BAB 8

1418 Kata
Waktunya makan siang, Hazanah membantu Iloh menata makanan di atas meja, sedangkan Hazanah sejak tadi melihat jam di dinding, siang menunjukkan pukul 1. "Iloh, kamu bisa melanjutkannya, saya shalat dulu, sudah waktunya Dzuhur. Jika, semua sudah siap, panggil semuanya untuk makan." tutur Hazanah. "Baik, Non." jawab Iloh. Hazanah berjalan meninggalkan Iloh yang sedang menata makanan di atas meja. Masakan Hazanah terlihat sangat menarik dan wanginya pun menggoda. Hazanah memutar gagang pintu dan masuk ke kamar, Hazanah melihat sang suami sedang terlelap. Hazanah memilih tak mengganggunya, karena harus menunaikan shalat terlebih dahulu. "Makanan sudah siap, Iloh?" tanya Rahayu. "Sudah, Nya," "Hazanah mana?" "Non Hazanah katanya shalat dulu, Nya," jawab Iloh. "Baiklah, siapkan kue yang di bawa Hazanah dari Jakarta dan tata di ruang keluarga." perintah Yuna. "Yun, bagaimana kakakmu?" tanya Rahayu. "Katanya dia ada pekerjaan." "Jadi, dia tidak pulang makan siang?" "Katanya sih, tadi akan kembali sebelum makan siang." Rafiz mengucek matanya dan melihat jam di atas nakas, Rafiz bangun dari pembaringannya dan melihat Hazanah sedang bersimpuh memohon doa, Rafiz begitu heran karena Hazanah tumben tidak mengajaknya. Hazanah berbalik dan melihat sang suami sedang menatapnya. "Ada apa, Mas?" tanya Hazanah. "Tidak apa-apa." "Ayo, Mas, kita turun makan siang." "Aku boleh bertanya?" tanya Rafiz. Membuat Hazanah berbalik menatap sang suami, Hazanah heran, tumben Rafiz mau bertanya padanya. "Silahkan, Mas, kamu bisa tanya apa saja dan aku akan menjawab dengan jujur." "Kamu mengenal Rande?" "Mas Rande?" "Iya." "Hmm... Aku mengenalnya, Mas, kebetulan Mas Rande adalah salah satu perwakilan mahasiswa kedokteran yang datang dari Jakarta, kami sudah saling mengenal sejak lama, tapi baru hari ini kami bertemu kembali." "Jadi, maksud kamu, Rande dapat tugas dari kampus untuk menjadi Dokter di Desa?" "Iya, Mas, kebetulan Dokter di puskesmas Desa, tidak ada, jadi Mas Rande yang mengisinya." jawab Hazanah membuka mukenahnya. "Jadi, ia mengerjakan tugas kampusnya di Desa?" "Iya, Mas," "Baiklah." jawab Rafiz. Hazanah membuka lapisan jilbabnya dan membuat rambutnya terurai panjang, Hazanah memiliki rambut yang panjang melewati bahu, hitam dan lebat, membuat Rafiz untuk kali pertamanya semenjak menikah, melihat rambut Hazanah. Hazanah berbalik "Ada apa, Mas?" tanya Hazanah keheranan. "Kenapa kamu mengurai rambutmu di depanku?" tanya Rafiz heran. "Maksud, Mas?" "Selama ini, kamu tidak pernah mengurai rambutmu di depanku, kenapa sekarang, kamu mengurainya?" "Oh, maafkan aku, Mas, aku merasa gatal, jadi aku membukanya, aku akan menyisirnya dan kembali memakai hijabku. "Tapi, kenapa memperlihatkannya sekarang?" "Apa rambutku jelek ya, Mas?" "Bukan itu, tapi aku heran saja." "Heran bagaimana? Kita sudah muhrim, Mas, kamu bisa melihat rambutku, karena apa yang ada di tubuhku, milikmu." jawab Hazanah, sembari menyisir rambutnya. Rafiz menelan ludah, ternyata Hazanah begitu cantik ketika mengurai rambutnya dan Rafiz memahami, Hazanah adalah wanita yang sangat cantik dan berkulit putih, jika ia menunjukkan dirinya tanpa setelan muslimah, itu akan mengundang keburukan, semua pria akan menatapnya, seperti yang di lakukan Rafiz saat ini. "Ada apa, Mas?" tanya Hazanah kembali memakai hijabnya. "Ayo, kita turun makan siang." tutur Rafiz, menggaruk leher belakangnya. Hazanah menganggukkan kepala. Lalu, berjalan menyusul langkah kaki sang suami. "Ayo makan, Nak!" ujar Rahayu. "Mama sama Bibi belum makan siang?" tanya Hazanah. "Gak mungkin, kami makan sendiri tanpa kalian." "Papa mana, Ma?" tanya Rafiz. "Belum kembali, tadi katanya ngurus kerjaan." "Kalau Rande?" "Rande di kamar, Iloh panggil Rande untuk turun makan siang." pintah Rahayu. "Ayo, Nak!" Hazanah dan keluarga suaminya duduk berhadapan dan berdampingan, menikmati makan siang. "Nya, Den Rande tidak ingin makan siang, katanya sudah kenyang." tutur Iloh. "Ada apa sama anak itu? Tadi, begitu semangat ketika mendengar Kakak dan Kakak iparnya akan datang, kenapa jadi mengurung diri di kamar?" Rahayu kesal. "Mungkin Rande kenyang, Ma!" sahut Rafiz. "Baiklah, kita makan siang dulu, Rande akan makan jika dia lapar." ujar Yuna. Rafiz menghela nafas, pasti mengejutkan bagi Rande, ketika melihat Hazanah menjadi istrinya, apalagi ketika Rafiz mengingat ekspresi bahagia Rande di saat menceritakan tentang wanita yang merupakan sosok Hazanah. "Ada apa, Mas?" tanya Hazanah. "Ga apa-apa, ayo makan." tutur Rafiz. Hazanah menganggukkan kepala. Setelah makan siang, Hazanah dan keluarga menikmati penutup makan siang dengan kue yang di bawah Hazanah dari Jakarta. "Kapan kalian akan memberikan Mama cucu?" tanya Rahayu. Membuat Hazanah dan Rafiz saling bertukar pandangan. Hazanah berdehem, mencoba mengalihkan pembicaraan yang sedang di tanyakan sang mertua. Aneh saja, mendengar keinginan sang Ibu mertua, sedangkan di dalam pernikahan Hazanah dan Rafiz tidak ada kasih sayang, tidak ada belaian, jangankan b********h, tidur berdampingan saja, Rafiz menolaknya. "Akan ada saatnya, Ma, mungkin Allah belum kasih." jawab Hazanah, membuat Rafiz menatapnya. "Kalian gak konsul ke Dokter tentang kesuburan kalian?" tanya Rahayu. "Apaan sih, Ma, aku sama Hazanah baru menikah sebulan, mana mungkin bisa memiliki anak di usia pernikahan kami yang baru sebulan." sambung Rafiz. "Benar kata Rafiz, Kak, mereka berdua baru saja menikah dan masih pengantin baru, mereka bisa memeriksa kesehatan di saat usia pernikahan mereka 5 bulan." tutur Yuna. "Baiklah, mungkin Mama terlalu buru-buru." "Ma, sebelumnya kami minta maaf, hari ini kami tidak bisa menginap, mungkin lain kali, kami akan menginap." kata Rafiz, membuat Hazanah keheranan. Sedangkan rencana awal mereka, mereka akan menginap selama 2 hari. Kenapa Rafiz tiba-tiba berubah pikiran? "Ada apa ini, Nak? Bukannya kalian akan menginap?" tanya Rahayu. "Aku lupa, Ma, ternyata ada jadwal makan malam dengan klien dari Barcelona, aku baru mendapatkan kabarnya barusan." jawab Rafiz. "Kamu bisa makan malam sendiri dengan klien mu, biarkan Hazanah menginap semalam saja di sini, ya," kata Rahayu, membuat Rafiz berbalik menatap Hazanah. "Jangan, Ma, aku harus membawa Hazanah bersamaku." "Tapi, kenapa, Nak?" "Aku-" "Apaan sih, Kak, Kakak kayak gak tahu saja, bagaimana pengantin baru." Kekeh Yuna. "Maksudnya, gimana, Yun?" "Jangan pisahin mereka, Kak, katanya tadi Kakak pengen punya cucu, kalau di pisahin, mereka entar jadi kebiasaan loh." "Tapi, Mama masih kangen sama kalian." "Kan, ada waktu lain, Ma!" tutur Rafiz. "Oh gitu, ya sudah, gak apa-apa, tapi kalian harus janji, jika kalian kemari, kalian harus menginap." ujar Rahayu. "Maafkan aku, Ma, kami janji akan kembali lagi." ujar Rafiz. Sejak tadi, Hazanah diam saja, secara bersamaan ia begitu heran dengan sikap sang suami, yang berbeda dari rencana di awal, sedangkan sekretarisnya menelfon bahwa semua jadwalnya berhasil di batalkan hari ini sampai dua hari kedepan, tapi kenapa sekarang berubah? Tapi, sebagai istri, Hazanah harus mengikuti langkah suaminya dan taat pada suaminya, meskipun beberapa pertanyaa berhasil membuatnya penasaran. "Apa ini? Kamu mau pulang?" tanya sang Papa yang baru saja tiba dari kantor. "Papa mendengarnya?" tanya Rahayu. "Tentu saja, Papa mendengarnya, Ma, kalian tidak boleh pulang." tutur Hamdan, duduk di samping Rahayu sang istri. "Klien dari Barcelona akan meneken kontrak kerja dengan perusahaan, Pa!" "Kamu sudah janji sama Mama kamu untuk menginap di sini dua hari, kenapa sekarang berubah?" "Karena, jadwalku pun berubah." "Kamu tidak kasihan sama Mama kamu? Sejak semalam, Mama kamu begitu semangat sampai tidur lebih awal, agar bisa cepat pagi, karena Mama kamu mengetahui kedatanganmu, walaupun Mama kamu mengiyakan kepulanganmu, tapi hatinya pasti begitu kecewa, sangat jarang loh, kamu pulang kemari, setidaknya, selagi di sini, habiskan waktumu bersama keluargamu." tutur Hamdan, membuat Rafiz tertegun. "Benar kata Papa, Mas, semalam aja, kita harus menginap di sini, mengecewakan orang tua sama halnya memikul dosa besar, Mas!" sahut Hazanah. "Karena Papa begitu semangat ingin menetap di rumah, Papa ke kantor hanya untuk mengosongkan jadwal Papa dari hari ini sampai esok hari. Karena, Papa gak mau kalian kecewa jika Papa lebih mementingkan urusan kantor di bandingkan keluarga sendiri yang lagi berkumpul." tutur Hamdan. "Baiklah, tapi hanya hari ini ya, Ma, aku mengosongkan jadwalku, karena klien Barcelona itu hanya akan tinggal sampai besok sore." jawab Rafiz. "Baiklah, Nak, semalam saja Mama akan sangat bahagia." tutur Rahayu. Raden hendak melintasi ruang keluarga tanpa menoleh. "Rande, kamu mau kemana?" tanya Hamdan, berhasil membuat langkah kaki Rande terhenti. "Aku harus bertemu teman, Pa," "Jangan mementingkan temanmu, kakakmu dan istrinya ada di sini, bukan kah kamu semalaman begitu semangat ketika mendengar kakakmu akan berkunjung?" tanya Hamdan. "Tapi, sekarang tidak lagi, Pa," jawab Rande membuat keluarga menganga tak percaya pada jawaban Rande. "Apa maksudmu, Nak?" tanya Rahayu. "Sekarang Rande tidak senang dan tidak bersemangat lagi bertemu Rafiz dan istrinya." jawab Rande, kembali melangkahkan kakinya keluar rumah. "Ada apa dengan anak itu? Kenapa tiba-tiba, dia berubah seperti itu?" tanya Rahayu. "Biarkan saja, Ma, kita akan mencarikan jodoh untuk Rande agar ia bisa hidup seperti kakaknya." tutur Hamdan. "Tapi, siapa yang mau sama Dokter keliling seperti dia?" tanya Yuna. "Putraku itu tampan, Yuna!" jawab Rahayu. "Baiklah. Maafkan aku, Kak, aku hanya terbawa suasana pada perubahan sikap yang di tunjukkan Rande." "Mungkin, Rande banyak pikiran, Ma." ujar Rafiz. "Tapi, dia tipe pria yang ceria, Nak, bagaimana bisa dia berubah dalam sejam? Kan, ga masuk akal." ujar Yuna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN