"Cici!" teriak Dewa ketika dia melihat sosok yang dicari sedari tadi. "Kamu habis ngapain dari sana? Katanya kamu nggak enak badan, udah mendingan sekarang? Mau ke dokter?"
Shuhua yang baru saja keluar dari gang menatap Dewa dengan Tatapan yang datar, dia juga bingung dengan apa yang harus dia katakan saat ini. Ada sedikit ketakutan karena dirinya telah menghajar preman, tapi ketakutan itu tidak lebih dari ketakutan Galaxy yang sedang berduaan dengan seorang wanita di luar sana. Dia ingin menangis. Dan akhirnya terjadi juga. Shuhua menangis dengan kencang, membuat Dewa panik.
"Hey, kamu kenapa? Mana yang sakit?"
Bukannya menjawab, Shuhua malah memeluk Dewa dengan erat. Tinggi pria itu sekitar 185 cm, sama dengan Galaxy. Dan itu malah membuat Shuhua kembali mengingat pria yang sangat dia cintai, tangisannya kembali pecah, tanpa tahu malu berteriak dengan tersedu-sedu. "Hiks hiks hiks...... Sakit...."
"Mana yang sakit? Kalau begitu ayo kita pergi ke rumah sakit. Demi Tuhan, jangan buat aku panik, Ci."
"Gue pengen dipeluk dulu..... Hiks..... Ijinin kenapa..... Lu pelit banget..... Hiks...."
Mendengar hal itu, akhirnya Dewa membalas pelukan Shuhua. Di antara senang dan juga sedih. Dia ingin suhua memeluknya, tapi tidak dengan keadaan perempuan itu yang sedang sedih. "Semuanya akan baik-baik saja, kamu jangan khawatir. Semuanya akan terlewati," ucap Dewa.
Dan ketika mereka berdua sedang berpelukan, sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka. Keluarlah sosok yang tidak asing bagi Dewa, dia pernah melihat pria itu seringkali. Bersama Shuhua, dan juga yang kemarin mengantarkannya ke bandara.
Sesuai dugaannya, pria itu mendekati Dewa kemudian mendorongnya. "Lu apain Shuhua? Kenapa dia bisa nyampe nangis kayak gini?"
Mendengar suara yang tidak asing, Shuhua menoleh dan mendapati Galaxy disana. "Abang, nggak usah dorong kayak gitu. Cici yang tadi minta peluk sama dia."
"Minta peluk? jangan ganjen jadi cewek, Cici."
"Cici nggak ganjen ya, Cici kesel sama Abang pokoknya," ucapnya kemudian mendekati Dewa. "Udah sana lu masuk aja, gue mau mukul dulu ini laki."
"Aku nggak bisa ninggalin kamu kalau suasana hati kamu lagi kayak gini. Apalagi pria itu tidak membuat kamu nyaman bukan?"
"Pria mana yang lu maksud?" Galaxy kembali menyahuti percakapan keduanya.
"Udah sana lu ke sana dulu, gue mau ngomong sama dia."
"Jangan Pergi kemana-mana. Ini udah malam."
"Gue cuma mau ngobrol sama dia di dalam mobil kok. Sana kasih dulu kita ruang."
Karena Shuhua memohon padanya, akhirnya Dewa mundur. Meskipun begitu dia tetap mengawasi dari kejauhan, melihat bagaimana Shuhua masuk ke dalam mobil, disusun oleh galaksi yang masih memperlihatkan wajah ketidaksukaannya terhadap Dewa.
"Tadi kamu nelponin abang sama ngirim Abang pesan?"
"Situ baru nyadar?" tanya Shuhua dengan nada menyindir.
"Maaf, Ci. Tadi Abang abis ketemuan sama rekan Abang. Kan Abang udah kasih tahu kamu kalau abang mau bikin bisnis di Bali."
"Sama cewek?"
"HP Abang ditinggal di villa. Abang nginep di villa, soalnya jaraknya dekat dari lokasi tempat Abang bakal bikin Cafe."
"Jadi Abang ngajak cewek ke Villa?"
"Itu penjaganya, udah sepuh juga."
"Mana ada suaranya masih kayak cewek muda gitu."
"Kamu nggak percaya?" tanya Galaxy sambil membuka ponselnya, dia melakukan video call dengan seseorang. Sampai akhirnya panggilan itu terangkat, dan memperlihatkan wanita yang berusia sekitar 50 tahunan. "Halo, Bu. Maaf mengganggu waktunya sebentar. Adik saya mau ngomong sama ibu, yang sebelumnya menelepon."
"Yang tadi tiba-tiba ditutup ya teleponnya? Dia nggak papa kan? Takutnya tadi ada hal buruk terjadi, soalnya beberapa kali nelpon sama ngirim pesan. Cuma saya nggak berani buka ponselnya."
Dan saat itulah Shuhua terdiam, suaranya benar-benar sama seperti sosok yang sebelumnya dia telepon.
****
Kini keduanya terdiam, sibuk dengan pemikiran masing-masing. Namun Galaxy tidak menyukai situasi seperti ini, dia juga khawatir dengan apa yang terjadi pada Shuhua sebelumnya.
"Jadi alasan kamu menangis pada pria itu? Kenapa?"
"Kesel sama Abang."
"Terus ngelampiasin nya sama dia gitu?"
Mengangguk tanpa tahu malu. "Ya gitu, soalnya dia yang ada di dekat Cici."
"Jangan gitu kamu, Ci. Jangan asal peluk, apalagi kalau itu cowok. Nanti kalau mereka mikir yang aneh-aneh terus mau nyelakain kamu di mana? Lecehin kamu?"
Shuhua terdiam sambil memainkan jemarinya.
"Cici? Jawab Abang."
"Ya nggak tahu, Emang Cici harus gimana? Ya tinggal di pukul aja kalau ada yang mau macem-macem."
"Sama cowok jangan pecicilan kayak gitu, main peluk sembarangan. Denger nggak apa kata Abang?"
"Dengarlah." Shuhua mengendus kesal, dia menatap Galaxy dengan wajah kalau dirinya sedang takut. Ternyata pria itu menakutkan juga kita sedang marah. "Abang udah, jangan marah-marah kenapa. Harusnya kan Cici yang marah, kenapa dari tadi nelpon gak diangkat. Nyebelin banget."
"Kan Abang udah jelasin tadi. Kenapa Abang ke sini? Karena abang khawatir sama kamu."
Pada akhirnya Shuhua selalu luluh pada Galaxy. "Mau peluk," ucapnya dengan merentangkan tangan.
Galaksi terkekeh kemudian membawa Shuhua ke dalam pangkuan, memeluk perempuan itu dengan erat, menyembunyikan kepalanya di ceruk leher milik Shuhua.
"Cici harus ke dalam lagi, Nanti dicariin sama yang lain."
"Gak mau nginep sama Abang?"
"Jangan gitu ah, Kan Cici disini niatnya lagi studi wisata. Nanti lagi ketemunya." Shuhua bergegas pulang dari pangkuan Galaxy, dia juga keluar dari mobil supaya tidak hilang kendali.
"Kamu mau kemana? Gak Mau pelukan dulu gitu?"
"Nanti Cici hilang terus perkosa Abang, mau?"
"Heh bahasanya dijaga ya!"
Shuhua malah tertawa kemudian melangkah menjauh dari mobil itu setelah Melambaikan tangan. Wajahnya kembali ceria, kakinya bahkan melompat-lompat saking senangnya. Senyumannya tidak pudar, dia bahkan sesekali memutarkan tubuh.
"Kenapa lu masih di sini?"tanya Shuhua ketika dia mendapati Dewa yang berdiri di lobi. "Lu nungguin gue dari tadi?"
Dewa mengangguk. "Takut kamu kenapa-napa. Nggak papa kan?"
"Enggak, udah happy lagi. Yuk ke dalem, gue nggak mau Lu dicariin sama semua orang. Terus mereka malah nyalahin gue karena lu sama gue."
"Tadi nangis kenapa?"
"Kepo," ucap Shuhua dengan nada sinis. Namun dengan begitu dia tetap tersenyum ceria. Dan dari sanalah Dewa tahu kalau mood Shuhua kembali happy seperti sebelumnya. Dewa berharap dirinya menjadi bagian dari kebahagiaan Shuhua juga.
****
"Lu dari mana sih? Dicariin dari tadi, si dewa nyampe panik nyari-nyari elu! Kalau mau kemana-mana---"
"Gue kan udah bilang tadi, Lu nya aja yang gak baca pesan yang gue kirim."
"Ya jangan kemana-mana! Ini bukan acara keluarga, g****k! Kalau lu ilang yang panik bukan cuma gue, tapi juga semua orang yang ada di sini. Habis apa yang lu dari luar? Ketemuan sama kakak gue?"
"Kagak gue jalan-jalan sendiri, baru ketemu sama Bang Galaxy barusan," ucap Shuhua menidurkan dirinya di atas ranjang. Tengkurap sambil memainkan ponsel. Telinganya tidak mendengarkan Aurora yang masih mengomel Sampai sekarang, Shuhua terlalu bahagia kalau menerima kenyataan kalau ternyata yang mengangkat teleponnya bukanlah wanita yang dimaksud olehnya.
"Rara?"
Rara diam.
"Aurora?"
Masih tidak menjawab.
"Raraaaaaaa?!"
"Apaan? Gak usah manggil-manggil nama gue!"
Sepertinya Aurora memang sedang sensitif, mungkin karena bencana tidak mulus dengan si Kapten basket?
"Kayaknya gue harus bener-bener nembak Bang Galaxy. Gue nggak tahan sumpah. Bayangin aja seumur hidup gue jomblo, dan masih berharap bang Galaxy sampai sekarang."
"Kakak gue juga jomblo dari lahir."
"Makanya...... Lu kepikiran kalau kita berdua jodoh nggak?"
Aurora mendudukan dirinya di ranjang, menghadap Shuhua yang tidur tengkurap menghadapnya. "Gue nggak mau lu sakit hati, Cici. Lu kan tau selama ini abang gue cuma anggap perlu Adik aja. Yang sedari kecil bareng terus sama dia, jadi gue nggak berharap lu berekspektasi terlalu tinggi. Abang gue perasaannya sulit ditebak."
"Tapi dia kan perhatian sama gue."
"Itu emang dia sayang sama lo, Tapi sayangnya cuma sebatas adek doang."
Kali ini giliran Shuhua yang mendumal kesal. Dia bahkan melemparkan bantal pada Aurora dan berjalan ke arah kamar mandi. "Gue bakal liatin gimana ketergantungannya si Abang sama gue. Di mana gue pantas jadi istrinya, bukan jadi adiknya. Selama sebulan penuh ini, gue bakal lihatin mana yang terbaik buat abang Galaxy."
Begitulah kira-kira Shuhua berteriak, meninggalkan Aurora yang terdiam dan juga merasa iba dengan sahabatnya. "Gue serius, Ci. Abang gue punya tipe nya sendiri, dan itu bukan lu."
Karena pada kenyataannya, Aurora tahu bagaimana sang kakak sedang mengejar sosok yang menjadi Cinta pada pandangan pertama ketika dia masuk kuliah. Tapi dia juga tidak ingin pesimis, Aurora ingin Shuhua menjadi kekasih dari kakaknya. Terlepas dia berisik dan juga menyebalkan, Shuhua selalu melakukan yang terbaik untuk orang yang dia sukai.
"Ya udah deh, Gue bakal bantuin dia biar abang gue sadar."