A SIMPLE LOVE.

2350 Kata
A SIMPLE LOVE. PAGI harinya, Ava terbangun karena ponselnya bergetar di atas nakas. Ia hendak bangkit dan bergegas mengambil benda pipih itu untuk melihat siapa yang menghubunginya sepagi ini. Pagi? Oh, jangan bercanda. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh saat matanya mengarah pada jam dinding yang tergantung di tembok. Dan sesuatu di atas tubuhnya menyulitkannya untuk bergerak. Lengan Delta. Semalam, usai ciuman panas itu terjadi, Ava yang sudah sangat mengantuk langsung menejamkan mata di dalam pelukan hangat Delta. Hingga pagi menjelang, rupanya ia tidak terbangun atau bahkan terusik dengan kehadiran pria itu. Sebaliknya, ada kenyamanan nyata yang melingkupi hati dan tubuhnya. Kenyamanan yang selama ini hanya berani ia bayangkan dengan kekasih khayalannya. Ava mengambil napas dalam, ia lalu mendongak untuk melihat wajah Delta dengan seksama. Siapa sangka ia bisa mencium pria yang selama ini dianggapnya sebagai adik? Ups, bukan. Bukan dirinya yang mencium Delta. Sebaliknya. Seolah tahu kalau ada yang sedang menatapnya, Delta membuka kelopak matanya perlahan. Kepalanya bergerak tidak nyaman dan satu tangannya yang tergeletak di sisi tubuhnya ikut bergerak lalu mendarat di pelipisnya. Delta memijat pelipisnya selama beberapa saat, seolah tidak menyadari apa yang saat ini tengah terjadi, Butuh waktu sekitar satu sampai dua menit hingga akhirnya Delta sadar kalau saat ini ia dan Ava sedang berpelukan. Ava sengaja menahan suaranya, ia ingin tahu apa yang terjadi selamam karena Delta mabuk atau benar-benar yang diucapkan pria itu adalah sesuatu yang ia pendam selama ini. Delta mengarahkan pandangannya ke bawah dan mendapati Ava tengah menatapnya. Pria itu tampak… kebingungan. Namun berusaha tegar menghadapinya. “Hai…” Sapa Ava tanpa mengalihkan tatapan dari Delta dan masih memeluknya. Delta meneguk salivanya. Kepalanya yang sudah pusing menjadi semakin pusing. “Hai…” katanya ragu. “Selamat pagi, Delta.” Dengan bingung Delta mengangguk, wajahnya sekaku kanebo kering dan tubuhnya mendadak keras bagai batang pohon mahoni yang baru saja ditebang. “Selamat pagi. Apa ini sudah pagi? Atau kau sengaja datang ke dalam mimpiku untuk mengacaukanku lagi?” Mendengar itu, Ava berusaha keras menahan tawanya. Delta yang dia ingat tidak sinis dan serius seperti ini. Delta-nya adalah pria paling ceroboh dan harus selalu dilindungi dari dunia luar. Yang ini pasti masih di bawah pengaruh alkohol. Ava yakin soal itu. Ia mencoba bangkit dari tidurnya dan merangkak ke atas tubuh Delta lalu menunduk dan mencium pria itu singkat. “Seperti inikah aku dalam versi dunia mimpimu?” tanyanya sambil menahan tawa. Delta mengangguk penuh percaya diri lalu berkata, “Sempurna. Sekarang aku yakin kalau aku sedang bermimpi.” Pria itu menelengkan kepala lalu kembali menatap Ava. “Mimpi yang terlalu nyat. Sepertinya Nick memberiku terlalu banyak minuman.” Gerutunya. Ava turun dari tubuh Delta dan duduk di sisinya. “Jadi, Nick yang membuatmu mabuk?” “Betul.” Sahut pria itu cepat. “Nick memintaku untuk minum sebanyak mungkin lalu datang ke rumah Ava dan menyatakan perasaanku.” “Setelah melakukan semua itu, apa yang kaurasakan?” “Kecewa.” Aku Delta. Ava mengerutkan keningnya. “Kecewa? Kupikir kau akan merasa puas.” Delta mendengus. “Kau dalam versi dunia nyata pasti akan kecewa padaku dan aku tidak pernah siap diabaikan olehmu.” Ava menatap Delta prihatin. Dalam pengaruh alkohol atau tidak, sikap Delta cukup berani dan ia mengakui semua itu. Ava menyentuh wajah Delta. “Bagaimana kalau aku memang nyata?” Delta tersenyum miring sambil menggeleng. “Tidak, itu tidak mungkin terjadi.” “Delta, ini aku. Kau di kamarku, di rumahku karena semalam kau menyelinap kemari dalam keadaan mabuk.” Jelas Ava dengan suara lembut. Delta tampak terkejut, ia bangkit dari tidurnya dengan cepat dan tidak memperkirakan langkahnya. Karena kecerobohannya ia terjungkal ke bekalang dengan kepala mendarat lebih dulu di lantai. Pria itu mengaduh. Ava cepat-cepat merangkak untuk memeriksa keadaan Delta. Pria itu tampak menyedohkan. “Astaga, Delta!” Ava menjerit tertahan. “Apa yang kaulakukan!” serunya lagi. Delta mencoba bangkit lagi, kali ini lebih berhati-hati. Saat ia berhasil berdiri dengan benar, saat itu juga Ava sampai di hadapannya. Ia mengusap belakang kepalanya yang sakit, merengut. “Apa kepalamu berdarah? Mana yang sakit? Aku akan memanggil ambulans kalau parah.” Cecar Ava sambil berjalan mengitari tubuh Delta dan berhenti di belakang pria itu. “Sebelah mana yang sakit?” tanyanya lagi. “Aku… baik-baik saja.” Ucap Delta lirih. “Astaga, Delta! Kau baru saja jatuh. Bagaimana mungkin kau bisa bilang baik-baik saja? Katakan padaku di mana yang sakit!” Delta berbalik dan menatap Ava dengan tatapan tanpa dosa. “Percayalah, aku memang baik-baik saja. Tidak sesakit itu.” katanya. Ava mengambil napas dalam. “Apa kau serius?” Delta mengangguk. “Aku mungkin tidak pernah serius selama ini. Namun kali ini aku serius. Tidak separah yang kau bayangkan.” Katanya. Mereka lalu berdiri dalam kaku selama beberapa saat ke depan. Kecanggungan yang begitu nyata menyelimuti keduanya. Ava tidak tahu apa yang saat itu dirasakan oleh Delta. Pria itu sepertinya malu atau entah apa. Atau mungkin dirinya lah yang salah bersikap? “Syukurlah kalau kau baik-baik saja.” Katanya pada akhirnya. Delta mengangguk. Tanpa diduga, ia meraih kedua tangan Ava. “Aku ingin bicara padamu.” Jauh sebelum Delta mengatakan hal itu, Ava sudah mempersiapkan dirinya. Ya, mungkin mereka memang harus bicara. Atau lebih tepatnya Delta ingin mengatakan sesuatu padanya. “Mungkin sebaiknya kau mandi dulu. Aku bisa mencari baju ganti untukmu.” “Baiklah. Aku membawa baju ganti kurasa. Tolong berjanjilah padaku kita akan bicara setelah kau dan aku mandi.” Pinta Delta. “Baiklah.” Ava mengangguk. “Jadi, di mana baju gantimu?” “Kurasa Nick sempat memasukkan beberapa potong pakaian di ransel yang kubawa semalam.” “Kau membawa ransel?” tanya Ava sambil melongok ke luar jendela. “Kenapa aku tidak tahu?” “Ini rencana Nick. Dia bahkan membawakanku sebotol minuman.” “Astaga. Kalian benar-benar anak badung.” Ava berkomentar. Seperti apa yang selama ini ia lakukan. Melihat itu, Delta menarik tangan Ava hingga wajah gadis itu menabrak dadanya. “Ini terakhir kalinya kau memanggilku bocah. Apa kau bisa melakukannya?” Delta menunduk dan mencium Ava seperti yang dia lakukan semalam. Satu tangannya menyentuh wajah gadis itu. Ketika Ava menarik diri, Delta menahannya dengan sekuat tenaga. Ia melepas pagutan bibir mereka, “Bisakah?” Ava ragu menjawab pertanyaan Delta. Meski begitu ia tetap mengangguk. “Akan kucoba.” “Bagus.” Delta melepas Ava dan berbalik menuju kamar mandi yang terletak di kamar Ava. Ia pernah melakukan tour di rumag Ava sebelumnya dan dia tahu di mana letak kamar mandinya. Saat mencapai pintu, Delta berbalik, “Mau mandi bersamaku?” tanya pria itu dibuat sejantan mungkin. Ava menahan tawanya. Delta memang sama sekali tidak cocok dengan karakter barunya sebagai pria dewasa. Meski begitu, ia menghargainya. “Tidak, mungkin lain kali.” Lanjutnya lalu berjalan menuju balkon. “Aku akan menunggu sampai kau siap.” Delta setengah berteriak saat mengucapkannya. Bagaimana pun posis mereka tidak boleh diketahui oleh penghuni rumah yang lain. ** Usai mandi dan sarapan di dalam kamar Ava, mereka memutuskan untuk duduk di salah satu sofa yang terletak tak jauh dari jendela kamarnya. Ava memilih tempat itu karena di sana lah mereka tidak akan terlihat dari sudut mana pun. Sebelumnya ia sudah bertemu dengan ibunya dan mengatakan kalau ia akan beristirahat seharian ini karena kurang enak badan. Untungnya, Elsa, sang ibu yang baik hati itu tidak keberatan dengan permintaannya. Elsa berniat mengirim dokter keluarga untuknya, tetapi Eva menolak mentah-mentah ide itu. Ia mengatakan kalau ia hanya kelelahan saja dan istirahat adalah obat yang paling manjur untuk sakit palsunya. “Jadi,” Ava memulai, penting atau tidak pembicaraan mereka, ia harus segera menyelesaikannya. Delta tampak meletakkan gelas kopinya. Ia mengarahkan pandangannya pada Ava dan seolah sedang mengamati dirinya luar dan dalam. “Aku tidak begitu mengingat apa yang kukatakan semalam.” akunya. Mendengar pengakuan itu, Ava langsung mengembuskan napas lega. “Kurasa kau tidak harus mengingatnya.” Ucap Ava tulus. Ia tahu pasti ada sesuatu yang salah. “Aku sudah melupakan semuanya.” “Apa aku bertindak bodoh lagi?” tanya Delta sedikit gugup. “Lumayan.” Sahut Ava sambil menahan tawa. “Kau selalu seperti itu. Syukurlah kau datang ke rumahku. Aku tidak bisa membayangkan kalau kau datang ke rumah orang yang salah.” Delta mendengus, tahu kalau Ava sedang melempar sindiran sarkastik. “Ava, bisakah sekali saja kau menganggap aku serius?” gerutunya. “Apa?” Ava mengerutkan keningnya dalam. “Apa yang salah? Hey, kenapa kau jadi pemarah begini? Apa aku melakukan sesuatu yang menyinggung harga dirimu? Dan sejak kapan kita-“ “Ava...” Delta menatapnya tajam. Ini kali pertama Ava melihat kemarahan Delta secara langsung. Biasanya, pria itu tidak pernah marah. Kecuali saat berhadapan dengan musuhnya. “Baiklah-baiklah. Aku minta maaf. Maafkan sikapku yang lancang. Sampai di mana kita?” “Nick yang menyarankan agar aku datang kemarin dalam keadaan mabuk dan aku menerima saran itu.” Delta memulai. Hal itu sedikit membuat Ava gugup. Meski begitu, ia tetap memasang tampang ­seolah tidak terjadi apa-apa di sana. “Dan aku setuju untuk menjalankan rencananya.” “Jadi, kau tidak datang sendirian?” Delta menggeleng. “Tidak. Aku, Nick dan Volta datang bersama.” “Oh, kalian memang anak-anak nakal. Bagaimana mungkin kalian menyelinap ke rumahku saat malam hari? Aku tidak bisa membayangkan kalau ayahku melihat ini.” “Aku tahu… aku tahu…” Delta meremas rambutnya yang kini sudah semakin panjang. “Maka dari itu kami sangat berhati-hati. Ini rencana Nick. Sudah kukatakan padamu, bukan?” “Dan kau setuju. Itu intinya.” Delta tampak merasa bersalah. Ia mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. “Apa saat ini aku terlihat bodoh di matamu?” tanyanya. “Tidak. Kau selalu seperti itu dan aku menyukainya.” Ujung bibir Delta terangkat hingga membentuk sebuah senyum simpul. “Alasan memintaku datang dalam keadaan mabuk adalah karena aku tidak mungkin bisa bicara serius saat tidak mabuk.” Delta memulai. “Tapi, kurasa aku siap melakukannya sekarang. Aku sudah menunggu belasan tahun untuk ini. Ava, aku tahu aku payah dan ceroboh saat berhadapan denganmu. Aku bodoh, t***l dan kenakak-kanakan. Aku tidak tahu kenapa semua itu bisa terjadi padaku. Kurasa aku terlalu… menyukaimu.” Hening. Delta menjeda ucapannya dan kembali memainkan gelas kopinya. “Aku selalu gugup saat berhadapan denganmu. Mungkin itulah alasan aku bersikap bodoh. Tapi aku serius dengan ucapanku semalam kalau aku mencintaimu. Aku membuat banyak tattoo namamu di tubuhku. Apa kau sudah melihatnya.” Pengakuan itu benar-benar mengejutkan Ava. Ia tidak habis pikir Delta akan mengatakan hal ini padanya. Bertahun-tahun mereka berteman, tidak pernah sekali pun ia berpikir kalau Delta ternyata memendam perasaan padanya. Kini Ava ingin menganggap kalau semua ini hanyalah mimpi dan ia berharap segera bangun dari mimpi panjangnya. Itu saja. “Aku tahu kau terkejut, Ava. Tapi kurasa Nick benar, aku harus mengakuinya cepat atau lambat. Aku tidak lagi punya banyak waktu. Saat Bruce mengatakan kalau kau berada di club bersama Eva, aku panik dan takut. Aku berpikir bagaimana jika kau bertemu dengan seorang laki-laki lalu kalian jatuh cinta. Aku tidak mau mendapati diriku dalam posisi itu dan menyesal suatu hari nanti. Sudah terlalu banyak waktu yang kusia-siakan untuk hanya mengagumimu dari jauh. Dan kini saat yang tepat untuk… kita.” Ava mencoba meresapi kata-kata Delta. Benarkan Delta selama ini melihatnya dalam versi seorang gadis yang dicintai? Bukan sebagai sahabat atau kakak seperti yang selama ini ia lakukan pada pria itu? Jika hal itu benar, betapa malangnya nasib mereka. “Delta-“ Sebelum Ava menyelesaikan kata-katanya, Delta lebih dulu memotong. “Ava, kumohon jangan anggap aku anak-anak lagi. Aku sudah dewasa dan aku serius dengan ucapanku.” “Aku masih tidak percaya dengan semua ini. Ini… terlalu sulit untuk diterima.” Akunya. Delta bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri Ava. Pria itu berlutut di depan kaki Ava. Ia menggenggam kedua tangan Ava dan menatap gadis yang selama ini dicintainya dengan tatapan memuja. “Aku hanya ingin mencintaimu dan berharap kau membalas perasaaanku. Kalau memang saat ini kau belum siap, kita bisa mencobanya. Aku akan menunggu sampai kau siap. Yang terpenting saat ini adalah kau sudah tahu bagaimana perasaanku padamu. Jangan berubah dan tetaplah menyukaiku seperti sebelumnya. Dan tolong, mulai sekarang jangan anggap aku anak-anak lagi. Apa kau bisa melakukannya?” Ragu. Ava merasa dirinya tidak benar-benar bisa berpikir dengan jernih saat ini. Delta datang dengan semua kalimat yang sangat sulit diterima oleh logikanya. Bagaimana mungkin, seorang Delta bisa jatuh hati padanya? “Delta, kau yakin dengan apa yang kau katakan? Jangan terburu-buru menyimpulkan. Mungkin kau menyukai Eva. Atau mungkin saja kau suka padaku karena memang kita bersahabat sejak kecil. Kita bahkan sekolah di sekolah yang sama sejak sekolah menengah pertama. Coba kau renung dan pikirkan. Aku hanya takut kau keliru menafsirkan persaanmu.” Di luar dugaannya, Delta menyambar bibir Ava dan mengulumnya selama beberapa saat. Setelah puas melakukan itu, ia menyatukan kening dengan kening Ava. “Aku tidak mungkin salah. Apa ciuman tadi terasa main-main?” tanyanya dengan suara berat dan dalam. Ava menggeleng. Delta memang menciumnya layaknya laki-laki dewasa. Bukan seperti anak-anak. Astaga, apakah Delta benar-benar sudah berubah? “Jadi, apa jawabanmu?” “Apa?” Ava nyaris mengulum bibir Delta yang menggoda dan penuh dosa itu. “Kau bahkan tidak bertanya padaku.” “Apa kau percaya kalau aku benar-benar menyukaimu?” Ava mengangguk, lalu menggeleng. “Mungkin.” Katanya ragu. “Ava…” Delta meletakkan satu tangan di pinggang Ava dan mengusap bagian itu dengan jemarinya. “Aku butuh jawaban.” “Baiklah, aku percaya.” Katanya sambil berusaha berdiri tetapi langsung ditahan oleh Delta. Dengan gerakan secepat cahaya, Delta mengangkat tubuh Ava dan membawanya kembali ke ranjang. Pria itu mengulangi aksinya dengan menghujani Ava dengan ciuman yang bertubi-tubi. Hingga saat mereka sama-sama nyaris kehabisan napas, Delta menjeda ciuman itu dan menatap Ava penuh cinta. “Aku hanya percaya pada kata-katamu. Bukan berarti kau boleh menciumku seperti ini lagi.” “Padahal aku sempat berharap aku memiliki akses untuk memiliki seluruh tubuhmu. Bukan hanya bibirmu ini.” Katanya tepat di depan bibir Ava. Delta membelai rambut panjang gadis yang kini berbaring di bawah tubuhnya. “Aku mencintaimu, Ava.” Akahkan cinta mereka sesederhana itu?  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN