YOU ARE DRUNK.
TAHUN-tahun berikutnya, hubungan Ava dan Delta sama sekali tidak mengalami kemajuan pesat. Ava masih sama seperti sebelumnya, menganggap Delta sebagai anak-anak. Hal itu menimbulkan ide-ide yang menurut Delta cemerlang dan justru membawa petaka pada dirinya sendiri. Misalnya saat Delta pura-pura mengencani teman satu kelasnya demi membuat Ava cemburu, Ava justru menganggap hubungan mereka serius dan mendukungnya. Petaka yang timbul adalah gadis yang menjadi korban perasaan palsunya terus menempel pada Delta dan enggan melepaskan dirinya. Tiba-tiba semua ingatan itu kembali memenuhi benak Delta saat ia termenung sendirian di kamarnya. Bak sebuah kaset rusak yang berputar berulang-ulang.
Delta mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Ia melakukan hal itu selama kurang lebih 15 menit. Selanjutnya, tidak terjadi apa-apa. Bayangan tentang Ava masih saja enggan meninggalkan benaknya. Sialnya, semakin sering ia mencoba menghapus Ava dari kepalanya, semakin sering pula gadis itu muncul secara misterius dan memporak-porandakan pertahannya.
Segala cara sudah ia lakukan untuk mengubur perasaanya pada Ava. Mulai dari mencoba jatuh cinta dengan gadis-gadis di lingkungannya hingga mencoba tidur dengan salah satu di antara mereka. Semuanya gagal, tidak ada satu pun rencananya yang berhasil. Sampai sekarang, di saat semua teman-teman seusianya sudah pernah bercinta dengan belasan atau bahkan puluhan gadis, Delta sama sekali belum pernah melakukannya karena ia merasa jika ia menyentuh gadis-gadis itu, sama saja ia menghianati Ava. Padahal faktanya adalah Ava tidak pernah menganggapnya dewasa. Benar-benar menyebalkan.
Sesuatu mendarat di punggung Delta, membuatnya seketika terlonjak. Delta berdiri dengan siaga dan berbalik untuk menatap lawannya. Ketika ia mendapati Nick berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tanpa dosa, kemarahannya pun menguap begitu saja. “Apa yang kaulakukan di sini!” ucapnya ketus.
“Aku memanggilmu berkali-kali tapi kau tidak mendengar. Apa harus kulempar barang-barang di rumahmu dulu baru kau akan sadar? Apalagi yang kaupikirkan sekarang?” pria itu melangkah ke arahnya dan terduduk di kursi yang terletak tak jauh dari Delta.
“Entah.” Sahut Delta malas. Hari ini ia sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun atau bahkan beramah-tamah dengan sahabatnya sendiri.
Nick, laki-laki yang sudah bersamanya sejak ia berusia 12 tahun. Atau lebih tepatnya sejak mereka sama-sama masuk ke sekolah dan menempati asrama yang sama sebelas tahun lalu. Banyak hal yang terjadi di antara mereka. Mulai dari perdebatan ringan hingga adu tinju antar laki-laki yang tidak bisa dielakkan. Namun sejauh ini, hanya Nick lah yang mengetahui dan memahami perasaannya tentang Ava. Sisanya, tidak ada karena Delta tidak pernah mengatakan apa pun tentang Ava kepada siapa pun.
“Ava lagi?” pancing Nick dan Delta langsung mengangguk dengan bodohnya.
“Ada apa dengannya sekarang? Apa dia berkencan lagi dengan Jordan itu atau Davis atau siapa pun itu?”
Delta terkekeh. Semua laki-laki yang berkencan dengan Ava telah dipukul mundur oleh mereka berdua. Ia dan Nick selalu punya cara kreatif untuk membuat para laki-laki itu menjauhi Ava. “Kurasa belum ada yang berani mendekatinya lagi. Terima kasih sudah membantuku selama ini.”
“Tidak masalah. Kau memberiku imbalan yang setimpal.”
“Dasar parasit!” caci Delta dengan nada ketus. “Apa yang membuatmu kemari tanpa mengirim pesan lebih dulu? Apa ada sesuatu yang penting?”
Nick mengedikkan bahu singkat. “Hanya ingin melaporkan hasil penelitian yang kita temukan di California. Kau mau mendengarnya?”
“Katakan!” titah Delta dengan nada datar.
Nick dipercaya ayahnya, Brooklyn Montano untuk menjaganya setelah tiga tahun mereka bersekolah di satu sekolah dan asrama yang sama. Selama mereka bersekolah, Nick dan Delta diberi pelajaran khusus seperti bela diri, menembak, memanah, berenang dan beberapa pelatihan khusus yang diwajibkan dalam setiap klan Montano. Awalnya Delta dan Volta sama-sama menolak untuk mengikuti aturan dalam keluarga itu. Namun, setelah mendengar cerita sang ayah tentang penculikan ibu mereka saat mengandung Delta. Keduanya pun setuju. Kini, semua pelatihan itu terasa sangat bermanfaat bagi keduanya. Termasuk Nick sendiri.
“Operasinya dilakukan kemarin malam, FBI menemukan tumpukan obat terlarang yang tersimpan dari di bawah senjata milik kita. Menurut informasi yang kudengar dari salah satu agen, kemungkinan besar kita akan mendapat masalah karena semua jenis senjata yang ada dibeli langsung dari perusahaan kita. Kita akan dianggap membantu menyelundupkan obat-obat terlarang.” Jelas Nick singkat, padat dan jelas.
“Sial!” umpat Delta setelah Nick menutup mulutnya. “Apa yang dikatakan ayahku?”
“Mr. Montano akan mencari siapa dalang di balik semua penyelundupan ini. Kurasa semua yang terjadi akhir-akhir ini saling berkaitan satu sama lain. Pertama jual beli senjata, kedua pencucian uang dan yang ketiga penyelundupan obat terlarang. Aku yakin hanya ada satu orang di dalam operasi besar ini. Dan semuanya mengarah kepada kita. Mungkin orang ini berniat menjatuhkan perusahaan kita.” Nick mengambil segelas yang tergeletak di meja. “Kau tidak berniat meminumnya, kan? Kalau begitu, aku akan membantumu menghabiskannya.”
Delta memutar bola matanya. “Sialan kau!”
“Kau membiarkan esnya mencair. Apa aku salah kalau aku membantumu menghabiskannya?”
“Sama sekali tidak.” gumam Delta sambil menghela napas. “Apa Volta sudah tahu mengenai kasus ini?”
“Mungkin ayahmu sudah memberitahu dia. Kuharap begitu.”
“Aku takut ada ancaman berarti untuk keluargaku. Ini bukan kasus sembarangan. Sampai di mana penyelidikan ayahku mengenai kasus ini.” Tanya Delta. Ia tahu Nick pasti punya setumpuk informasi yang bisa membatu pergerakan mereka.
“Tenang, ayahmu sudah menyewa dua agen khusus dari FBI dan satu detektif. Sebentar lagi masalah kita pasti teratasi dengan cukup baik.”
“Kuharap begitu.” Gumamnya sembari menghela napas panjang. Sejak ia masih kecil, ayahnya selalu memperingatkannya tentang berbagai macam kemungkinan buruk yang mungkin akan menimpanya. Mulai dari tetor ringan hingga pembunuhan bisa terjadi kapan pun. Keluarganya terkenal berkecimpung di dunia hitam. Kakek moyangnya mewariskan semua itu dalam darah Montano. Dan beruntungnya Delta memiliki semua darah itu di dalam nadinya. Pun dengan Volta. Ayahnya mungkin selalu mengingatkan posisi mereka dalam dunia bisnis, persaingaan terjadi di mana dan kapan pun. Namun ibunya, yang terkenal memiliki hati selembut kapas, juga selalu memberi nasihat agar ia dan Volta saling menjaga satu sama lain.
Bagi Delta, keluarganya sempurna. Selain memiliki ayah yang tegas tetapi penyayang dan ibu yang baik seperti peri, ia juga memiliki bibi yang sangat keren bernama Beverly Montano. Bibinya adalah wanita yang memiliki pemikiran terbuka, mandiri dan cukup tangguh. Hal itu menurun pada dua anak perempuannya. Delta juga merasa sangat beruntung dengan kehadiran dua sepupu terbaiknya. Dan dua sepupu lagi yang berasal dari Indonesia- Alex dan Higlof.
“Sekarang, coba ceritakan padaku mengenai hubunganmu dengan Ava. Apa kalian berkencan?” goda Nick dengan senyum nakalnya.
“Kau sudah tahu jawabannya.” Sahut Delta kesal.
“Apa terjadi sesuatu sehingga kau begitu murung seperti sekarang?”
“Kemarin aku pergi ke club bersama Alex dan Volta. Kami berniat merayakan kedatangan Alex dengan minum wine. Tapi sebelum aku berhasil masuk, aku melihat Bruce dan mobilnya terparkir di pintu belakang. Aku mendatangi Bruce dan dia mengatakan kalau si kembar ada di sana. Aku dan Bruce lalu turun dan mencari Ava. Tapi, kami tidak menemukan siapa-siapa di sana. Sebalinya, aku justru terpisah dari Alex dan Volta. Aku tidak tahu di mana mereka malam itu.”
“Dan kau menemukan teman kencan yang cocok denganmu? Lalu kalian bercinta… bagaimana rasanya? Kau masih perawan, pasti sakit.” Ucap Nick dengan nada dramatis.
Delta yang merasa dipermalukan langsung melempar ponselnya ke d**a Nick. Benda canggih itu terjatuh di lantai dengan cukup keras. Untungnya ponsel Delta sama sekali tidak mengalami kerusakan. “Sekali kau mengucapkan itu, aku bersumpah akan memotong sossismu!”
“Wow!” Nick mengangkat kedua tangan sambil tertawa. “Ampun! Aku tidak akan sanggup hidup tanpa alat kelamin.” Katanya di sela tawa.
Delta kembali terdiam. Jatuh cinta memang menyebalkan. Itulah yang dia rasakan selama ini. Dan Ava membuat hidupnya semakin kacau. Sejak menyelesaikan kuliahnya, Ava lebih sering mengurung diri di rumah. Ia membantu ayahnya mengurus perusahaan sang ayah. Hal itu membuat Delta tidak bisa mengawasi Ava lebih dekat. Jika dulu ia bisa diam-diam mengawasi Ava dari jauh, sekarang semua itu mustahil terjadi. Jika ia ingin melihat Ava, ia harus datang ke rumah keluarga Freddy. Datang ke rumah Ava terlalu beresiko karena menimbulkan berbagai macam spekulasi.
“Kurasa kau harus menemuinya.” Nick berdeham, membuyarkan lamunan Delta. “Kau tidak bisa terus seperti ini, Kawan. Aku kasihan melihatmu.”
“Kau? Bisa merasa kasihan? Sungguh mengharukan.” Celetuk Delta sinis.
“Kali ini aku serius. Kau harus mengungkapkan perasaanmu pada Ava.”
“Aku sudah pernah melakukannya.” Tukas Delta cepat.
“Tidak. Seingatku kau belum pernah mengatakan apa pun pada Ava. Cobalah sekali saja, ungkapkan perasaanmu dan bersikaplah dewasa saat berhadapan dengannya.” Usul Nick.
Mendengar hal itu, Delta langsung melotot. Ia tahu betul apa yang dimaksud oleh Nick.
“Sebelum kau bicara,” Nick mengangkat satu tangan, meminta agar Delta diam saja. “Kau selalu bertingkah konyol di hadapan Ava. Benar-benar bukan sikap pria dewasa. Tidak ada pria dewasa yang terjun bebas ke dalam lubang penggalian kabel sedalam lima meter saat tengah membantu seorang wanita dewasa membawa segelas cup kopi. Tidak ada pria dewasa yang-“
“Cukup!” potong Delta. Ia tahu, Nick akan terus mengucapkan tidak ada pria dewasa yang, sampai semua boroknya terungkap jelas. Memang, sejauh ini hanya Nick yang tahu rahasianya, termasuk kecerobohannya saat menghadapi Ava. “Apa saranmu?” tanyanya serius.
Nick menatap langit-langit. “Pertama, aku harus memastikan kau mengatakan dengan jelas kepada Ava kalau kau menyukai sejak kalian masih kanak-kanak.”
“Dia tidak akan percaya karena menganggapku anak-anak.”
“Ah, kita bisa pikirkan itu. Apa kau punya nyali untuk rencana pertamaku?”
Delta terdiam, meringis dan berkata, “Kurasa tidak. Aku… payah saat berhadapan dengannya.”
“Kita berdua tahu itu.” sahut Nick simpati. “Kita harus memikirkan cara agar kau bisa berbicara dengan lancar saat berhadapan dengan Ava.” Usul Nick.
“Contohnya? Lagipula, kapan aku punya kesempatan itu? Ava nyaris tidak pernah keluar rumah. Kalau aku dengan sengaja mengajaknya pergi, dia akan berpikir yang tidak-tidak. Kalau aku mendatangi rumahnya, juju aku tidak siap bertemu dengan ayahnya.” Delta kembali membayangkan wajah Freddy. Meski terlihat lembut, pria itu sangat-sangat menyeramkan.
Nick berpikir sejenak. “Apa malam ini kau punya janji dengan seseorang?”
Delta menggeleng. “Janji apa pun bisa kubatalkan jika berkaitan dengan Ava. Ada apa memangnya? Kau sudah mendapatkan ide.”
“Kurasa aku tahu bagaimana kau bisa bertemu dengan Ava tanpa melibatkan keluarganya.”
“Bagaimana?”
“Sedikit beresiko, tapi aku yakin kita bisa melakukannya jika bekerja sama.”
“Dan aku? Bagaimana jika aku tiba-tiba berubah jadi i***t saat menghadapinya?”
“Justru itu.” Nick tersenyum penuh kemenangan. “Kita akan membuatmu menjadi sangat i***t malam ini.”
“Katakan kau hanya bercanda, Nick.”
Nick menggeleng. “Maaf, tapi aku serius.”
“Bagaimana jika tidak berhasil?”
“Kita harus mencobanya dulu baru tahu bagaimana hasil akhirnya. Bagaimana?”
“Kuharap kali ini kita berhasil.” Gumamnya lebih kepada diri sendiri.
**
Ava baru saja menyelesaikan wawancaranya dengan kedua orangtuanya. Usai makan malam, ayah dan ibunya meminta Ava menjelaskan tentang perkembangan saudara kembarnya, Eva. Tidak ada yang bisa lakukan selain menjelaskan tentang semua detail mengenai gossip yang beredar di luar. Bahwa Eva sama sekali tidak tahu tentang pernikahannya dengan Bruce dan Bruce hanya mengada-ada. Untungnya, mereka bisa memahami semua itu. Ayahnya bahkan berkomentar, “Kenapa anak jaman sekarang sulit sekali memaafkan?”
“Eva butuh waktu.” Sahut sang ibu. Dan percakapan pun berlanjut. Mereka saling bertukar pendapat mengenai gossip murahan itu. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyudutkan saudara kembarnya. Ava sangat bersyukur hidup di tengah-tengah keluarganya. Ayah dan ibunya saling mencintai dan nyaris tidak pernah terlibat dalam pertengkaran baik secara verbal maupun fisik.
Sekembalinya Ava ke kamar, ia masih butuh sekitar dua jam lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk tidur. Ava membaca sebuah buku yang baru dibelinya di toko buku seminggu yang lalu. Ia baru bisa membacanya sekarang karena harus memperbaiki sistem keamanan di perusahaan ayahnya. Sesuatu terjadi dengan sangat mendadak. Sebagian kecil data di perusahaan ayahnya nyaris bocor karena keteledoran seorang programmer, memaksanya bekerja lebih keras dari seharusnya.
Satu jam lagi berlalu, ujung bibirnya terangkat saat ia sampai di bagian tokoh laki-lakinya tidak sengaja menabrak tiang listrik saat membututi gadis yang dicintainya. Seketika, ingatannya melayang jauh ke sebuah tempat di mana dulu ia memergoki Delta terjungkal setelah menabrak tiang lampu di belakangnya saat ia tengah berjalan sendirian.
Ah, Delta. Ava selalu merasa terhibur tiap kali teringat dengan anak itu. Delta selalu bisa menciptakan tawa di sela-sela harinya yang cukup monoton. Sayang, sekarang mereka tidak bisa seperti dulu lagi. Delta disibukkan dengan pekerjaan di perusahaan ayahnya. Sama seperti dirinya sekarang. Jika ia boleh jujur, Ava merindukan kekonyolan Delta, tawanya-
Dug… dug… dug…
Sebuah suara memutus lamunan Ava tentang Delta. Ia terbelalak saat mendapati sesosok laki-laki yang berdiri di luar balkon kamarnya. Sosok itu mengetuk-etuk kaca jendela kamarnya. Ava segera menjauhi kaca dan berlari menuju laci tempat di mana ia meletakkan sebuah pistol yang diberikan oleh sang ayah. Saat ia hendak mengambil pistol tersebut, tiba-tiba… “Ava… Ava… ini aku.”
“Delta?” ucapnya lirih sembari memastikan kalau laki-laki yang saat ini menggedor-gedor kaca jendela kamarnya dari balkon adalah Delta.
“Ava, ini Delta.” Ucap Delta lagi.
Ava segera bergegas menghampiri jendela kaca dan membukanya perlahan. “Delta?”
“Hai, ini aku.” Katanya dengan suara serak. “Tolong buka pintunya.” Ucap pria itu. “Atau sebaiknya aku masuk lewat jendela.”
“Terserah kau saja.” Sahut Ava sambil berbisik.
Delta mengangguk. Ia lalu melompat lewat jendela besar di kamanya. Saat mendarat, pria itu terhuyung dan nyaris terjerembab di lantai. Melihat hal itu, Ava bergegas menutup jendela dan memastikan tidak ada yang melihat kedatangan Delta yang tiba-tiba itu.
Ava berdiri tegak di hadapan Delta. Dalam cahaya remang-remang, ia bisa melihat betapa berantakannya Delta saat ini. “Apa yang kau lakukan malam-malam di sini?”
“Menemuimu tentu saja. Apa lagi?”
“Kau mabuk.” Tuduh Ava saat mencium aroma alkohol yang menyengat indra penciumannya.
“Sedikit.” Sahut Delta dengan polosnya. “Aku ingin berbicara denganmu.” Delta berkata sambil terhuyung ke depan hingga menabrak Ava dan mereka nyaris jatuh bersama.
Ava menahan berat tubuh Delta lalu menyeret pria itu hingga ke tepi ranjang dan mendudukannya. “Bicaralah besok saat kau sudah tidak berada di bawah pengarus alkohol.”
“Ini penting, aku tidak bisa menunggu lagi.” Delta membingkai wajah Ava dengan kedua tangannya. “Ava, aku mencintaimu.” Katanya penuh perasaan.