5. Permintaan Danira

1542 Kata
"Saya berangkat, kamu di rumah saja tidak usah ke kantor." Ucap Bara kala ia sudah rapi dengan pakaian kantornya. "Saya pulang ke rumah Mama saja." "Nggak usah, saya kasih kamu waktu buat istirahat di sini! Kalau kamu pulang yang ada malah momong anak, bukannya cepat sembuh malah tambah sakit karena kelelahan." Danira menghembuskan nafas lelah, dia akhirnya mengalah dan tak mau mendebat ucapan Bara. Di samping statusnya yang adalah suami Danira, Bara juga masih Bosnya. Laki-laki itu mempunyai kuasa penuh atas dirinya, apalagi jika dalam hari kerja seperti ini. "Kok diam, mau nurut nggak?" "Iya." "Bagus, saya berangkat." Danira terkejut saat merasakan tangan besar Bara mengusap kepalanya saat hendak keluar kamar. Namun sedetik kemudian Danira tersenyum miring. Dia tak akan tergoda oleh sentuhan tangan panas Bara. Tidak seperti seseorang yang menjadi salah satu wanita di masa lalu Bara. Hari ini Danira memutuskan untuk istirahat total di rumah. Ada Ratna yang akan memasak dan membersihkan rumah setelah pulang kuliah nanti. Seorang wanita setengah baya yang biasa rutin datang tiga kali seminggu untuk bersih-bersih di unitnya sedang pulang kampung. Bara tak ada di rumah selama dua hari, sudah cukup membuat dirinya lega. Tidak perlu ia berdebar saat melihat Bara menggandeng perempuan seksi ke kamarnya dan mengatakan jika dirinya adalah adik perempuan Bara. *** Danira memejamkan matanya kepalanya masih begitu sakit dan terasa berat. Dia pikir dua hari cukup untuk menyembuhkan tubuhnya dari sakit, tapi ternyata di hari ketiga dia belum juga bisa masuk kantor. Dan hari ini waktunya Bara pulang, bahkan ketukan suara sepatu Bara sudah terdengar akan masuk ke dalam kamar. "Kita ke rumah sakit aja, kamu harus opname." Bara lasngsung mengutarakan niatnya, dia pulang lebih cepat untuk membawa Danira kerumah sakit. Ratna semalam menghubunginya, memberitahu kondisi Danira yang tidak ada perubahan. "Nggak usah." "Jangan membantah Ra, kalau kamu sakit terlalu lama itu saya yang rugi. Saya melakukan ini bukan karena perhatian sama kamu, saya lelah bekerja sendirian, dan yang paling berat itu harus menahan hasrat di tubuh saya yang ingin segera di tuntaskan. Saya tidak bisa melakukannya di hotel atau tempat lain selalin di kamar itu, ngerti?" Danira menghembuskan nafas berat, dia juga tidak ingin di perhatikan oleh Bara. Seandainya ingin pergi ke rumah sakit, ia juga bisa melakukannya sendiri. Danira segera bangkit dari tempat tidur, pergi ke kamar mandi dan mencuci mukanya sebentar. Ia juga mengganti pakaian yang ia kenakan dengan yang sedikit lebih rapi. Sakit di tubuhnya membuat Danira malas merawat diri. Saat ia keluar dari kamar mandi Bara sudah siap dengan tas milik Danira di tangannya. "Sudah?" Danira mengangguk. "Bisa jalan sendiri sampai parkiran?" Danira kesal dengan Bara yang banyak tanya, apa dia tidak tahu jika tubuhnya sangat lemas di bawa berdiri terlalu lama seperti ini. Hal itu membuat Danira ingin sedikit mengerjai Bara. "Kaki saya lemes banget, kalau minta buat di gendong sampai parkiran bisa?" Bara menatap mata sayu Danira. "Bisa, sebentar saya telpon tukang parkirnya dulu." "Ck." Danira mendecakan lidahnya, lalu keluar dari kamar lebih dulu dengan Bara yang terdengar mengekor di belakangnya. Sampai di depan pintu utama Bara menahan lengannya, laki-laki itu tiba-tiba berjongkok di depan Danira. "Ayo cepat, saya cuma bercanda tadi." "Tidak usah." "Atau mau di gendong depan? Tapi lebih enak di belakang, kepalamu bisa nyender biar nggak pusing. Ayo cepat, saya itu sibuk kerjaan saya nggak cuma ngurusin kamu aja." Ucapan otoriter Bara membuat Danira akhirnya mau menuruti suaminya itu. Memang cukup nyaman di gendong sambil menyandarkan kepala di punggung lebar Bara seperti ini. Setelah sampai di rumah sakit dan melakukan pemeriksaan kembali ternyata Danira terkena tipes. Dan dengan itu dia harus di rawat di rumah sakit untuk beberapa hari ke depan. "Nanti saya suruh Mama sama Jani buat gantian jaga kamu di sini." "Nggak usah, jadi ngerepotin mereka. Kalau sata butuh sesuatu bisa kok minta tolong sama perawat," jawab Danira. "Itu kan udah jadi resiko Mama yang ngebet pengin punya menantu dan bawa masuk kamu jadi keluarga. Ya dia harus siap ngurusin kamu kalau lagi sakit gini atau kalau kamu lahiran dan punya anak nanti." Danira menatap wajah Bara yang tengah tertunduk sibuk dengan ponselnya. Sepertinya laki-laki itu tidak begitu menyadari ucapan yang keluar dari mulutnya. Mempuunyai anak bersama Bara? Danira tidak mempunyai bayangan seperti itu di kepalanya. "Saya mau pulang, Jani sudah jalan kesini." "Iya, terimakasih." Anjani Dian Aditama adalah satu-satunya adik dari Bara, gadis berusia sembilan belas tahun yang sangat laki-laki itu sayangi. Terkadang Danira tak habis pikir Bara sangat menyayangi dan menjaga adiknya, tetapi laki-laki itu justru senang melakukan hal seperti itu pada wanita-wanitanya. Apa laki-laki itu tidak takut jika karma yang dia lakukan terjadi pada adik perempuannya? Tapi Danira berharap itu tidak terjadi, Jani anak baik-baik, tidak seperti Bara yang mempunyai kehidupan terlalu bebas di luar rumah. Jani itu termasuk gadis rumahan yang jika pergi kemana-mana madih harus di temani Ibunya. Jani bahkan sudah dekat dengannya sebelum Bara menikahinya, beberapa kali ia juga di minta Ibu mertuanya untuk menemani Jani bepergian, di luar jam kerjanya di kantor. "Mbak?" "Heum?" "Aku mau tanya sesuatu boleh? Tapi ini masalah pribadi banget, dan jangan bilang-bilang ke Mas Bara ya." Ucap Jani pada kakak iparnya. "Mau tanya apa?" "Rasanya nikah itu kayak gimana sih Mbak?" Danira tak langsung menjawab. Dia bingung mau menjawab seperti apa, pernikahannya jelas bukan pernikahan pada umumnya yang bisa menjadi tolak ukur standar sebuah hubungan pernikahan. "Tergantung bagaimana pernikahan itu terjadi Jan, kalau di awali dengan hubungan saling mencintai mungkin akan membahagiakan dan terasa menyenangkan." "Mbak Danira nggak bahagia ya nikah sama Mas Bara?" tanya Jani dengan tatap mata kasihan pada Kakak iparnya. "Loh kok jadi ke Mbak si Jan?" "Hehehee..., maaf Mbak. Tapi menurutku alasan Mama menikahkan kalian itu ya merugikanmu Mbak. Jadi presentase untuk Mbak bahagia sama pernikahan itu menurutku sangatlah kecil." "Ck, balik ke pertanyaanmu aja deh, kenapa nanya begitu?" "Ada yang ngajakin aku nikah Mbak." "Pacar kamu?" "Bukan." "Siapa?" "Dosenku." "Kok bisa?" "Dia naksir gue Mbak, tapi gue nggak mau pacaran. Kan nggak di bolehin sama Mama dan Mas Bara. Menurut Mbak Danira aku harus gimana, tolong pencerahannya dong, aku terima apa jangan?" tanya Jani menuntut jawab. "Apa kamu juga suka dia Jan?" "Heumm, selain karena kebutuhan, mungkin bisa do bilang gue suka dia juga." "Kebutuhan apa Jan?" tanya Danira takut, kalau-kalau kebutuhan yang Jani maksud mengarah ke hal yang berbau negatif. "Bantuin kerjain tugas yang kadang seabrek Mbak, lumayan banget dia bisa bantu meringankan." "Oh." "Cuma ya itu Mbak, dia malah jadi baper dan malah ngajakin nikah, karena gue nolak di ajak pacaran. Gue harus gimana Mbak? Gue nggak berani ngomongin ini me Mama, takut dia kecewa." Ucap Jani memelas. "Kalau saranku jangan menikah di usia yang terlalu muda Jan, karena perempuan setelah menikah apalagi punya anak, sudah tidak bisa lagi mundur dalam keadaan apapun. Nggak boleh ada kata lelah dan menyerah bagi seorang Ibu. Nikmati dulu masa mudamu, kalau laki-laki itu benar-benar mencintaimu bukan hanya sekedar nafsu dia pasti mau menunggumu sampai siap." "Begitu ya Mbak?" "Kamu jangan pernah memberi hati dan cintamu seratus persen ke seseorang Jan, sisakan lebih banyak ruang untuk diri sendiri, supaya jika kita kehilangan dengan alasan apapun tidak terasa begitu menyakitkan. Kamu juga harus siap kakau ternyata lelaki itu lebih memilih menyerah dari pada menunggu. Kamu masih muda, laki-laki yang baik di lyar sana itu masih banyak." Jawab Danira panjang lebar. Dia memang tidak begitu mengenal yang namanya cinta, tetapi pengalaman hidup seseorang sudah cukup memberinya pelajaran tentang hal itu. "Oke, terimakasih banget atas pencerahannya ya Mbak, sekarang gue bisa tenang dan nggak perlu bimbang lagi buat kasih jawaban ke dia." Ucap Jani sembari memeluk erat tubuh Danira. "Ya udah sana pulang!" Dua wanita itu kompak menengok ke asal suara, dia melihat tubuh menjulang Bara berdiri di belakang Jani. Mereka berdua tak menyadari kedatangan laki-laki itu karena suara televisi yang Jani nyalakan dan mereka yang tengah berbicara serius. "Enak aja main usir, tadi yang maksa-maksa buat datang ke sini siapa?" tanya Jani tak terima. "Mama kan? Kan gue suruh Mama yang datang tapi lagi nggak bisa makanya beliau nyuruh kamu." "Sama aja. Mana?" Ucap Jani sambil mengulurkan tangannya. "Apanya?" "Bayarannya lah Mas, apalagi?" "Ck, nggak ada." "Nanti Mbak yang transfer Jan. Makasih ya waktunya," sela Danira. "Hehehee, makasih ya Mbak kalau gitu Jani pulang dulu." Ucap Jani sambil menyalami tangan kakak iparnya sebelum keluar ruangan. Bara merebut ponsel yang Danira pegang hendak mentransfer uang untuk Anjani. "Tidak usah Ra, nanti saya saja yang kirim dia uang." "Nggak apa-apa, takutnya kamu bohong kasihan dia udah nunggu saya seharian di sini. Lagian kenapa tadi bilang nggak ada? Jangan pelit-pelit sama adik sendiri, giliran sama adik orang aja kamu kasih banyak uang." Bara mendengus, adik orang yang Danira maksud tentulah wanita-wanita yang biasa menghangatkan ranjangnya. Dia yang sedikit tersinggung langsung mengambil ponsel di saku celananya dan mentransfer sejumlah uang kemudian menunjukkan bukti transfer itu pada Danira. "Adik orang yang kamu maksud itu nggak saya beri uang secara cuma-cuma Ra, mereka saya beri uang karena sudah lelah bekerja sama saya. Makanya kamu cepat sembuh biar mereka bisa kerja lagi." Danira menatap dalam mata Bara. "Apa seandainya saya minta kamu tidak melakukan hal itu di rumah, atau paling tidak secara tertutup, apa kamu bisa menurutinya?" tanya Danira dengan tatap mata penuh harap. "Nggak bisa." Danira hanya bisa menghembuskan nafas lelah. Bara tetaplah Bara, pria dengan segudang nafsu yang terlihat begitu panas membara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN