"Habib!" panggil Fajar dengan suara beratnya. Sosok laki-laki kecil yang dipanggil Habib langsung menoleh dan berlari mendekati Fajar.
"Papaom!!!" teriak Habib yang begitu senang melihat sosok yang sangat ia rindukan. Fajar langsung saja meraih sosok Habib dan membawanya ke dalam pelukannya.
"Habib, kan mama bilang jangan panggil Om Fajar Papa nanti orang salah paham. Terus nanti Om Fajarnya gak laku-laku, dikirain udah punya anak beneran." Fajar tertawa mendengar ucapan kakaknya pada anak pertamanya itu.
Bukan hal baru bagi Fajar saat Habib menanggilnya dengan sebutan papa dan bukan hal aneh lagi bagi Fajar saat kakaknya memperingatkan Habib untuk tidak memanggil dirinya dengan sebutan papa. Sebenarnya tak ada alasan bagi Habib menggil Fajar dengan sebutan papa, bukan juga karena Habib memang anak Fajar.
Tapi, setiap Habib ditanyai mengapa memanggil Fajar dengan sebutan papa ia hanya menjawab jika wajah Fajar mirip dengan papanya. Padahal kenyataanya, Fajar harusnya lebih mirip dengan mamanya karena mamanya adalah kakak kandungnya. Tapi Fajar tidak mengambil pusing alasan Habib, begitu jugan dengan suami kakak Fajari alias papa Habib.
"Iya Ma," ucap Habib yang langsung mengikuti perintah mamanya.
"Kamu darimana?" tanya kakak perempuan Fajar yang kini tengah menyuapi Habib makan, ia menatap ke arah Fajar yang masih terlihat rapi dengan pakaiannya.
"Biasa kak dari kampus," jawab Fajar santai. Fajar langsung berdiri dan mengampil air dingin dari dalam kulkas.
"Ma, mau di suapin sama Om boleh?" pinta Habib pada mamanya. Ia menatap mamanya penuh harap, namun gelengan yang ia dapat membuat Habib cemberut.
"Om kan baru pulang sayang, pasti cape. Biarin Om istirahat dulu ya," ujar kakak Fajar memberikan penjelasan namun Habib tetap cemberut.
"Udah gak apa-apa kak, anggep aja latihan. Sini Om suapin," jawab Fajar ditambah dengan kekehan kecil, Habib yang mendapat lampu hijau dari Fajar langsung mendekati Fajar.
"Latihan terus tapi di praktekinnya gak tahu kapan, makanya nikah sana biar ada yang ngurusin." Kakak Fajar menyerahkan kotak makan Habib pada Fajar dan langsung ia terima. Sedangkan ia sekarang kini duduk tak jauh dari Fajar.
"Belum nemu yang cocok kak, kalo udah mah langsung Fajar bawa ke KUA. Tunggu aja nanti kakak ada temennya," ucap Fajar yang terdengar seperti bercanda oleh kakaknya.
"Iya deh, jodoh gak tahu dimana ya 'kan?" ucap kakak Fajar yang di jawab dengan cengiran oleh Fajar.
"Ya sudah kakak mau mandi dulu, jagain Habib ya. Kalau sudah itu minumnya ya," lanjut kakak Fajar yang dijawab anggukan oleh Fajar.
Setelah berkata seperti itu, kakak Fajar langsung berjalan menuju kamarnya sedangkan Fajar kini tengah asik bermain dengan Habib. Untungnya Habib termasuk anak kecil yang mudah jika di kasih makan, sehingga tak perlu Fajar repot-repot mengeluarkan berbagai jurus untuk membujuk Habib makan.
"Om Fajar tidur sini ya?" tanya Habib polos. Fajar menggeleng menjawab pertanyaan Habib, "Om gak nginep di sini, kan Om besok kerja."
"Kalau kerja gak boleh tidur sini ya Om? Padahal Habib mau tidur sama Om, jadi kapan Om gak kerjanya?" tanya Habib lagi dengan tatapan polosnya.
"Iya, Om nanti tidur sini kalau Habib libur sekolah gimana?" Habib langsung mengangguk senang mengiyakan tawaran Fajar.
"Ya udah, sini Habib minum dulu. Habib pinter makannya banyak, nanti Om bawain mainan." Setelah mendengar ucapan dari Fajar Habib langsung berdiri dari duduknya lalu meloncat-loncat kesenangan membuat Fajar tertawa kecil melihay tingkah polos Habib.
"Om kita kapan-kapan jalan ke mall lagi yuk, kali aja ketemu sama Kakak yang kemarin. Ayo Om," ajak Habib bersemangat.
"Kakak siapa? Itukan Tante Audy anaknya Kakek Puji," ucap Fajar menjelaskan. Habib memang terkadang lupa cara memanggil orang orang yang lebih tua daripada nya. Terkadang terbalik antara memanggil Tante dan Kakak pada keponakan dan sepupunya. Namun Fajar mewajari, namanya saja masih anak kecil makanya harus di ajarkan.
"Kalo Tante Audy Habib tau, itu loh Om masa lupa. Kakak yang bantu Habib ketemu sama Om," jelas Habib. Fajar kembali mengingat sosok kakak yang disebutkan oleh Habib. Hingga akhirnya kesadarannya kembali dan membawanya pada pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu ia selesaikan tadi.
***
Siang ini Fajar kembali ke kampus dengan terburu-buru, tadi saat makan siang ia harus mengantarkan kakaknya untuk periksa kandungan ke dokter karena Mas Feri ada pekerjaan mendadak di luar kota. Dengan langkah cepat Fajar berjalan menaiki tangga, lalu masuk ke ruang dosen untuk mengambil laptopnya dan buku rujukan belajar.
Setelah itu, Fajar langsung saja berjalan menuju lantai atas mengajar, sebenarnya ini adalah kuliah pertamanya semenjak ia diterima. Fajar menatap jam yang melingkari tangannya, lalu ia berhenti di sebuah pintu kaca dan mendorongnya dari luar.
"Assalammualaikum," ucap Fajar lalu berjalan menduduki kursi terdepan di ruang kelas.
"Waalaikumsalam," sautan dari para murid Fajar menggema mengiringi kangkahnya duduk.
"Saya dosen baru untuk mata kuliah Ekologi yang akan mengajar kalian di sisa akhir semester ini, nama saya Fajar Atmadjaya.
Kalian bisa memanggil saya pak Fajar," ucap Fajar memperkenalkan diri.
Seperti seharusnya yang harus dilakukan oleh dosen, Fajar kini mengajar di dalam kelas. Meskipun sesungguhnya ia sebenarnya gugup karena masih belum terbiasa mengajar dihadapan banyak orang tetapi Fajar mencoba sebaik mungkin.
Hingga akhirnya satu setengah jam berlalu dengan baik-baik saja dan Fajar berjalan meninggalkan ruang kelas karena jam mengajarnya sudah selesai.
Dari ruang kelas Fajar langsung menaiki tangga menuju labor, Fajar memilih mengaudit barang-barang apa saja yang diperlukan untuk semester depan. Karena semester genap ini sudah akan berakhir dalam beberapa hari lagi.
"Siang Pak," sapa Dona yang merasakan kehadiran Fajar.
"Siang, saya akan kerja di dalam. Kalau ada keperluan langsung saja," ucap Fajar lalu memasuki ruangan kepala laboratorium.
Fajar menghidupkan laptopnya, lalu memasukan data-data dan mengecek kembali database yang sudah ada. Membutuhkan kesabaran memang untuk apalagi data-data yang harus di cek ulang adalah data yang ada sebelum Fajar berkerja.
"Kenapa saya tidak bisa memakai labor! Dosen bukannya bebas!" suara dari luar samar-samar cukup mengusik pendengaran Fajar namun Fajar tidak ambil pusing karena ia tahu Dona pasti akan menjelaskan dan memberikan pengetian.
Memang terkadang begitu jika dosen yang akan memakai labor tetapi dia sendiri yang tidak menaati peraturan, mau bagaimana lagi bukan. Aturan tetaplah aturan dan itu pula demi kenyamanan bersama.
"Tapi saya dosen! Saya gak mau tahu senin saya harus dapat jadwal labor," ucap suara dari luar sana.
Fajar bangkit dari kursinya, lalu melihat ke arah luar. Mencari suara siapa yang sedari tadi mengacaukan konsentrasinya.
"Ini ada apa?" tanya Fajar tepat saat ia melihat Dona yang terlihat sabar sudah dibentak-bentak.
"Eh ada Pak Fajar, ini loh Pak. Masa saya gak di kasih jam labor. Saya kan mau penelitian," ujar wanita yang tadi sempat beradu mulut dengan Dona.
"Maaf bu Lis, ibu sudah memesan jadwal belum?" tanya Fajar.
"Loh, bukannya dosen bisa langsung Pak?" ucap wanita yang ternyata bu Lis. Bu Lis berbicara dengan lembut terhadap Fajar dibandingkan kepada Dona.
"Ini sudah peraturan, jika tidak menitipkan jadwal atau mengkonfirmasi tidak bisa."
"Tapi," ucapan bu Lis terhenti setelah dipotong oleh Fajar.
"Maaf bu, sudah aturan." Fajar menatap dalam bu Lis berhatap ia mengerti. Sedangkan bu Lis yang sudah tidak dapat mendebat Fajar keluar ruang labor dengan tatapan kesal.
"Sudah Don, kamu gak salah. Peraturan tetap peraturan," ucap Fajar menyemangati Dona yang ia tahu sendiri juga mahasiswa yang tahun kemarin baru saja lulus tetapi kini dipercaya menjadi asisten labor.
"Permisi," ucap suara yang menghentikan pembicaraam Fajar.
"Iya," jawab Dona dengan tersenyum menatap sosok perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
"Saya mau mengembalikan barang pinjaman labor, saya taruh di sini lagi Bu?" ucap perempuan itu.
Fajar mengalihkan pandangannya ke sosok perempuan yang baru saja datang, Fajar kembali merasa tidak asing dengan suara perempuan yang ada di belakangnya.
"Oke Salsa, tidak ada yang rusak kan?" tanya Dona.
Fajar memperhatikan sosok yang dipanggil Salsa tersebut. Fajar tidak yakin sosok Salsa yang ada di hadapannya ini adalah sosok yang sama di dalam pikirannya. Bagaimana Fajar bisa mengenali jika Salsa masih memakai perlengkapan labornya lengkap dengan masker wajah.
"Tidak ada Bu, kalau begitu saya pamit." Dona tersenyum mengiyakan. Fajar masih pada posisinya menatap setiap langkah sosok Salsa yang baru saja meninggalkan labor.
"Pak?" ucap Dona menghilangkan lamunan Fajar.
"Iya?" tanya Fajar, menatap keranjang yang tadi dibawa Salsa.
"Semua peralatan sudah selesai Pak," ujar Dona memberikan informasi kepada Fajar.
"Kamu silahkan susun setelah itu bisa pulang, saya membereskan barang-barang dulu di dalam." Dona menangguk langsung membawa keranjang yang tadi dibawa Salsa lalu menyusunnya kembali ke tempatnya.
Fajar kembali ke dalam ruangan lalu mematikan laptopnya setelah sebelumnya menyimpan file laporan yang tadi ia kerjakan. Lalu, ia menyusun kertas-kertas yang tadi ia periksa lalu meletakkannya di atas laptop. Ia berniat melanjutkan pekerjaannya dirumah. Setelah selesai memasukan semua barang-barangnya, Fajar berjalan meninggalkan labor. Lalu berjalan menuju ruang dosen.
Fajar membuka ruang dosen dengan sedikit mendorong karena ia merasa ada yang tersangkut di bawah pintu, setelah berhasil ketika menutup Fajar cukup kesulitan sama seperti saat ia membuka.
Di ubin Fajar juga melihat garis-garis pada ubin putih yang membuat Fajar mengerti bahwa pintu ini memang sedang bermasalah. Padahal sebelumya baik - baik saja. Fajar mendorong pintu hingga tanpa sengaja pintu tersebut tertutup dengan sedikit kencang.
"Gimana Salsa praktikumnya?"
Fajar yang baru saja memasuki ruangan dosen langsung mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Fajar melihat sosok pak Dayat yang tengah berbicara dengan mahasiswanya. Namun, nama Salsa yang mencuri perhatian Fajar.
Fajar langsung duduk ke mejanya, lalu memasukan laptopnya. Sesekali ia melirik sosok perempuan dengan gamis berwarna biru gelap terlihat santai berbicara dengan pak Dayat. Apalagi beberapa kali pak Dayat menyebutkan kata Salsa membuatnya semakin penasaran dengan sosok di depannya.
Tak lama Fajar melihat mahasiswa yang dipanggil Salsa tadi berpamitan untuk pulang. Fajar hanya melihat dari belakang sosok Salsa tersebut yang akhirnya menghilang dari balik pintu. Tetap saja, lagi-lagi Fajar tak bisa melihat wajahnya dan berakhir dengan perang antara Fajar dan pikirannya.