Masakan ibu memang benar-benar lezat. Tak kalah dengan masakan di restoran termahal sekalipun. Wajar jika mereka tampak bersemangat menyantap hidangan.
“Enak, Bu,” lirih Bono tersipu.
Ibu tersenyum, meminta Darwin dan Bono agar menghabiskan makanan yang disediakan tanpa merasa sungkan. Kalimat itu tak henti beliau ucapkan agar kedua teman Fariq tak memendam selera.
Darwin ingin mengambil nasi untuk tambah, mengikuti jejak Bono, tapi malu. Terpaksa menahan diri. Menyudahi sarapan dengan mencuci tangan pada mangkuk kecil berisi air yang telah disediakan.
Usai sarapan, tiga anak muda itu meninggalkan rumah besar setelah ketiganya mempersembahkan cium tangan pada Bu Nani.
Bono sempat menyambar dua bungkus tapai yang tergeletak begitu saja di piring atas meja makan. Dimasukkannya ke tas. Katanya untuk bekal.
Ketiganya melambaikan tangan pada ibu saat roda motor merangkak meninggalkan halaman rumah. Fariq sendirian.
Darwin dan Bono berboncengan. Dengan semangat yang mengembang di dadaa, ketiganya menelusuri jalan berliku menuju sekolah yang terletak di pusat kota.
Fariq tampak optimis meski dinginnya embun menyapu kulit, itulah yang selalu dibangun untuk menjelajahi setiap jejak kehidupan.
Motor beriringan. Sesekali mereka tertawa bersamaan ditengah obrolan santai.
Ternyata embun tak berhenti mengincar. Membuat gigi gemeletukan. Dingin bertambah parah akibat bercampur dengan angin. Terpaksa mereka memperlambat kecepatan.
Fariq lupa mengenakan switer. Lupa meminjamkan jaket pada kedua temannya yang kini memucat dengan bibir biru. Mereka tak terbiasa dengan kondisi dingin yang menjadi ciri khas kampung Damai. Kampung yang hijau dan asri.
***
Setelah menempuh perjalanan yang tak dekat, akhirnya Fariq, Darwin dan Bono sampai di sekolah. SMA N 1 atau sering disebut orang dengan sebutan Smansat.
Sekolah favorit yang banyak diminati orang. Karena memang kualitasnya bagus. Warga kampung Damai hanya ada beberapa orang saja yang sekolah di sana.
Mereka tiba lebih awal di sekolah. Keadaan masih lengang. Tersedia banyak tempat kosong untuk parkir.
Fariq dengan mudah memutar motor besarnya, memilih bagian sudut. Selalu begitu setiap hari. Paling pagi tiba di sekolah. Tapi bagi Darwin dan Bono, tidak. Mereka sering telat masuk sekolah.
Fariq melangkah melewati koridor. Darwin dan Bono mengikuti dengan tangan rangkulan. Memasuki kelas. Duduk di kursi masing-masing.
Ruang kelas masih sepi. Hanya dua orang saja yang sudah hadir dan mengisi kursi. Seorang siswi berkaca mata tebal duduk di kursi paling depan tepat di meja guru, sedang membaca. Rambutnya yang diikat dua bagai menara menghias kepala.
Seorang lagi, Alea. Gadis itu telah duluan duduk di kursinya. Ia asik menulis tanpa memperdulikan kedatangan Fariq yang posisinya duduk di sisinya.
“Serius amat?” goda Fariq bercanda. Menyenggol lengan tangan Alea dengan bahu.
Alea mendongak, menatap wajah ganteng itu, wajah yang telah lama dikaguminya. Namun yang dikagumi tak menyadari itu. Alea senang ketika Fariq duduk bersebelahan dengannya. Artinya ia memiliki cukup ruang dan waktu untuk lebih dekat menatap wajah tampan idolanya. Bukan hanya sekedar melihat dan mengagumi dari jauh.