Tidak Menyukaiku?

1116 Kata
“Riko, Kadita, mandi dulu sana! Daddy pulang hari ini lho. Tadi sempat hubungi kakak.” Riko masih bermalas-malasan tidur di pahanya Lara. Keduanya seolah tidak mau pisah dengan Lara karena hari ini akan dijemput oleh Aiden. Yunita—mamanya Lara. Wanita itu tersenyum ketika melihat tingkah kedua anak Aiden yang sangat dekat dengan Lara. Bahkan untuk pindah dari tempat itu pun sangat sulit. “Kak.” “Iya?” “Kan orangtua kakak kita panggil Nenek sama Kakek. Nggak boleh dong kita panggil Kakak ke Kak Lara. Harusnya panggil tante.” “Ya terserah kalian sih.” “Boleh dong dipanggil, Mama?” Ekspresi Yunita dan suaminya malah tersenyum mendengar anak-anak memanggil Lara seperti itu. Semenjak tinggal di sini tingkah anak-anak juga sangat manja pada Lara. Kadang Riko yang sering memeluk Lara kalau Lara sedang bersantai dan kadang tidur di sofa saat mereka nonton televisi. Sudah lama sekali juga tidak pernah melihat putri satu-satunya yang mereka miliki bisa sebahagia ini. Kadang tawa Lara pecah karena ulah anak-anak. Jadi tidak ada alasan lagi bagi Yunita untuk menolak Aiden di sini. Mungkin pria itu bisa mengubah pikiran Lara. “Kak, boleh panggil, Mama?” ulang Riko. “Nggak bisa, nggak boleh juga.” “Kenapa?” Yunita paham dengan masa lalu Lara. Dia tidak ingin dipanggil seperti itu. Luka Lara tidak akan pernah sembuh seumur hidupnya. Mereka berdua tahu. Karena selama dua tahun proses penyembuhan Lara. Ditambah lagi Lara pernah berada di rumah sakit jiwa karena ulah Ben. “Nggak ada. Kakak cuman nggak mau.” Riko berdiri dari tempat tidur barusan di paha Lara. Tiba-tiba dia pergi begitu saja. Pun begitu dengan Kadita. Yunita mendekati anaknya dan duduk di dekat Lara. “Apa sudah waktunya buka hati?” Pelan kepala Lara menggeleng. “Nggak akan pernah, Ma.” “Ra, sudah berapa tahun kamu kayak gini?” “Aku nggak bisa, Ma. Kenapa juga aku harus nurutin mereka?” “Harapan mereka itu besar sekali kalau kamu mau jadi mama mereka.” Timpal papanya yang ikut duduk di sampingnya Lara. Hati Lara sudah terlanjur mati rasa. Tidak bisa menerima siapa pun. Dari pada Lara harus bergantung lagi dengan obat-obatan seperti dulu demi kesembuhan Lara karena begitu hebatnya Ben menyakiti hati Lara. “Ya sudah nggak usah dipikirkan apa yang Mama dan Papa katakan tadi. Yang penting kamu tetap bahagia. Tapi kalau Aiden sendiri yang dekati kamu?” “Jawabannya akan tetap sama. Lara nggak bakalan mau buka hati untuk siapa pun. Lara nggak bakalan nikah.” Ya putus asa adalah perasaan paling sering dirasakan oleh kedua orangtuanya Lara mendengar jawaban putri mereka yang tidak akan pernah menikah sampai kapan pun. Andai putrinya tidak dijebak Ben untuk melayani nafs* sialan pria itu. Andai dulu Lara tidak diancam untuk ditinggalkan jika tidak mau melayani. Lara tidak akan seperti robot yang dikendalikan sekarang. “Papa sama Mama nggak marah?” Sebenarnya mereka ingin melihat Lara bahagia. Mereka juga tidak memiliki anak lain yang bisa berbagi kesedihan dan kebahagiaan jika mereka tiada suatu saat nanti. Mana mungkin Lara bisa berjalan dengan sendirinya? Sedangkan sepupunya sendiri tidak dekat dengan Lara. Semua laki-laki yang ada di dalam keluarganya pun dia kecualikan. Lara tidak punya sepupu perempuan. Yunita menggeleng. “Mama nggak kecewa, yang penting anak Mama bahagia.” Lara beranjak dari tempat duduknya. Dia sendiri memang paham bagaimana rasa sakit itu harus diobati sendiri. Lara tidak pernah niat untuk dekat dengan siapa pun. Lara juga sudah membangun tembok besar untuk siapa saja yang ingin mendekatinya. Setiap luka itu akan ada obatnya, obatnya adalah waktu. Seiring berjalannya waktu, semua akan pelan memudar. Tapi sudah bertahan-tahun lamanya, Lara tidak pernah ingin membuka hatinya. Lara sudah lelah dengan semua janji. Lara tidak ingin lagi termakan omongan seorang pria. Lara sibuk di dapur untuk masak makan malam yang katanya Aiden akan menjemput anak-anak nanti. Jadi dia ingin menyiapkan makanan untuk anak-anak sebelum pulang. Lara sempat tersinggung dengan ucapan orangtuanya tentang Aiden. Dia tidak bisa menerima siapa pun. Tidak akan pernah. Baginya cinta itu tidak ada. Baginya cinta itu hanya untuk orang-orang yang tidak sama-sama menghargai. Baginya cinta itu adalah sebuah kekuatan bagi dua orang yang sama-sama mencintai. Bukan yang berjuang sendiri lalu ditinggal pergi. Ayam asam manis, sop merah dan sosis teriyaki yang sudah beberapa hari tidak dimasak untuk makannya Riko. Ia juga memasak pesmol ikan yang terlihat sangat enak. Semenjak anak-anak di sini dia disibukkan dengan mengurus keduanya. Sama sekali tidak kebertan. Tapi tadi permintaan Riko tentang memanggilnya mama sangat berat bagi Lara untuk menerimanya. Setelah magrib suara mobil memasuki halaman rumah mereka. Dan suara pintu diketuk, mamanya keluar untuk membuka pintu. Lara keluar dari kamar. Anak-anak sudah berada di luar dan sekarang sedang duduk di ruang tamu bersama dengan Aiden. “Daddy katanya bakalan lama di sana?” “Nggak kok, sudah selesai. Selanjutnya bakalan di sini sama kalian. Daddy nggak enak kalau ninggalin kalian lama-lama. Barang-barang sudah siap?” “Sudah.” Aiden melirik ke arah Lara yang aroma parfumnya tercium oleh Aiden. Wangi lavender vanila tercium sangat harum dan aroma itu menenangkan. “Maaf sudah merepotkan.” Aiden basa-basi dengan orangtuanya Lara. “Nggak kok. Malah kami senang kalau anak-anak ke sini.” Obrolan mereka pun berlanjut. Aiden yang meminta anak-anak mengambil barangnya ketika sudah waktunya untuk makan malam dan istirahat. “Aiden, makan dulu di sini. Lara udah masak banyak banget lho. Siapa yang makan kalau kamu ajak anak-anak pergi?” Yunita memang melihat makanan yang dimasak oleh Lara cukup banyak. Sayang kalau dibuang nanti. “Ah nanti kami makan di luar, Om, Tante.” “Nggak usahlah, itu lho kasihan udah dimasak.” “Daddy, kita makan dulu, ya!” ajak Kadita dan Riko. Ya mereka juga senang makan di sini. Aiden mengalah dan ikut ke ruang makan bersama keluarga itu. Nampak sangat damai sekali. Lara melayani mereka semua. Aiden sempat berpikiran tentang ucapan Riko tempo hari. Satu yang menjadi pusat perhatiannya Aiden. Yaitu makanan sosis teriyaki yang paling disukai oleh Riko. Dan juga ada pesmol ikan yang menjadi makanan kesukaan Aiden. Makan malam berlangsung khidmat. Ia mencicipi ikan yang ditaruh oleh Lara tadi ke atas piringnya. Enak. Sangat lezat. Lagi Aiden ingin merasakannya lagi. “Siapa yang masak?” “Lara semua yang masak. Semenjak anak-anak di sini, Lara yang masak.” Jawab papanya Lara. Cantik, pintar masak, baik, lembut. Apa yang menjadi kekurangan Lara, Aiden? Ia membatin melihat Lara tersenyum ke arahnya. Tapi Aiden sepertinya hafal bahwa ekspresi itu sangat terpaksa. Jika wanita lain yang pernah dia dekati pasti akan tersenyum dan akan terlihat menggoda. Ia pun akan langsung merasakan pikiran itu. Tapi sayangnya dia merasa ada yang berbeda dari Lara. Yaitu dibatasi oleh Lara. Seperti sedang membangun tembok di antara mereka berdua. Apa Lara tidak suka padaku? 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN