Hazanah dan Rafiz sampai di kediaman Hamdan, yang merupakan orang tua dari Rafiz, kedatangan mereka di sambut hangat oleh keluarga, Rahayu yang merupakan Ibu kandung Rafiz memeluk Hazanah, sambutan itu di nikmati Hazanah, apalagi mengingat hampir sebulan ia tak pernah pulang ke rumah ibunya, semoga saja setelah bertandang ke rumah sang mertua, Rafiz bisa mengizinkannya untuk bertandang ke rumah sang Ibu.
Kebahagiaan keluarga Hamdan itu seketika muncul ketika putra pertama mereka bertandang bersama istrinya.
"Yu, ajak Hazanah masuk donk," kata Yuna yang merupakan Bibi Rafiz.
"Ya Allah ... Mama hampir lupa mengajakmu masuk, Nak!" tutur Rahayu.
"Bagaimana kabar Mama, Papa dan Bibi?" tanya Hazanah santun.
"Seperti yang kamu lihat, Nak, kami semua baik-baik saja." jawab Hamdan.
Hazanah dan Rafiz duduk di kursi tamu membiarkan asisten rumah tangga yang bernama Iloh menjamu mereka dengan beberapa macam kue dan secangkir teh hangat.
"Kebetulan, saya membawa beberapa macam kue, buat Mama, Papa sama Bibi!" tutur Hazanah.
"Wahh ... terima kasih ya, Nak." tutur Yuna.
"Iya, Bi, sama-sama, kebetulan kue itu saya buat sendiri." jawab Hazanah.
"Mama dengar dari ibumu, kamu pintar buat pakaian muslimah, Nak?" tanya Rahayu pada menantu yang kini duduk santun di hadapan mereka.
"Iya, Ma, bukan pintar sih, tapi sedikit tahu."
"SubhanAllah, kamu bukan hanya salihah, Nak, tapi juga pintar buat pakaian muslimah." tutur Rahayu.
Hazanah tersenyum.
"Biarkan Papa bertanya, bagaimana Rafiz sebagai suami, menurut kamu, Nak?" tanya Hamdan.
Hazanah berbalik menatap sang suami yang sejak tadi menutup bibirnya rapat, karena tak ingin beradu obrolan dengan keluarganya di depan sang istri.
"Mas Rafiz alhamdulillah baik, Pa, dia adalah suami yang sangat baik dan penyayang." jawab Hazanah, membuat Rafiz menoleh melihatnya.
"Syukurlah, anak Mama memang anak yang baik, Nak, dia penurut pada orang tua." sambung Rahayu.
"Ternyata di jodohkan bukan halangan buat kalian, ya, untuk saling mengasihi." tutur Yuna.
"Menurut saya, di jodohkan seperti ini, itu adalah takdir Allah, Bi, Allah hanya mempercayakan kami untuk membina rumah tangga lewat perjodohan orang tua kami dan Allah yakin bahwa kami bisa melewatinya." tutur Hazanah.
"SubhanAllah ... bagaimana denganmu, Rafiz? Hazanah istri yang salihah dan baik, kan?" tanya Hamdan.
Rafiz menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa pun.
"Kenapa sejak tadi kamu diam saja, Fiz?" tanya sang Bibi.
"Aku hanya mendengar kalian mengobrol dan menjadi pendengar yang baik." jawab Rafiz.
"Baiklah. Mama sudah menyuruh Iloh merapikan kamar, kalian pasti sangat lelah." ujar Rahayu.
"Iya, Nak, kalian langsung ke kamar saja, Bibi akan memanggil kalian jika makan siang selesai." sambung Yuna.
"Mas, kamu bisa istirahat, aku akan membantu Iloh menyiapkan makan siang." ujar Hazanah.
"Jangan, Nak, kamu adalah tamu di rumah ini, biarkan kami melayanimu dengan baik, ya," tutur Rahayu pada menantunya.
"Gak apa-apa, Ma, saya sudah biasa menyiapkan makan siang dan hari ini, biarkan saya yang memasak untuk keluarga. Lagian Mas Rafiz, kan, anak Mama, berarti saya bukan tamu di sini, melainkan anak Mama juga." tutur Hazanah, yang sejak tadi membuat keluarga Hamdan kagum dengan sikapnya.
"Tapi, Nak−"
"Saya benar gak apa-apa, Ma!" jawab Hazanah.
"Jika kamu membutuhkan bantuan, tinggal panggil Mama atau Bibi, ya," tutur Rahayu.
Hazanah menganggukkan kepala. Saatnya kembali beraksi di dapur untuk menyiapkan makan siang buat keluarga sang suami. Rafiz langsung berjalan menaiki tangga dan masuk ke kamarnya.
Rafiz mendengkus, perjalanan begitu panjang, walaupun hanya memakan waktu sejam di perjalanan menuju kemari, tapi itu cukup melelahkan buat Rafiz. Meskipun yang menyetir adalah Suparji supir pribadinya.
Suara ketukan pintu kamarnya terdengar.
"Masuk!" tutur Rafiz.
"Apa Mama mengganggu?", tanya Rahayu.
"Tidak, Ma, aku baru saja akan bersantai," jawab Rafiz.
"Mama bangga sama kamu, Nak, karena kamu akhirnya menerima perjodohan ini, Mama awalnya khawatir dengan sikapmu pada Hazanah, karena kamu tidak menyetujui perjodohan yang papamu rencanakan, tapi mendengar Hazanah mengatakan bahwa kamu bersikap baik dan penyayang, Mama jadi bangga, ternyata kamu sudah menerimanya dan menjadi lebih dewasa." ujar Rahayu, mengelus pundak putra sulungnya.
Mendengar sang Mama mengatakan hal itu, Rafiz lalu berpikir, bahwa Hazanah berusaha menyembunyikan sikap yang di tunjukkan suaminya selama ini, sedangkan itu sudah jelas sikap sang suami selama ini sangat melukai hati Hazanah, Namun, Hazanah berhasil membuat orang tuanya bangga pada sosoknya.
"Iya, Ma!" jawab Rafiz. "Rande mana?"
"Mama menyuruhnya membeli beberapa bahan makanan di supermarket, sebentar lagi mungkin akan kembali." ujar Rahayu. "Ya sudah, Mama akan keluar, kamu bisa istirahat, Mama akan menyuruh Hazanah membangunkanmu, jika makan siang sudah siap."
Rafiz menganggukkan kepala.
Kini Rafiz mengerti dan mulai memahami sikap Hazanah yang selama ini, selalu ia anggap berlebihan sebagai wanita, melihat sosoknya dan sikapnya yang di tunjukkan Hazanah selama ini, membuat Rafiz melihat sisi baru di luar dari pengalamannya, perbedaan itu akan terus ada, tapi Hazanah terus saja berusaha menyikapinya dengan kesabaran selama ini. Namun, sebagai suami Rafiz tidak pernah mengerti dan tak ingin tahu menahu.
Rafiz mendengkus, berusaha menetralisir perasaannya, Hazanah mengatakan bahwa Allah menunjukkan jalan ini karena Allah yakin dan percaya bahwa semuanya bisa mereka lewati, Namun, kenapa selama ini ia bersikap semena-mena pada istrinya sendiri, kepada wanita yang selalu menjaga harga dirinya sekalipun di depan keluarganya sendiri.
Rafiz keluar dari kamarnya, langkahnya terhenti ketika melihat Rande sedang menatap Hazanah penuh perasaan, Rafiz memicingkan mata dan heran akan arti tatapan itu. Apa maksud tatapan Rande?
"Mas Rande?" terkejut Hazanah, menundukkan kepalanya karena Rande bukan mahramnya dan terlebih lagi, ia harus terus menjaga pandangannya untuk suaminya. Rafiz mengamati sang istri dan Rande yang sedang bertukar pandangan dari lantai atas.
"Anah? Kenapa kamu di sini?" tanya Rande.
"Aku menantu di rumah ini, kamu ngapain di sini, Mas?" tanya Hazanah.
"Aku anak dari pemilik rumah ini." jawab Rande.
"Berarti, Mas Rafiz−"
"Rafiz adalah kakakku."
"Apa? Jadi, Mas Rafiz adalah kakakmu? Ya Allah ..."
"Jadi, kamu−"
"Aku istri Mas Rafiz." jawab Hazanah, membuat Rande menatap Hazanah begitu dalam, tatapannya menghujam penuh kemarahan, jadi menantu yang sering keluarganya ini banggakan adalah Hazanah? Wanita yang selama ini diam-diam ia kagumi dan berniat menikahinya?
Rafiz mengamati istri dan adiknya itu dari atas sana, Rafiz kembali berpikir dan membayangkan perkataan Rande sewaktu di kantornya, jika Rande mengenal wanita yang mirip dengan istri sang kakak, taat dan patuh pada agama. Jadi, maksud Rande adalah Hazanah? Kenapa semuanya jadi kebetulan dan menyakitkan secara bersamaan?
"Selamat, ya," tutur Rande, berusaha mencegah sakit hatinya. Pupus sudah harapannya membina rumah tangga dengan wanita yang ia kagumi selama ini dan yang lebih menyakitkan lagi adalah kenyataan yang menyakitkan secara bersamaan, wanita yang ia kagumi dan ingin ia nikahi sudah menjadi istri sang kakak.
"Makasih, Mas, kamu kemana selama ini?" tanya Hazanah. Yang tidak tahu menahu tentang perasaan Rande padanya.
"Aku pergi menjadi relawan ke Negara lain, seperti yang sering kamu katakan, menjadi dokter itu bukan siapa yang memakai jas putih, tapi siapa yang bisa membantu orang lain di saat musibah datang, buat apa mengenakan jas putih ketika jas putih itu lebih mementingkan uang? Manusia berjas putih adalah malaikat tak bersayap yang bisa menolong orang lain yang sedang kesusahan, tanpa memikirkan dirinya sendiri dan seberapa besar bayarannya." tutur Rande mengingatkan Hazanah pada perkataannya. Karena itu, Rande memilih untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, dengan cara membantu orang lain walaupun berbeda suku dan ras.
"Ternyata kamu mengingat perkataanku, Mas, aku ga pernah tahu, jika Mas Rafiz memiliki saudara kandung." tutur Hazanah.
"Apa Rafiz bersikap baik, Nah?" tanya Rande yang sejak awal mengetahui ketidakterimaan Rafiz dalam perjodohan ini.
"Alhamdulillah, Mas Rafiz suami yang baik, dia bisa menerimaku apa adanya dan terlebih lagi dia suami yang penyayang." jawab Hazanah, berusaha menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.
Raden mendengkus kesal, ia tak menyangka semua akan terjadi, jadi Rafiz benar, jika ia mundur selangkah, pria lain akan maju selangkah, dan dia gagal menjadi pria yang ingin menikahi Hazanah yang menurutnya adalah sesuatu yang susah untuk ia raih, ia jatuh hati kepada Hazanah karena sosok Hazanah yang begitu berbeda dengan wanita lain di luar sana, Hazanah taat kepada agama dan selalu mengingat waktu shalat, pengetahuannya tentang agama membuat Raden berusaha mendekatkan diri, Raden mendengkus, ia tertegun melihat Hazanah yang kini menjadi kakak iparnya, ia tak menyangka dan selalu mencari pembenaran dalam hal ini.
"Ran, kamu sudah kembali?" tanya Rafiz, membuat Hazanah menundukkan kepala.
"Iya."
"Ada apa?" tanya Rafiz. Berusaha berpura-pura tidak tahu. Meskipun sudah jelas, ia mendengar semua percakapan antara adik dan istrinya itu.
"Aku ga apa-apa, Fiz, aku ke kamar dulu, dan ini belanjaan yang Mama suruh aku membelinya." ujar Rande, menaruh belanjaannya ke atas meja dan berjalan menaiki tangga meninggalkan Hazanah dan Rafiz.
Melihat adiknya berjalan memunggunginya, membuat Rafiz menghela nafas, berusaha mencari pembenaran atas semua ini.
"Apa Mas membutuhkan sesuatu?" tanya Hazanah, kepada sang suani yang terlihat gelisah.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Rafiz.
"Aku sedang memotong sayuran." jawab Hazanah santun.
"Baiklah, aku akan ke kamar dulu." ujar Rafiz, berjalan menaiki tangga, membuat Hazanah heran.