Eps 04. Titah Mutlak

620 Kata
Ashel berusaha membuang jauh bayangan Fariz dari pelupuk matanya dengan mengalihkan ingatannya pada Arfan, suaminya yang telah meninggal dunia setahun silam. “Ndak ada pilihan lain, pokoknya harus menikah dengan dia!” tegas Winarto, Ayahnya Ashel, yang saat itu menjadi satu-satunya orang tua setelah ibunya meninggal. Logat Jawanya terdengar sangat kental. Beliau memerintah Ashel supaya bersedia menikah dengan Arfan, lelaki yang terkenal kesalihannya, rajin ke masjid, tekun beribadah, akhlaknya tidak diragukan lagi. Ashel juga tahu kalau Arfan adalah lelaki yang sopan dan bijak, tapi sayangnya sudah tua. Usianya memasuki angka empat puluh tahun. Dua kali lipat dari usia Ashel yang saat itu masih duduk di bangku kuliah. Yasalam? Masak sih Ashel yang semuda itu menikah dengan lelaki yang sepatutnya dipanggil Bapak olehnya? Ashel adalah satu-satunya putri Winarto setelah Putra pertamanya menikah dengan gadis yang juga dijodohkan dan kini putranya itu hidup di Bogor. “Ayahmu ini sudah tua. Ndak lama lagi meninggalkanmu,” ucap Winarto yang duduk di kursi dekat jendela, pandangannya menembus kaca bening. Ashel meletakkan segelas teh hangat ke meja. Tatapannya tertuju ke rambut Ayahnya yang telah dipenuhi uban. Sudut mata lelaki tua itu bahkan telah mengeriput. “Di usia senja begini, apa yang bisa Ayah harapkan kalau bukan melihat anaknya bahagia,” lanjut Winarto. Seperti biasa, nada bicaranya memaksa. Lalu ia menoleh ke wajah Ashel yang masam, menandakan kalau putrinya itu tidak menyukai perkataannya. “Asal kamu tahu, kebahagiaan itu datangnya bukan di dunia. Tapi di akhirat.” Winarto melanjutkan dengan intonasi tinggi. “Di akhiratlah kebahagiaan yang abadi. Jika kamu menikah dengan lelaki salih yang mengimaimu dengan penuh tanggung jawab, tentu Ayah tidak akan meragukan masa depanmu di akhirat. Ayah hanya ingin memastikan kamu berdampingan dengan lelaki yang akhlaknya baik. Arfanlah orangnya. Dia bukan hanya salih, tapi juga berasal dari keluarga terpandang. Masa depanmu dunia dan akhirat akan terjamin. Ayah pun tenang meninggalkanmu.” Ashel diam. Percuma membantah. Toh, ujung-ujungnya tetap perintah Ayahnya mutlak harus dipatuhi. Padahal Ashel masih ingin mengekspresikan cita-citanya seperti teman-teman seusianya yang bebas dalam menentukan langkah. Ia masih terlalu muda untuk menikah. Sedihnya, ia tiada berdaya untuk melawan. Sebab setelah ibu tiada, baginya ayah adalah segalanya. Ia tidak ingin mengecewakan ayah di ujung usianya. Tidak ingin membuat ayah terluka. Dan ia hanya bertopang pada kekuatan hati. “Lagi pula, ayahnya Arfan adalah teman karib Ayah,” lanjut Winarto dengan suara mengguntur. “Seluk-beluk keluarganya Ayah juga tahu. Mereka keturunan baik-baik. Yang paling penting, taat pada agama.” Winarto menyeruput teh. Dalam hati Ashel ingin berteriak, ‘Maaaak aku mau dikawinin sama perjaka tuaaa...’ “Trus gimana kalo aku nggak bisa menjalankan amanah sebagai istri karena timbul kebencian pada suamiku?” lirih Ashel dengan nada ketus. “Bahkan rumahtanggaku nantinya nggak akan menampilkan pemandangan surga. Apa bukan cuma dosa yang kudapatkan? Lalu apa surga itu bakalan aku dapetin?” Winarto mempertajam pandangan ke mata putrinya. “Ashel, cinta itu akan selalu ada jika kamu terus berusaha menebalkan iman pada Tuhanmu, memperkuat cintamu pada Tuhanmu. Jadi jangan khawatir soal itu. Yang terpenting imammu adalah lelaki berakhlak mulia. Memangnya kamu mau nikah sama lelaki begudal seperti Firman, pemuda yang kerjanya suka kumpul-kumpul setiap malam main domino? Atau si Lanang yang begajulan dan suka minum-minuman keras? Atau Darman yang hobi judi? Atau seperti suaminya Vina yang suka main perempuan? Atau Tohir yang suka main kasar sama istri? Itu yang Ayah takutkan.” Ingin sekali Ashel menjawab, tapi seindah apapun susunan kalimatnya untuk mengelak, sebijak apapun alasan untuk membantah, semua akan sia-sia. Winarto tetaplah Winarto yang memiliki sifat otoriter. Kemurkaan akan menjadi momok yang sangat menakutkan bila pendapatnya atau bahkan perintahnya dibantah. Dan benar saja, kalimat Winarto tidak bisa dielak lagi. Dalam pergulatan jiwa yang sulit, akhirnya Ashel pasrah menuruti kemauan Ayahnya. Menikah dengan Arfan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN