Ponsel milik Danira terus saja berbunyi kala wanita itu tengah berada di dalam kamar mandi karena merasa perutnya mulas sehabis memakan jatah makan malamnya dari rumah sakit.
Bara yang melihat nama Zio tertera di sana melakukan panggilan video call pada ponsel Danira hanya melirik benda itu sekilas. Namun suara yang tak kunjung berhenti itu tak urung mengganggu konsentrasinya yang sedang melanjutkan pekerjaan yang belum selesai saat ia berada di kantor tadi.
Bara meraih ponsel kemudian menolak panggilan itu. Dia lalu menghubungi balik nomor tersebut, namun dengan telepon biasa tanpa harus memperlihatkan wajahnya.
"Halo."
"Halo..., Mama ada?" terdengar suara girang seorang anak kecil di ujung telepon.
Suara asing itu langsung memasuki telinga Bara. Dia tak langsung menjawabnya, Bara heran mengapa suara anak kecil ini membuat jantungnya tiba-tiba berdebar? Apa karena ia tidak menyukainya dan harus berbicara dengannya saat ini?
"Ha...halo.... Apa ini Papa? Mama ada?"
"Mama lagi di kamar mandi, nanti kalau sudah selesai saya suruh menghubungi kamu lagi."
"Oohh, terus apa ini Pap...."
Belum selesai Zio mengucapkan sesuatu Bara sudah memutus panggilannya secara sepihak. Dirinya memang tidak menyukai segala keributan anak-anak yang terlalu banyak bertanya.
Tidak lama kemudian terlihat Danira yang keluar dari kamar mandi sambil memegangi perutnya.
"Masih sakit? Apa perlu saya panggilkan dokter?" tanya Bara tanpa memalingkan perhatiannya pada layar laptop di depannya.
"Tifak usah, di bawa tidur aja biasanya mendingan."
"Anakmu tadi telepon."
"Kamu angkat?"
"Heum, kamu telpon balik sana, saya sudah terlanjur bilang kamu mau menelepon dia balik."
Tanpa menjawab lagi ucapan Bara, Danira segera meraih ponsel dan melakukan panggilan terhadap puteranya.
"Halo Zio."
"Ini Mama Ra."
"Loh Zio ke mana Ma? Tadi katanya dia telepon aku."
"Iya, tapi sekarang dia lagi ngambek. Ra, apa sekarang kamu lagi sama Bara?" tanya sang Ibu.
"Iya Ma, kenapa?"
"Zio nangis, tadi katanya Bara yang angkat telepon. Tapi di matiin gitu aja waktu Zio mau ngomong."
Danira menatap Bara yang tengah sibuk dengan pekerjaannya.
"Terus sekarang Zio mana Ma, Danira mau ngomong."
Dari seberang sana Danira mendengar sang Ibu yang tengah membujuk Zio yang terdengar sedang menangis.
"Dia nggak mau ngomong Ra. Zio bilang dia kepengin ngobrol sebentar sama Papanya. Apa kamu bisa bujukin Bara buat ngobrol sebentar aja sama Zio nak? Ibu nggak tega lihat dia nangis begitu."
Danira menghembuskan nafas berat.
"Ya sudah sebentar Ma, teleponnya Danira tutup dulu ya."
Danira menutup panggilan di ponselnya kemudian menghampiri Bara.
"Pak, saya bisa minta tolong kamu buat ngobrol sebentar saja sama Zio di telepon?"
Bara mendongakkan kepala menatap wajah Danira, lalu meketakan kaca mata bacanya ke atas kepala.
"Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil Pak kalau di luar kantor Ra! Saya tidak setua itu. Apa kamu nggak merasa aneh sama panggilan "Pak", tapi pakai kata "kamu" itu? Panggil Mas aja kayak kemarin waktu ada Ratna di rumah," protes Bara.
"Tapi panggilan itu terdengar terlalu in...."
"Terlalu intim? Nggak kok Ra, wanita yang biasa berhubungan intim saya saya nggak pernah ada yang boleh panggil saya seperti itu. Mereka semua biasa panggil nama."
"Saya nggak peduli dengan panggilan wanita-wanita kamu, tolong kamu bicara sebentar sama Zio Mas? Dia nangis pengin ngobrol sebentar sama kamu."
"Nggak Ra, dari awal saya sudah menekankan, kalau di pernikahan kita kamu nggak akan menuntut supaya saya menjadi sosok ayah buat anak kamu, apa kamu lupa?" Jawab Bara tegas.
"Tapi ini sekedar kamu dengerin dia ngomong sebentar, apa susahnya?" tanya Danira kesal.
"Dia itu pengin ngobrol sama Ayahnya Ra, bukan sama saya. Jadi mulai saat ini stop membuat anak kamu berpikir saya adalah ayahnya. Ingat Ra, dia anak kamu bukan anak saya!"
Tangan Danira mengepal kuat, ingin sekali ia membalikkan kata-kata itu pada Bara. Seandainya ia tak takut jika laki-laki itu akan menertawakannya, karena di anggap gila, dia pasti akan berteriak keras mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Tentang siapa sebenarnya Zio.
Ya, Zio adalah anak dari Bara, tapi bukan dengannya melainkan Diana sang Kakak, hasil dari hubungan pergaulan bebas kedua orang itu yang berlebihan. Diana kini sudah tiada, meninggalkan Zio dan segudang wasiat untuk Danira. Sebuah wasiat yang terucap dari bibir sang Kakak sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya.
Mereka memang belum pernah melakukan tes DNA untuk membuktikannya, tapi Danira yakin Zio adalah darah daging Bara. Mereka berdua memiliki kemiripan dari segi wajah. Namun mengingat Diana pernah mengatakan bahwa Bara tidak mau mengakui kehamilan yang terjadi adalah karena laki-laki itu, Danira tidak mau mengecewakan perasaan Zio jika itu terjadi kembali.
Danira akan menepati janjinya pada sang Kakak, dia akan menghadirkan Ayah kandung Zio di hidup anak yang tak bersalah itu, dengan atau tanpa pengakuan dari Bara. Walaupun semua itu sesungguhnya berat untuk ia jalani. Dia harus mengorbankan hidup dan masa depannya dengan hidup bersama laki-laki yang tak mungkin bisa ia cintai dengan segudang reputasi buruknya itu.
Tidak hanya Danira yang merasa berat dengan pernikahan ini orang tuanya juga, ayahnya sempat menolak keras ide Danira itu. Tapi ini adalah satu-satunya jalan terbaik untuk mereka. Selain nanti Zio akan mendapatkan kasih sayang dari Ayah kandungnya, mereka juga tak perlu berpisah dari anak itu seandainya Bara sudah mau mengakuinya. Mereka tidak siap jika harus berpisah dari anak yang sudah mereka rawat dan sayangi sedari lahir, terutama Danira.
Danira lalu mengusap air matanya kasar. Zio itu sudah mulai besar, dia tahu bahwa di dalam sebuah keluarga itu ada sosok Ayah dan Ibu. Sampai kapan Danira hanya bisa menjanjikan sosok itu suatu hari akan memeluk dan merangkulnya?
Tanpa banyak kata Danira segera mengemasi barang-barangnya. Apa bedanya pulang malam ini atau besok pagi? Badannya sudah terasa membaik saat ini.
"Kamu mau kemana?" tanya Bara begitu melihat Danira keluar dari kamar mandi dan sudah berganti pakaian.
"Saya mau pulang ke rumah Mama."
"Besok pagi Ra!"
"Zio butuh saya sekarang bukan besok."
"Kalau dia butuh sosok Ayah, kamu temukan dia sama Ayah kandungnya Ra, saya tidak masalah. Ayahnya masih hidup kan?" tanya Bara terdengar lancang di telinga Danira.
Danira menatap dalam mata Bara dengan api amarah yang menyala.
"Dia masih hidup, saya juga sedang berusaha mempertemukan dia dengan Ayah kandungnya. Tapi melihat seperti apa reaksinya terhadap Zio, saya ragu kalau dia mau mengakuinya dengan mudah. Saya hanya akan mengizinkan laki-laki b******k itu bertemu dengan Zio kalau dia sudah bisa dengan tulus mau menyayanginya. Bahkan sebelum dia tahu bahwa Zio adalah anaknya."
Danira sudah akan keluar kamar saat tiba-tiba Bara berkata...
"Telepon dia lagi, biar saya yang bicara."
"Tidak usah."
"Ra!"
"Saya sudah tersinggung dengan ucapan kamu tadi. Kamu nggak akan ngerti bagaimana nelangsanya hati seorang Ibu saat anaknya tengah sakit keras dan menanyakan di mana Ayahnya berada, mau saya katakan dia sudah meninggal, tapi kenyataannya dia masih hidup dan bernafas." Ucap Danira dengan mata berkaca-kaca.
Dua tahun lalu saat Zio baru berusia satu tahun lebih, dia pernah mengalami sakit keras dan yang membuat hati Danira begitu terenyuh adalah, kata-kata yang keluar dari bibir itu adalah "Papa", padahal sebelumnya Zio tak pernah mengucapkan kalimat itu apalagi dengan cara bicaranya yang masih belum jelas.
Hal itulah yang membuat Danira memutuskan untuk bekerja di kantor Bara, dan mengenal siapa laki-laki yang menjadi Ayah dari Zio, sampai pada saat dia menginginkan lelaki itu menikahinya demi masa depan Zio, anak itu harus sudah mendapat pengakuan dari Bara setidaknya saat dia hendak masuk sekolah nanti. Dan setelah itu, tidak apa-apa jika ia berpisah dan meninggalkan Bara untuk melanjutkan hidup seperti yang dia inginkan, asal Bara tetap mengizinkan Zio tinggal bersama dia dan orang tuanya.
"Kenapa kalian tidak menikah saja dulu waktu tahu kamu hamil?" tanya Bara bodoh.
"Kamu kira semua laki-laki mau bertanggung jawab dan mengakui kesalahannya? Tidak. Dia tidak mengakui yang ada dalam kandungan saat itu adalah anaknya. Menyebalkan bukan?"
Bara terdiam, mengapa perasaannya tidak enak? Ucapan Danira tepat mengenai hatinya.