“Kadita, kamu sudah belajar belum? Kenapa masih masak sih?”
Aiden turun dari kamar melihat anaknya yang sedang membuat kue di dapur. Dia melihat anaknya sedang memasukkan adonan ke dalam oven. “Daddy, malam-malam berisik,”
Pria tiga puluh lima tahun itu menghela napas. “Kenapa sih? Kamu kok marah terus sama Daddy,”
Kadita duduk di kursi yang ada di dapur. “Daddy sih, sibuk terus tiap hari. Lihat tuh Riko marah sama aku gara-gara Daddy nggak ada waktu, terus janji mau jalan-jalan, akhirnya apa?” protes putrinya saat mengikat rambut.
Aiden sempat berpikiran untuk kembali dengan mantan istrinya. Tapi dia tidak akan pernah kembali lagi ke dalam pelukan wanita yang sudah meninggalkannya waktu itu. Sebenarnya dia sangat marah dengan hidupnya yang mengurus dua anak sekaligus. “Mommy udah hubungi kalian?”
Kadita menoleh dan tatapannya tidak suka terhadap wanita itu. “Apa ada yang salah?” tanya Aiden pada putrinya.
“Daddy, jangan marah kalau aku dan Riko nggak bisa terima Mommy. Aku sama Riko menghindar, meskipun Mommy yang lahirin, tapi gimana perasaan aku yang ditinggal? Riko masih kecil, terus aku? Itu sulit, Daddy,”
Aiden tidak memaksa, tapi mantan istrinya meminta untuk bertemu dengan kedua anaknya. Jika memang tidak bisa untuk diterima lagi di dalam keluarga ini, maka Aiden tidak akan penrah bisa untuk memaksa kedua anaknya. “Daddy jangan paksa aku sama Kakak terima Mommy. Lupa bagaimana dia ninggalin?” Riko muncul begitu saja dari belakangnya Aiden.
“Kenapa ada kata ‘dia’ di dalam panggilan itu? Itu nggak sopan,” tegur Aiden.
“Daddy, gimana rasanya manggil Mommy ketika aku baru bisa bicara? Semua video aku semasa kecil yang aku lihat itu aku merengek cariin Daddy, bukan cari Mommy. Terus kakak bilang kalau Mommy mau ke sini dan ketemu,” Riko tidak bisa menjelaskan perasaannya yang kecewa ketika kecil ditinggal oleh ibu kandungnya sendiri demi pria lain. “Mommy juga udah punya suami,”
Aiden tidak berharap. Tapi dia tidak ingin jika anak-anaknya benci. “Tapi nggak harus benci, kan?”
Kadita beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil s**u kemasan kotak dan juga gelas. “Riko, mending kamu minum s**u dulu terus tidur. Jangan dengerin, Daddy!”
“Siapa yang ajarin kamu ngomong gini, hah?” tegur Aiden pada anaknya saat Kadita sudah terdengar kelewatan.
Kadita berhenti menuangkan s**u dan memberikannya pada Riko yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Kenapa aku ngomong gini? Daddy, gimana rasanya saat lihat Mommy sama anaknya di taman? Sedangkan aku dan Riko berdua nggak pernah ngerasain kasih sayang itu. Mommy lagi tiupin lutut anaknya yang berdarah, Daddy nggak tahu gimana perasaan aku, kan? Daddy pernah nggak ngerasa kalau aku dan Riko justru ngerasa kak Lara itu adalah Mommy kami berdua? Daddy nggak tahu kan kalau kami mampir ke kafe dia buatin makanan, terus waktu itu lagi hujan, kami berdua makan. Kak Lara malah keringin rambut kami berdua, apa pernah Daddy perhatikan itu?”
“Lalu kamu mau apa?”
Riko mencuci gelasnya sendiri lalu mengeringkan tangannya. “Sibuklah, Daddy. Sampai Daddy nggak akan tahu bagaimana perasaan anak sendiri tanpa ada orang tua yang lengkap. Sekarang aku tanya, Daddy nyakitin Mommy nggak dulu sampai dia pergi?”
“Kamu tahu sendiri kalau kita dulu miskin, Kadita. Kamu tahu nggak gimana susahnya Daddy biar hidup kita seperti sekarang, hah? Kamu juga SD ingat dulu sepatu kamu bolong, adik kamu mau beli s**u aja susah. Kenapa kamu nggak ada syukur-syukurnya jadi anak?” sekarang Aiden berteriak saat bicara dengan anaknya.
Kadita membanting kotak s**u itu dan menangis.
Riko pergi menghindarinya saat dia berusaha untuk bicara dengan anaknya. “Kamu mau seperti kakak kamu?”
“Daddy kurangi kencan sama pacar Daddy. Apalagi dia adalah janda punya anak. Daddy terima mereka, belum tentu mereka terima aku sama Kak Kadita,”
Aiden yang sedang dekat dengan seorang janda satu anak merasa sangat bersalah sudah membentak anaknya. Dia memang sibuk bekerja. Tapi teman-temannya menjodohkan dia dengan seorang janda waktu itu sudah cukup membuatnya mengerti bahwa ini tidak boleh berhenti begitu saja. Aiden pria sukses sekarang, meski statusnya duda beranak dua. Tapi ada saja yang mencoba mendekati. Lagipula yang membuatnya marah adalah Lara, siapa dia yang berani-beraninya perhatian pada kedua anaknya sampai membuat Kadita dan Riko jatuh ke dalam pelukannya hanya karena masakan.
Bagaimanapun juga Aiden itu adalah orang tua tunggal. Tidak akan terima jika anaknya seperti sekarang ini.
Dia mematikan oven kue yang dibuat anaknya sudah matang dengan timer yang sudah berbunyi. Aiden mengeluarkan kue itu dari dalam oven lalu menyusul anaknya ke kamar.
Beberapa kali dia mendengar teriakan anaknya yang marah-marah.
Benar jika Kadita sedari kecil lebih sering dia perhatikan dibandingkan dulu mantan istrinya yang hanya sibuk dengan kekasihnya. “Buka pintunya!” Aiden tidak akan tega jika anaknya menangis karena ulahnya.
Ceklek
Air mata anaknya membasahi pipi Kadita. “Daddy boleh masuk?”
Kadita mengangguk lalu membuka pintu semakin lebar. Aiden mendekati foto yang ada di atas meja belajar anaknya. Foto mereka bertiga ketika umur Kadita dua tahun. “Kamu dari dulu adalah anak kesayangan Daddy. Nggak pernah ada niat Daddy nyakitin kamu ataupun Riko. Maaf tentang Daddy yang selalu sibuk kerja, kadang berpikir ingin kembali dengan Mommy. Tapi Daddy sadar jika Mommy sudah bahagia, dan sekarang...”
“Nggak apa-apa, Daddy. Kalau Daddy mau nikah lagi aku nggak masalah,”
“Kenapa kamu ngomong gitu?”
“Daddy sebentar lagi punya anak tiri, Kadita sama Riko bisa pergi dari sini. Bisa kos, jadi Daddy hanya perlu kasih uang untuk bayar kos,”
Tidak sampai kapan pun tidak akan dibiarkan oleh Aiden. “Nggak, Daddy nggak izinin. Daddy nggak akan pernah biarin kamu di luar sana hidup sendirian. Kamu punya orang tua,”
“Tapi Daddy bentar lagi nikah,” Kadita menangis dan melempar dirinya ke atas ranjang lalu menutup kepalanya dengan bantal.
Padahal dia dan janda itu masih proses pendekatan saja. Belum memikirkan sampai ke sana. “Di mana lihat Daddy?”
“Aku ketemu sama Daddy di mall. Daddy gandeng anaknya, sedangkan aku sama Riko ke toko buku ditemani kak Lara,” anaknya masih menangis dan menyebut nama wanita itu lagi.
Racun apa yang diberikan untuk pikiran anak-anaknya sampai wanita itu dibela habis-habisan oleh Kadita. “Kenapa nggak pernah bilang kalau pengen ke toko buku?”
“Daddy selalu bilang ada kerjaan. Tapi waktu itu Daddy senang banget sama calon anak tiri, Daddy,”
Tidak salah jika beberapa hari terakhir anaknya menjauh setelah dia berkencan dengan janda satu anak itu.
“Daddy, nggak bakalan lanjutin kalau kalian tersiksa. Nggak bakalan pernah.”
Kadita membuka penutup kepalanya saat dia berharap yang menjadi ibu tiri mereka adalah Lara. Sebab kasih sayang yang selalu didapatkan itu dari wanita tersebut tanpa pernah diminta. Jadi tidak akan pernah dia meminta kasih sayang dari wanita itu.
“Daddy, janji putusin pacar Daddy?”
Aiden mengangguk mengelus kepala anaknya. “Jangan ulangi yang tadi. Daddy nggak suka kamu bentak, Daddy. Daddy sayang kalian berdua,”
Kadita bangun dari tempat tidurnya lalu memeluk Aiden.
Anak yang masih berusia belasan tahun ini memang pantas untuk dimanja. Apalagi tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang baik. Dulu dia juga membawa anaknya ketika bekerja, dan sekarang mana mungkin dia mementingkan dirinya sendiri dibandingkan dengan hati anaknya sendiri.