SOME OF THE TATTOOS.
DELTA dan Nick duduk di balkon rumah dengan beberapa botol minimal beralkohol yang masih tersegel. Semula, Delta sama sekali tidak percaya ia menyetujui begitu saja permainan yang ia mainkan dengan Nick. Sepanjang hidupnya, Delta tidak pernah bersikap ceroboh. Kecuali saat berhadapan dengan Ava, sikapnya selalu… memalukan.
“Kusarankan, jangan minum terlalu banyak sebelum kita berhasil sampai di rumahnya.” Celetuk Nick saat Delta sudah berhasil membuka sebotol wine.
“Apa kau akan menemaiku minum?”
Nick menggeleng, “Aku tidak akan melewatkan anggur terbaik yang berhasil kita curi dari gudang kakekmu. Tentu saja aku mau.”
“Dasar!” Delta memutar bola matanya. Jika bukan karena Ava, ia tidak akan pernah mau mengendap-endap ke ruang penyimpanan anggur milik kakeknya-Jullian Montano. “Berapa banyak yang harus kita minum?”
“Yang tahu berapa banyak yang harus kau minum hanyalah kau seorang. Aku tidak tahu porsi yang kau butuhkan untuk mabuk.” Sahut Nick sembari membuka segel botol anggur di tangannya. “Kuharap kau siap untuk misi terbesar kita.”
Jika Delta boleh jujur, ia sama sekali tidak siap. Sudah sangat lama sekali ia putus asa mengenai kemajuan hubungannya dengan Ava. Meski begitu, ia juga tidak pernah berhenti mencintai gadis itu. Delta menuang anggur ke dalam gelas lalu meneguknya. “Pertanyaanku adalah, apa yang akan terjadi jika Ava sudah mengetahui bagaimana perasaanku padanya? Apakah dia akan percaya?”
“Tugasmu, membuatnya percaya dengan apa yang saat ini kau rasakan. Setelah kau berhasil masuk ke kamarnya, katakan padanya bagaimana perasaanmu, pastikan dia mau menerimamu menginap mala mini. Besok pagi, saat kau bangun, kau bisa memulainya dengan sikap dewasa seperti yang selama ini kau lakukan pada gadis-gadis yang sudah kautolak. Bagaimana?”
Delta memikirkan perkataan Nick sejenak. Sepertinya semua itu mudah untuk dilakukan. Tapi, bagaimana kalau mereka gagal? “Apa yang akan kulakukan kalau Ava tidak mengijinkanku menginap di sana?” tanyanya pada Nick. Keduanya lalu bersulang dan menyesap anggur masing-masing.
“Dengar, Delta. Dia akan menyuruhmu menginap. Apa pun yang terjadi, Ava tidak akan membiarkanmu berkeliaran di rumahnya dalam keadaan mabuk. Aku bisa memastikan semua itu.”
“Baiklah.” Delta bersandar pada kursi, masih memikirkan apa yang kira-kira akan terjadi setelah mala mini.
“Kalau kau masih ragu, aku akan berjaga di luar sampai pagi. Untuk sekedar memastikan kau baik-baik saja di dalam sana.”
“Aku masuk sendiri?” tanya Delta lagi.
“Aku akan membantumu. Aku takut kau jatuh lalu mengalami gagar otak.”
“Aku serius.” Delta kembali memutar bola matanya. Terkadang, diskusi dengan Nick memang sangat menyebalkan. “Sekali ini saja, jangan bercanda.”
“Aku memang berencana untuk ikut denganmu, memastikan kau sampai di depan kamar Ava dengan selamat.”
“Baguslah.” Ia menghabiskankan sisa anggur di dalam botol lalu membuka botol baru dan meminumnya lagi dan lagi hingga nyaris kehilangan kesadaran diri.
Beberapa jam setelah itu, Delta, Volta dan Nick dalam perjalanan menuju rumah Ava. Kombinasi mereka sempurna. Delta dan Nick akan menyelinap diam-diam ke rumah dengan penjagaan yang cukup ketat itu. Karena sering mengunjungi rumah keluarga Ava, Delta dan Volta cukup yakin ada celah kecil untuk mereka berdua agar bisa masuk ke sana. Sementara Volta, ia bertugas berjaga di mobilnya. Dalam kasus ini, Volta memang tidak memiliki kepentingan khusus, tapi ia akan selalu menjadi pendukung untuk kakak semata wayangnya. Meski mereka sering ejek satu sama lain, Volta adalah sosok yang sangat hebat untuk kakaknya.
Delta turun dari mobil dalam keadaan setengah mabuk, di belakangnya, Nick ikut turun dengan membawa sebuah botol anggur yang masih utuh. Delta berjalan sempoyongan sembari memegang kepalanya yang berputar. Ia lalu bersandar di sisi mobil, menunggu Nick siap. “Apa kita sudah sampai?” tanyanya dengan suara lirih.
“Ya.” sahut Nick pelan. Ia lalu menggiring Delta menuju sebuah pagar tembok yang tidak terlalu tinggi yang berada di salah satu sisi rumah. Mereka sengaja membawa sebuah tangga yang tidak terlalu besar. Volta membantu memasang tangga tersebut. Nick lalu menaikinya, diikuti Delta. Sesampainya ia di atas, ia menarik Delta dan duduk di atas pagar tembok agar bisa memindahkan tangga ke sisi tembok yang lain.
Setelah meletakkan tangga tersebut, Nick lalu turun dengan hati-hati. Ia meminta Delta mengikutinya. Mereka turun bersamaan, saat hampir mencapai tanah, Nick melempar botol anggur tangannya dan mendarat mulus di atas tanah. Ketika ia mendongak ke atas, entah bagaimana kejadiannya setelah itu, tiba-tiba Delta terjun bebas dari atas hingga menimpa tubuhnya. Nick yang saat itu sudah kehilangan keseimbangan ikut terjatuh dan sialnya… Delta mendarat persis di atas tubuhnya. “s**t!” umpat Nick.
“Hai, Nick. Kau baik-baik saja?” tanya Delta sembari turun dari tubuh Nick.
“Minggir dari tubuhku!” seru Nick kesal.
Delta yang setengah mabuk hanya bisa terkekeh. “Jangan marah, Kawan. Ini idemu.”
Nick lalu bangkit. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu Delta. Mereka berdua lalu berjalan dengan mengendap-endap di dalam kegelapan. Setelah melihat sekeliling dan tidak mendapati penjaga di sana, Nick lalu membawa Delta menuju kamar Ava. Ia melihat ke atas, lampu kamar Ava masih menyala terang. Itu artinya gadis itu masih terjaga. Nick kembali memandang sekeliling, memastikan tidak ada siapa-siapa di sana.
Setelah di rasa aman, Nick menurunkan tas punggungnya dan mengeluarkan dua buah tali khusus yang sengaja ia bawa. Ia lalu melempar salah satu tali tersebut ke balkon kamar Ava. Ujung tali khusus itu dilengkapi dengan sebuah alat yang akan langsung menempel ketat pada permukaan lantai. Nick menarik-narik benda tersebut, saat dirasa tali itu sudah cukup kuat menyatu dengan lantai, ia meminta Delta untuk mengikatkan tali itu di pinggangnya. Segera setelah Delta siap, ia menekan tombol dan Delta pun meluncur ke atas. Pria itu berhenti di depan balkon, untungnya ia tidak menabrak apa pun.
Delta lalu memanjat pagar balkon. Setelah mendarat di lantai dengan selamat, Delta meletakkan botol anggur yang masih tersegel tak jauh dari kakinya. Ia melepas tali khusus itu dari pinggangnya dan melemparnya ke bawah yang langsung diterima dengan baik oleh Nick. Delta melambaikan tangan pada Nick. Pria itu lalu bergegas pergi dengan mengendap-endap setelah memasukkan kedua tali yang sengaja mereka bawa. Kemudian ia berbalik untuk mengambil botol anggurnya. Delta membuka botol tersebut lalu meminumnya hingga tandas. Dan sekarang, ia pun sudah benar-benar mabuk.
Mabuk dan siap untuk serangan selanjutnya, kira-kira itulah yang ia pikirkan. Delta berjalan menuju jendelan Ava, mengetuknya dengan kepala. Gadis itu tampak terkejut dengan kehadirannya. Meski begitu, Ava tetap membuka jendela untuknya dan ia pun masuk ke kamar gadis yang selama ini dipuja olehnya.
**
“Ava, aku mencintaimu.”
Ava memgerutkan keningnya dalam saat mendengar Delta mengucapkan tiga kata itu. Ava, aku mencintaimu. Benarknya barusan Delta mengucapkannya? Atau, ini hanya sebatas ilusinya semata? Setelah membaca n****+ barunya, Ava merasa dirinya agar sulit membedakan antara halusinasi dan dunia nyata. Ia menelengkan kepala, menatap Delta lebih seksama.
“Aku mencitaimu.” Ucap pria itu lagi.
“Delta?” sahut Ava lirih. Meski mustahil rasanya ada yang bisa mendengar percakapan mereka, Ava tetap ingin berhati-hati. “Kau mabuk.”
Delta menggeleng tanpa mengalihkan kedua tangannya dari wajah Ava. “Tidak. Maksudku, iya, aku memang mabuk. Tapi sekali ini saja, tolong dengarkan aku. Aku mencintaimu dan aku tidak sedang bercanda.”
Ava memahami ketidaksadaran Delta. Jadi ia hanya mengangguk dan berharap apa yang barusan di dengarnya hanyalah sebatas ilusi semata karena mustahil Delta jatuh cinta dengannya. Apalagi dirinya, ia terlalu tua untuk anak laki-laki seusia Delta. “Iya.” Katanya sembari mengulas senyum.
“Kau percaya padaku?” tanya Delta dengan mimic serius.
“Bagaimana kau bisa sampai di sini? Kau mabuk, untung kau tidak jatuh.”
“Jawab pertanyaanku, Ava.”
“Iya, Delta.” Ava menyingkirkan kedua telapak tangan Delta dari wajahnya. Ia lalu membimbing pria itu menuju tenpat tidur. “Kurasa kau tidak bisa pulang dalam keadaan seperti ini.” Katanya seraya mendudukkan Delta.
Delta mengangguk, matanya terpejam lalu terbuka lagi. “Boleh aku menginap.”
“Sebagai tuan rumah yang baik, kurasa aku tidak bisa membiarkan tamuku pulang dalam keadaan mabuk.” Sahut Ava bijak. Ava berlulut di bawah kaki Delta dan membantu pria itu melepas sepatunya. Sebagai wanita dewasa, sudah seharusnya ia memperlakukan Delta seperti sekarang. Mengingat pertemanan mereka sejak kecil, mustahil ia bisa mengabaikan Delta begitu saja. Setelah selesai dengan urusan sepatu, Ava lalu berdiri. Ia menyisir rambut Delta yang sudah mulai panjang dengan jemarinya. “Kapan terakhir kali kau memotong rambutmu?”
“Entah. Aku lupa.” Sahut Delta lengkap dengan senyuman. Delta menangkap salah satu tangannya dan membawanya ke bibir lalu mengecupnya. Ava tersentak, ia spontan menarik tangannya kembali. Melihat hal itu, Delta tampak kecewa. “Ada apa?”
Ava menggeleng, “Tidak apa.”
“Kau tidak percaya dengan ucapanku? Kau masih menganggap aku anak-anak?” Dari sorot matanya, Ava sangat yakin kalau saat ini Delta tengah kecewa. Meski begitu, egonya mengatakan kalau Delta saat ini tidak benar-benar serius dengan ucapannya karena ia sedang mabuk.
“Aku percaya padamu, sungguh. Sekarang tidurlah.” Katanya penuh sayang.
Saat Ava hendak membantu Delta untuk berbaring, ia melihat pria itu seperti hendak muntah. Seketika ia panik, “Delta, apa kau baik-baik saja?”
Delta menggeleng. “Huwek!” serunya tertahan sembari memegangi perut.
“Astaga!” Ava membantu Delta berdiri dan menuntun pria itu menuju westafel. Untung bagi mereka berdua karena sampai tepat waktu. Delta mengeluarkan isi perutnya saat mereka sampai di westafel. Ia lalu membantu Delta berkumur. Setelah di rasa Delta lebih baik, ia bertanya. “Bagaimana sekarang?”
“Sudah.” Sahut pria itu. Delta tampak pucat, pengaruh alkohol benar-benar membuatnya kacau.
“Kau benar-benar harus istirahat.” Ucapnya lagi. Ava memapah tubuh Delta dan membawanya kembali ke ranjang. Sesampainya di sisi ranjang, ia melihat jaket dan baju Delta kotor karena muntahan pria itu. Ava mengeluh dalam, wajar jika selama ini ia menganggap Delta sebagai anak-anak. Saat ini pun, ia seolah merasa seperti ibu dari bayi besar yang muntah karena kekenyangan s**u formula. Benar-benar menjijikkan. Namun, ia harus tetap merawat Delta apa pun yang terjadi.
Ava mendudukkan Delta di sisi ranjang. Ia lalu melepas jaket dan baju pria itu dan membuangnya ke lantai dengan asal. “Bajumu kotor. Mala mini terpaksa kau harus tidur tanpa baju.” Jelasnya saat pria itu sama sekali tidak mengalihkan pandangan darinya.
Delta mengangguk. “Aku membayangkan kau juga tidak memakai baju.” Celetuknya.
“Aku punya banyak stok piyama. Sedangkan kau tidak. Kau benar-benar mabuk. Lain kali jangan lari ke rumahku kalau kau mabuk seperti ini.”
“Kau keberatan? Kau tidak memperhatikanku lagi?”
“Bukan begitu, Delta.” Ava menyentuh d**a Delta. Ia menelan salivanya kasar saat kulitnya menyentuh kulit pria itu. d**a Delta berotot, keras dan membentuk roti sobek. Sebagai wanita dewasa yang normal, Ava seringkali membayangkan bagaimana rasanya memiliki kekasih dengan tubuh sempurna seperti Delta. Otot-otot pria itu membangkitkan sisi liar dari dirinya. “Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapimu saat mabuk.” Katanya setelah memutus lamunan tentang bagian tubuh Delta yang lain.
“Aku mencintaimu sejak kita masih kecil.” cerocos Delta lagi.
“Iya. Aku juga.”
“Aku serius. Kalau kau tidak percaya,” Delta setengah bangkit, ia menggunakan kedua sikunya untuk bertumpu, “lepaskan celenaku. Kau bisa melihat tattoo namamu di perutku.” Pintanya.
Melepas celana Delta? Permintaan macam apa ini? Ava ingin sekali menampar dirinya. Sungguh, rasanya benar-benar menyebalkan saat ia harus menghadapi orang yang sedang mabuk. “Lagipula, aku bisa mati kalau harus tidur dengan celana ketat. Jangan khawatir, aku memakai boxer.” Lanjutnya.
“Baiklah.” Akhirnya Ava menurutu permintaan Delta. Pertama, ia melepas ikat pinggang Delta lalu meletakkannya di atas nakas. Kemudian Ava membawa kedua tangannya ke kancing celana Delta dan menarik resleting celana pria itu. Delta benar, ia memakai boxer. Beruntungnya bagi mereka berdua karena jika Delta hanya memakai celana dalam… maka ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada Ava selanjutnya.
Ava menarik celana itu melewati kedua kakinya. Ia lalu membawa celana itu ke sofa dan meletakkannya di sana. Saat ia berbalik, Ava melihat Delta menarik sedikit boxernya dan menampilkan perut bawahnya. Delta menunjuk tulisan kecil di bagian perut itu. Ava mendekat dan mengamatinya dengan seksama. “Lycoris Huglof.” Bunyi tulisan itu. Seketika ia membeku. Delta kembali berbaring, kali ini dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Aku serius dengan ucapanku.” Katanya.
Ava tidak ingin mempercayai semua itu. Ia mundur satu langkah. Delta yang melihat itu lalu menurunkan salah satu kakinya seolah hendak menangkap Ava. Namun, dalam keadaan mabuk, pria itu tidak bisa melaksanakan niatnya dan nyaris jatuh ke lantai. Ava yang melihat itu tidak bisa menahan diri lebih lama. Ia bergegas menghampiri Delta dan menahan pria itu agar tidak jatuh. “Apa yang kaulakukan?” tanyanya dengan nada kesa. “Kau bisa terjatuh!”
Delta mengabaikan kekhawatiran Ava. Ia menggenggam tangan Ava lalu memperlihatkan tattoo lain di tangan kanannya, di nadinya. Tattoo itu berbunyi, “Ava, I’m yours.” Berukuran tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. “Kubuat saat ulangtahunmu yang ke-17.” Ucap pria itu.
Ava mengambil napas dalam-dalam. “Ini tidak mungkin.” Katanya.
Saat ia masih dilanda kebingungan. Delta menarik gadis itu dengan sekuat tenaga sehingga Ava mendarat tepat di atas tubuhnya. Ia lalu membalik posisi mereka dan menindih Ava dengan tubuhnya yang kekar. Delta menatap tepat di balik manik mata gadis itu. “Aku mencintaimu.” Katanya dengan suara serak.
Mendadak, Ava seolah kehilangan akal sehatnya kala bibir Delta menyatu dengan bibirnya. Ciuman pertama mereka. Setelah belasan tahun saling mengenal. Ini kali pertama ia melihat Delta berubah menjadi laki-laki yang sesungguhnya, pria dewasa yang menguasai dirinya dengan aroma masukulin, tatapan membara dan ciuman yang sangat hebat.