Mata yang terpejam dengan tangan kanan yang ada di atas perut Lara terasa berat usai percintaan panas tadi. Inilah dia yang sudah memberikan kepuasan untuk Ben di saat merekan hanya berstatus sebagai pacar. Ben juga sudah mengambil perawannya waktu itu. Mereka yang hanya keluar untuk makan malam namun malah bercinta. Meski awalnya Lara mengeluh sakit karena percintaan barusan, tapi Ben mengatakan itu adalah hal yang wajar.
Jadi yang dia percayai hanya Ben yang akan bertanggung jawab untuknya. Meski nyeri, tapi mengingat sentuhan hangat Ben mulai dari leher dan sampai pada dadanya begitu lembut sampai ia terbuai dan tidak sadar ketika penyatuan mereka tadi yang ternyata Ben sudah menghujamnya namun pelan.
Sekarang dia masih berada di dekapannya Ben saat mereka bercinta. “Ra, udah jam berapa?”
“Bentar lagi jam sepuluh,” jawab Lara.
Ben masih memejamkan matanya ketika Lara tidak menggunakan satu helai pun pakaian yang hanya ditutupi dengan selimut di kamarnya Ben. “Jangan cari pria lain di luar sana, Ra!” pinta Ben membuka matanya lalu mencium bibirnya Lara.
Lara mengalungkan kedua tangannya yang sangat mencintai pria ini sudah sejak lama. Bahkan ketika dia egois, Ben selalu mengalah padanya. Jadi dia percaya jika sebentar lagi Ben akan menikahinya.
“Pasang baju kamu aku anterin malam ini,” ucap Ben setelah menciumi leher Lara.
Wanita itu terbangun dari tidurnya lalu memunguti pakaiannya dan menggunakannya dengan segera sebab sebeantar lagi pukul sepuluh malam dia harus pulang lebih cepat sebelum orang tuanya marah.
“Ra, besok aku jemput ke kampus?” tawar Ben.
Lara yang baru saja merapikan rambutnya menoleh lalu tersenyum. “Tentu, kalau kamu nggak keberatan,”
“Nggak apa-apa kok, kamu di sana sampai sore kan? Jadi pulang aku kerja aku sekalian jemput kamu. Uang bulanan kamu juga udah aku transfer ke rekening kamu,” kata Ben yang memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Lara tersenyum lalu menggandeng tangan Ben. “Makasih sayang,”
“Makasih untuk yang tadi, besok lagi sayang,” kata Ben tersenyum.
Lara menganggukkan kepalanya. Dia melakukan apa pun demi Ben—kekasih yang paling dia sayangi. “Ra, Mama sama Papa kamu nggak bilang apa-apa kan?”
“Bilang apa?”
“Ya kejadian waktu itu. Kamu nggak bilang?”
Lara menggeleng, “Mana mungkin aku bilang karena itu rahasia kita berdua,”
“Ini juga termasuk rahasia sayang. Kamu udah dewasa juga, jadi paham mana yang disebut cinta, kamu bukan anak-anak lagi,”
Dia tahu bahwa pacaran dengan Ben adalah risiko terbesar yang harus dia tanggung adalah memuaskan Ben karena pria itu cukup dewasa dan mengatakan jika dia tidak pernah melakukannya bersama dengan wanita lain. Lara adalah yang pertama, jadi mereka sama-sama melakukannya juga atas dasar suka sama suka tanpa ada paksaan.
Tidak lama kemudian mereka tiba di rumahnya Lara.
Ben mengantar Lara dengan sopan. “Ben, minum dulu yuk!” ajak papanya Lara begitu dia sampai di sana mengantar Lara dengan baik. Meski tadi mereka saling menikmati satu sama lain ketika berada di apartemen.
“Mungkin lain kali aja, Om. Aku pamit dulu ya,”
Orang tuanya Lara sangat ramah karena sedari dulu sebelum Ben jadi apa-apa Lara sudah menemaninya sampai bisa punya apa pun yang Ben mau. “Ra, kamu mau makan?” tawar mamanya saat Lara masuk ke dalam rumah.
“Nggak usah deh, Ma. Besok aja,”
“Ben makin hari makin dekat aja sama kamu. Udah ada persiapan emangnya? Jadi mau nikah?” tanya orang tuanya Lara saat dia sedang melepas sepatunya di tempat sepatu itu.
Lara berbalik. “Sepertinya iya, Ma. Soalnya tadi juga lagi ngomongin rumah kok, tapi Mama sama Papa jangan kecewa. Rumahnya nggak sebesar ini, tapi itu hasil kerja keras dia,”
“Ra, mau gimanapun juga itu usaha dia buat bahagiain kamu. Justru Mama sama Papa akan lebih senang lihat kamu sama dia berjuang dan nggak hanya menikmati hasil aja kan. Terus nanti kamu belajar masak juga dong, jangan cuman dandan aja,” usul papanya.
Lara terlihat senang mendapatkan persetujuan dari orang tuanya tentang Ben yang berusaha untuk mewujudkan harapan sendiri punya rumah dan bisa tinggal bersama keluarga kecilnya nanti.
Lara duduk di sofa dan sempat dikirimkan foto tadi oleh Ben. “Ma, rumahnya yang ini,” kata Lara memberikan gambar itu kepada orang tuanya yang terlihat cukup sederhana namun masih terlihat lusa. “Nggak apa-apa yang ini, kan?”
“Ra, kamu yakin itu rumahnya?” tanya papanya. Lara sudah bisa memastikan jika orang tuanya akan menanyakan tentang rumah itu kepadanya.
“Yakin kok, Pa,”
“Terima apa pun pekerjaan, Ben. yang penting dia tanggung jawab sama kamu. Papa cuman ngeraguin kamu yang nggak bisa terima nanti, karena dilihat dari yang sekarang ini, rumah yang akan dibeli oleh Ben lebih kecil dibandingkan rumah ini. Dan juga kamu bakalan jadi ibu rumah tangga nantinya, Ra. Jangan sampai kamu manja kayak di rumah kalau udah nikah, ya meskipun setahun lagi kan. Tapi tetap aja Papa pengin kamu mandiri, belajar masak, nyuci juga jangan lupa. Mau sesibuk apa pun kamu, jangan tinggalkan pekerjaan rumah. Karena suami itu akan betah di rumah saat istrinya bisa melakukan apa pun sendiri. bukan berarti nggak bisa bayar asisten. Tapi memang kan kalau istri cerdas, mau beli apa pun pasti suami nurutin,”
Kedua orang tuanya sangat mendukung ketika Lara sudah mulai berani memperkenalkan pria itu sebagai pacarnya dulu. Sekarang hubungan keduanya juga sudah mendapatkan lampu hijau dari orang tuanya Lara yang penting Ben bertanggung jawab. “Ya udah sana kamu masuk kamar aja! Daripada kamu dengerin omongan Papa kamu ya. Yang nantinya bisa bikin kamu malas atau bahkan nggak bisa tidur,”
Lara menggeleng mendengar ocehan mamanya ketika papanya mengatakan jika Lara harus tetap berusaha sendiri.
Sampai keesokan harinya.
Lara sudah izin terlebih dahulu pada orang tuanya jika dia akan pergi bersama dengan Ben pulang dari kampus.
Pria itu menepati janjinya untuk menjemput Lara di kampusnya dan mengajaknya menonton. “Ra, mampir?” tawar Ben ke apartemen.
“Boleh deh,” kata Lara yang sebenarnya sudah menahan pipisnya sedari tadi.
Di kamar apartemen Ben sudah menunggu Lara di sana. “Ben, aku pulang,” kata Lara mengambil tasnya.
“Bentar sayang,” Ben memeluknya dari belakang lalu mencium lehernya.
Lara mencoba melepaskannya. “Ben, nggak bisa kita libur?”
“Nggak, pengen sayang. Aku udah beli pengaman,”
Lara berbalik menatap mata pria itu yang dengan raut wajah memelas. “Jangan lama-lama ya! Setelah itu kita langsung pulang. Aku juga ada tugas,” kata Lara dengan jelas.
Sampai hubungan intim itu terjadi lagi.