kecilannya itu.
“Kayaknya bukan mereka yang enggak menarik, Mbak.” Fitri menarik sudut bibirnya. Ia sedikit mengangguk kecil menyapa salah satu senior perawat yang duduk di belakang meja resepsionis. Dirinya masih memegang adab, menegur yang ‘tua’ lebih dulu bukan karena gila hormat. Tapi untuk keberlangsungan dirinya di sini.
Ada kalanya, sikap tak menegur pada seseorang entah itu karyawan lama juga baru saja sudah dijadikan bahan gunjing. Yang berbahaya justeru bukan orang pertama yang bergosip, tapi penyampaian satu mulut ke mulut lain. Dilebih-lebihkan bukan justeru dikurangi. Yang membuat bahan gunjing itu makin jadi dan makin sip.
“Lho, kamu itu manis, Fit. Mbak aja iri sama wajah kamu yang enggak ada jerawatnya itu. mau bertanya pakai skin care apa tapi kayaknya Mbak jadisperti mengejek kamu, ya.”
Fitri tertawa lagi. “Nah, itu Mbak tau. jangan kan beli perawatan wajah, pensil alis aja kadang minta sama Mbak, kan?”
“Ya Allah, Fit. Mbak doain di masa depan nanti nasib kamu bagus. Enggak lagi menderita begini. sabar, ya.”
Gadis itu mengangguk cepat. “Aku selalu sabar, Mbak. Yang terpenting Lia bisa kuliah dan lulus. Nantinya bisa kerja seperti yang dia mau. Aku tenang melunasi hutang-hutang. Doain aja Fitri dikasih banyak kesempatan untuk membayar semuanya.”
Parmi segera merangkul gadis manis berbadan kurus itu. sayangnya Parmi pada Fitri sudah selayaknya seperti adik sendiri.
“Selalu, kok. Mbak selalu doain kamu.”