4. Sakit

1602 Kata
Bara dan Danira makan malam dalam diam. Meski rasanya makanan itu tak bisa lancar melewati tenggorokan Danira karena hatinya yang terasa dongkol. Danira menghentikan makannya kala ia bersin berkali-kali. Dua puluh menit mengguyur tubuhnya di bawah kucuran air dingin ternyata mampu membuat hidungnya tersumbat dengan kepala yang mulai terasa berdenyut sakit. Setelah ia lelah menangis karena pintu yang tak bisa di buka, akhirnya Danira pergi ke kamar mandi lagi dan mengguyur tubuhnya. Dirinya baru keluar dari sana dua puluh menit kemudian saat Bara sudah membuka pintu kamarnya dan terdengar mengetuk pintu kamar mandinya dari luar. Bara hanya menatap wajah Danira tanpa berkata apapun. Setelah selesai makan malam mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Bara yang sibuk dengan laptopnya dan Danira yang beranjak ke ruang tengah dan menyalakan televisi. Sebenarnya ia sedang tak berniat menonton televisi, namun entah mengapa ia sedang malas berdekatan dengan Bara. Danira bahkan sudah membawa selimut, dia berencana akan tidur di sana saja. Tubuhnya terasa dingin dan nyeri di bagian persendiannya. Dengan tidur meringkuk seperti ini di sofa terasa lumayan menghangatkan tubuhnya. Ia memejamkan mata hingga akhirnya rasa kantuk menyerang dan membuatnya tertidur lelap. Bara melepas kaca mata bacanya, lalu melirik jam di kamarnya. Sudah jam sebelas malam. Tapi Danira tak kunjung masuk ke dalam kamar. Ia lalu menyugar rambutnya kemudian berjalan keluar kamar, berniat menyuruh Danira segera masuk dan tidur. Besok ada rapat pagi yang harus mereka datangi untuk menginstruksikan karyawan lain tentang rencana pembangunan sekolah itu. Bara menghembuskan nafas berat melihat Danira yang sudah tidur meringkuk di sofa dengan televisi di depannya yang masih menyala. Dia lalu mencoba membangunkannya dengan mengguncang tubuhnya pelan. "Bangun Ra, pindah ke kamar." Karena Danira tak kunjung bangun, Bara menarik selimut yang menutupi seluruh tubuh Danira. Tubuh Danira yang tiba-tiba menggigil mengejutkan Bara. "Danira! Kamu sakit?" Bara segera mengecek suhu tubuh Danira dengan menempelkan telapak tangannya di atas kening wanita itu. "Ck, kenapa tidak bilang kalau lagi sakit." Tanpa bertanya lagi Bara segera membopong tubuh Danira dan memindahkannya ke kamar. "Bangun dulu sebentar Ra, minum obat." Bara memang selalu menyediakan obat ringan di rumahnya seperti penurun panas dan pereda nyeri. "Ra...." "Eunghh." Dengan malas Danira membuka matanya, duduk dan menerima satu tablet obat dan air putih yang Bara ambilkan untuknya. "Terimakasih." "Apa perlu saya kompres tubuhmu pakai air hangat?" tanya Bara sedikit ragu. "Tidaak usah." Meskipun Danira mengatakan dia tidak perlu melakukannya, Bara tetap memberi kompresan pada kening isterinya itu ketika sudah tertidur lelap. Sebisa mungkin Danira tidak boleh sakit terlalu lama, dia membutuhkan tenaga dan pikiran Danira untuk membantu melakukan pekerjaannya. Atau mungkin juga untuk makanannya, Bara bahkan tak nafsu makan saat Danira tak ada di rumah kemarin. Entah kenapa, dia juga bingung. *** Pagi harinya ketika Bara bangun Danira sudah tak ada di sampingnya. Di kamar mandi pun ia tak mendengar ada aktivitas seseorang di dalamnya. Bara keluar dari kamar dan memeriksa ke mana perginya wanita itu. Matanya terpaku melihat Danira yang tengah sibuk di dapur. Rutinitas pagi Danira sejak tinggal bersamanya. Tapi apa dia sudah sembuh dari sakitnya? Bara kembali ke kamar setelah memastikan Danira baik-baik saja. Dia bukan seorang suami yang menikah atas dasar cinta dan kemauannya. Jangan harap ada adegan mesra dia memeluk Danira dari belakang saat seorang istri sedang membuat sarapan pagi di dapur, seperti adegan di film romantis. Bara keluar kamar saat ia sudah rapi dengan pakaian kantornya. Sementara Danira masuk hendak mandi dan bersiap-siap. Tidak ada tegur sapa di antara keduanya. Entah mengapa Bara masih kesal tentang perdebatannya kemarin yang di sebabkan si Ivan b******k. "Kamu mau tetap berangkat ke kantor Ra?" tanya Bara akhirnya setelah melihat Danira berpakaian rapi dan ikut duduk sarapan pagi. "Iya, itu sudah jadi tugas saya sebagai karyawan kantor yang baik. Tidak memerlukan banyak alasan untuk tidak masuk kerja." "Tapi saya juga tidak menyukai karyawan yang tetap masuk tapi dengan kondisi yang tidak bisa bekerja secara maksimal," jawab Bara. "Saya berjanji akan bekerja dengan maksimal dan baik-baik saja selama meeting nanti." "Bukan karena pengin ketemu sama Pak Ivan lagi?" tanya Bara kesal. Danira tidak menjawab pertanyaan tidak penting Bara. Dia tidak akan menggunakan stok tenaganya yang tidak banyak untuk mendebatkan sesuatu yang tak ada gunanya. "Berangkat sama saya!" Danira meletakan kembali kunci mobil pada tempatnya, tak ada ruginya juga ia ikut mobil Bara ke kantor. Justru dengan begitu ia bisa mengirit tenaganya. Danira tidak berbohong dia bisa mengikuti meeting dengan baik, menyampaikan apa yang menjadi gagasannya. Jujur, sebagai seorang atasan Bara kagum dengan pekerjaan dan daya pikir Danira di usia yang bisa terbilang masih sangat muda dan belum banyak pengalaman dari perusahaan lain. Ibunya memang tidak salah jika mempercayakan Danira untuk membantu dirinya memimpin perusahaan karena dia adalah isteri juga sekertarisnya. Tubuh Danira ambruk kala semua orang di ruangan itu keluar, termasuk Pak Ivan yang tak hentinya menatap lapar tubuh Danira sepanjang meeting berjalan. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit. Bara yang melihatnya hanya bisa menghembuskan nafas lelah. "Saya antar kamu pulang, tapi sebelum itu kita ke dokter dulu. Bisa jalan nggak?" Danira mengangguk, jika hanya berjalan sampai parkiran, walau berat ia masih mampu. Beruntungnya setelah menjalani pemeriksaan Danira hanya mengalami sakit biasa, yaitu gejala flu dan lambung akibat sering telat makan. Jika di pikir-pikir itu salah Bara juga yang sering mengulur waktu makan malam mereka karena kegiatannya. "Obatnya di minum, saya mau balik ke kantor lagi." Danira mengangguk. Dia bukan anak kecil yang susah minum obat di kala sakit. *** Danira tertidur nyenyak setelah minum obatnya. Dia baru bangun setelah hari gelap. Telinganya mendengar ada suara orang mengobrol di luar kamarnya. Apa Bara membawa perempuan lagi untuk dia tiduri? Tapi baru semalam dia melakukannya. Setahu dia Bara belum pernah melakukan hal itu dalam dua malam berturut-turut. Karena penasaran Danira turun dari tempat tidur, melangkah menuju pintu untuk keluar kamar meski kepalanya masih terasa sakit dan berat. Benar saja, di sana ia melihat Bara yang tengah berbicara dengan seorang wanita. Danira kembali ke kamar, ia tak mau ada urusan dengan wanita-wanita Bara, walaupun jika ia boleh meminta Bara jangan melakukan itu di sini. Ia ingin istirahat tanpa suara-suara haram terdengar di telinganya. "Ra, keluar dulu, makan. " Ucap Bara begitu lelaki itu masuk ke dalam kamar dan mengambil pakaian ganti untuk mandi. Danira menernyitkan kening tak biasanya Bara mandi terlebih dahulu sebelum beraksi. Ia tak langsung ke luar kamar untuk makan. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan pada Bara. Sambil menunggu Bara selesai mandi, Danira kembali berbaring di atas tempat tidur. Tubuhnya masih sangat lemas kendati suhu tubuhnya sudah mulai normal. "Kok masih di sini?" tanya Bara, begitu melihat Danira kembali bergelung dalam selimut. "Ada yang mau saya bicarakan." "Apa?" "Saya mohon jangan lakukan itu di sini, untuk sementara kamu cari hotel dulu. Paling nggak sampai aku sembuh." "Ngomong apa sih kamu Ra?" "Jangan kasih aku tontonan m***m kamu dulu, aku pengin istirahat dengan tenang." Bara terlihat mengernyit bingung. "Saya nggak lagi pengin begituan, tenang aja." "Terus perempuan tadi, siapa?" "Oh itu Ratna, kamu sudah ngintip ternyata. Dia itu anaknya Bik Sumi asisten rumah tangganya Mama, seumuran sama Jani. Dan dia saya ajak kesini buat nemenin kamu biar nggak sendirian. Saya harus pergi buat tinjau lokasi di Jawa tengah, kamu tidak usah ikut." "Oh, kirain." "Apa kamu kira selera saya sudah anjlok serendah itu Ra, saya tidak akan meniduri wanita baik-baik." Ucap Bara menjelaskan. "Terimakasih." "Untuk?" "Kamu nggak nidurin saya, berarti saya terlihat sebagai wanita baik-baik di mata kamu." "Saya hanya akan meniduri kamu kalau kamu yang datang dan menawarkan diri Ra." "Jangan harap." Bara mencekal lengan Danira kala ia hendak keluar dari kamar. "Lalu apa tujuan kamu mau menikah sama saya, kalau tidak ingin saya tiduri?" "Karena kamu Bos, kaya, banyak uang." Bara mendengus. "Saya nggak bodoh Ra, laporan keuangan di rekening yang kamu pegang tidak bisa membuktikan ucapan kamu itu benar. Saya tidak percaya. Bahkan kalau di hitung-hitung kamu hanya menggunakan uangnya untuk membeli makanan yang saya konsumsi aja." Ucap Bara dengan tatapan tajam. "Terserah, mau percaya atau tidak itu sudah bukan urusan saya. Bukannya seharusnya sebagai suami kamu bangga punya isteri yang tidak boros?" elak Danira. "Lalu kenapa kamu tertarik sama penawaran Pak Ivan kalau uang dari saya saja tidak kamu pakai?" "Saya tidak tertarik, hanya mengatakan penawarannya menarik dan menggiurkan bukan berarti saya mau." "Ck, benar-benar kamu ya. Buang-buang energi saya saja." Ucap Bara yang kemudian pergi lebih dulu dari kamar dan meninggalkan Danira. "Ratna, kamu ikut makan di sini saja sama kita." Ucap Danira pada seorang remaja perempuan berusia sembilan belas tahun yang hendak kembali ke dapur setelah menyajikan makanan untuknya. "Nggak usah Mbak, saya kembali ke belakang aja." "Jangan Na, kamu itu saya suruh ke sini buat temenin istri saya, bukan jadi pembantu. Maaf kalau untuk kamar memang hanya kamar belakang ya bisa di tempati." "Tapi Mas...." "Kamu itu sudah saya anggap sama seperti Jani, nggak usah sungkan-sungkan. Kamu memang anak Bik Sumi, tetapi saya tidak ingin kamu menjadi penerus beliau, lowongan pekerjaan di kantor saya banyak. Yang penting kamu sekolah aja dulu yang bener, nggak usah tergoda sama laki-laki dan pacaran melulu kayak Jani." "I...iya, tapi Jani juga nggak punya pacar kok Mas." "Ck, nggak usah ngelindungin dia terus kamu Na." "Tapi emang bener kok Mas!" Sangkal Ratna sambil mulai mengambil makanan ke piringnya. "Terus yang suka antar jemput dia kuliah siapa?" "Dosen." "Kok, kurang kerjaan banget dosennya?" tanya Bara heran. "Saya titip jaga dia ya Na, jangan sampai dia di manfaatkan sama laki-laki itu." "Di manfaatkan gimana ya Mas? Soalnya yang suka memanfaatkan beliau malah Jani." "Ck, intinya jangan sampai Jani melakukan hubungan dewasa yang terlarang sama laki-laki itu Na." "Oh, kayak kamu gitu Mas?" Bara menoleh ke arah Danira yang sejak tadi anteng memakan makanannya. Ya, yang mengatakan itu Danira bukan Ratna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN