RELATED TO EACH OTHER.
DELTA tidak pernah merasa sebaik ini sebelumnya. Akhirnya ia berhasil dengan rencana yang ia susun dengan Nick dan Volta. Betapa beruntungnya dirinya memiliki dua orang itu sebagai support sistemnya. Tanpa mereka, mungkin saat ini ia tidak akan bertindah sejauh ini. Delta seolah bisa merasakan sepasang sayap berwarna putih tumbuh di punggungnya. Sesaat kemudian mengira telah terbang ke langit ke tujuh dengan menggendong seorang dewi dalam pelukannya.
Dengan terpaksa, Delta menarik diri. Ia tidak ingin membunuh Ava dengan ciuman-ciuman panas tanpa pernah meras puas dengan semua itu. Tatapannya terarah pada sepasang manik mata terindah yang pernah ia lihat sepanjang hidupnya. Milik Ava.
“Bisakah kau turun dari tubuhku? Kalau kau terus berada di sana, aku tidak yakin bisa hidup lebih lama.” Ucap gadis itu dengan senyum nakal.
“Kumohon,” Delta merangkak turun dari tubuh Ava. “Jangan berbicara seperti itu.”
Seolah memahami kekesalannya, Ava yang masih berbaring mengusap rambut Delta dengan sayang. Sama seperti yang gadis itu lakukan sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku taman kanak-kanak. Delta menyimpan berbagai macam foto yang sempat diabadikan oleh ibunya sejak ia masih kecil. Foto yang hanya memuat dirinya dan Ava. Dari semua itu, ia tahu Ava memang memperlakukannya seperti anak-anak. Contohnya, gadis itu selalu mengusap rambutnya saat ia sedang kesal, sedih atau bahkan senang. Seperti sekarang.
“Kau mengulanginya lagi.” gerutu Delta sekali lagi.
Ava mengerjap, ia menarik tangannya secara spontan. “Apa?”
“Memperlakukanku seperti anak-anak.”
Ava tidak bisa menahan diri untuk tidak meringis, Delta melihat semua itu. “Boleh aku bertanya sesuatu padamu?” gadis itu berbaring miring, agar bisa menatapnya lebih dekat.
“Kuharap ini bukan jenis pertanyaan yang akan menentukan apakah aku akan lolos atau tidak di tahap pertama.” Ujarnya hati-hati.
“Astaga, kau mulai terdengar menyebalkan.” Kali ini Ava yang menggerutu. “Sekarang aku benar-benar takut.”
“Apa yang kau takutkan?” Delta melempar pertanyaan kepada Ava, ia berbaring miring agar wajah mereka sejajar. “Kau benar-benar cantik.” Katanya polos.
“Delta,” Ava mengembuskan napas berat. “tolong berhenti menatapku seperti itu dan mengatakan hal yang tidak-tidak.”
“Hay, aku serius.” Katanya sedikit tersinggung. “Aku selalu mengatakan kepada teman-temanku betapa cantiknya dirimu.”
“Apa aku secantik Eva? Dia… saudara kembar yang sempurna. Terkadang aku iri melihatnya.”
“Kau? Dan Eva? Pertanyaan macam apa ini? Kalian jauh berbeda.” Delta menyelipkan sejumput rambut yang terjatuh di pelipis Ava ke belakang teling wanita itu. “Kau jauh lebih cantik darinya.”
Ava mendengus keras, seolah sengaja mengatakan kepada Delta kalau pria itu sangat keterlaluan. “Kau melihat dari segi mana sebenarnya? Jelas-jelas Eva sangat cantik dan aku tidak bisa dibandingkan dengannya. Kau semakin menyebalkan. Aku benar-benar tidak suka caramu berbohong!” katanya ketus.
“Berbohong?” kening Delta mengekerut saat mendengar Ava menuduhnya seperti itu. “Aku tidak berbohong saat mengatakan kau cantik. Sungguh! Kau memang jauh lebih cantik dari Eva.”
“Kau mengatakannya karena kau sedang jatuh cinta.”
“Aku jatuh cinta padamu sejak kita masih sangat kecil. Kau saja yang tidak menyadarinya. Jujur, aku lebih suka cantikmu di banding cantiknya Eva. Meski kalian kembar identik, aku selalu suka melihatmu tanpa make up seperti pagi ini. Dengan sorot mata yang selalu bersinar, kau…” Delta berhenti selama beberapa saat. Ekspresinya pasti tampak konyol saat ini, tetapi ia tidak mempedulikan semua itu. “apa kata yang tepat untuk menggambarkan kecantikan seseorang selain menggunakan kata ‘cantik’?”
Ava berpikir sejenak. “Entah. Coba saja kau temukan sendiri jawabannya.”
“Sebentar.” Delta memikirkan kata-kata Eva. “Menakjubkan. Ah, ya, begitu. Ava, kau benar-benar menakjubkan.” Ucapnya penuh semangat.
Kini, Ava benar-benar tidak bisa membendung tawanya. “Aku baru saja mengira kau sudah berubah menjadi pria dewasa. Ternyata aku salah.”
“Mulai lagi.” keluh Delta kesal. “Sudah kubilang, aku sudah dewasa. Perbedaan usia kita hanya satu tahun. Itu tidak masalah, bukan?”
“Tidak.” sahut Ava sambil melihat ke langit-langit. “Aku ingin memberitahumu satu rahasia terbesar seorang wanita.” Katanya serius.
Delta mendadak panik mendengar hal itu. Astaga, rahasia? Wanita? Ia sama sekali tidak ahli dalam hal ini. Bagaimana kalau Ava menolaknya lagi? Tidak, itu tidak boleh terjadi. Sudah bisa dipastikan ia akan mempermalukan nama Klannya jika hal itu terjadi.
“Hey,” Ava melambaikan tangan tepat di depan wajah Delta. “Kau terlihat pucat. Ada apa? Ada ada Sesutu yang kaulewatkan? Seperti-“
“Katakan apa raahasianya.” Ucap Delta langsung pada inti permasalahannya.
“Oh, baiklah. Kau benar-benar tidak sabaran.” Ava berdeham singkat. “Kau mengatakan kalau usia kita hanya terpaut satu tahun. Baiklah, kurasa itu bukan masalah besar. Kami, para wanita punya rahasia kecil.” ia kembali menjeda ucapannya. “Kau benar-benar ingin mendengarnya?”
Delta memutar bola mata. “Ava, jangan mempermainkanku.”
Ava terkikik. “Oke. Kau memang anak yang tidak sabaran.”
Delta berdeham. Mencoba memperingatkan Ava lewat tatapannya.
“Baiklah. Aku minta maaf.” Ia mengangkat kedua tangan ke udara. “Ralat. Kau memang pria yang tidak sabaran. Serius, kami para wanita memang punya rahasia kecil. Dan karena aku sedang dalam keadaan yang tidak terlalu buruk, aku ingin membocorkan rahasia itu padamu. Delta, kita memang hanya berbeda satu tahun. Tapi kau harus tahu kalau sebagian besar wanita lebih suka berkencan dengan pria yang lebih dewasa. Kau paham ‘kan maksudku?”
Delta menarik napas dalam-dalam. “Sangat. Terima kasih pencerahannya.”
“Jadi?” Ava mengangkat sebelah alisnya.
“Apa?” Delta tampak lebih santai dari sebelumnya.
“Jadi, apa kau tidak berniat mundur?”
Sejak awal, Delta tahu kalau tujuan Eva mengatakan semua ini adalah untuk membuatnya mundur. Ia bersumpah kepada dirinya sendiri untuk tidak terpengaruh dengan kata-kata itu. “Katanya kau mau bertanya? Apa yang ingin kautanyakan padaku?” Secepat kilat, ia mengubah arah pembicaraan ke topik semula.
Ava melongo, tampak terkejut dengan pertanyaannya. Gadis itu mengerjap beberapa kali untuk memulihkan kesadarannya. “Ah, ya.”
“AKu menunggu.” Sahut Delta santai. “Kurasa kita punya waktu seharian untuk menjawab pertanyaan yang akan kau ajukan padaku.”
Ava memutar bola matanya. “Ya. Aku tidak mungkin membawamu keluar dari sini sekarang. Itu akan mengundang keributan di rumah ini. Sudah berapa banyak wanita yang kau cium?”
Pertanyaan itu nyaris membuat Delta tertawa. Seberapa banyak? Ia tidak benar-benar ingat akan hal itu. “Kau mau aku menjawabnya dengan jujur?”
“Kalau kau berbohong, kuanggap semua kata-katamu juga bualan.”
“Baiklah. Kurasa aku memang tidak perlu berbohong. Baik, kita mulai ceritanya.”
“Hey, tunggu.” Ava menyela. “Kau hanya perlu menjawab dengan angka. Bukan dengan narasi yang panjang dikali lebar. Itu akan membuat pembaca bosan dengan kisah kita.”
“Eh?” Delta mengangkat satu alisnya. “Kau dan aku sudah berubah menjadi kita?” tanyanya dengan raut wajah geli.
“Delta.” Kali ini giliran Ava yang mengintimidasi dengan tatapan itu.
“Baik, kita mulai.” Delta mengubah posisinya. Ia berbaring terlentang di atas tempat tidur Ava dan mulai bercerita. Dengan melihat langit-langit kamar gadis itu, mungkin otak kotornya bisa sedikit teralihkan dari… banyak hal yang berbau nakal. “Aku memulainya sejak masih duduk di tingkat dua sekolah menengah pertama. Kupikir aku perlu mempersiapkan diri untuk perpisahan liburan musim dingin. Waktu itu aku berniat menemuimu dan mengucapkan salam perpisahan karena kita tidak akan bertemu selama beberapa minggu. Aku dengan sengaja menjebak salah satu teman asramamu yang kelihatannya tertarik padaku untuk…” ia meringis, menolah ke arah Ava selama beberapa saat dan kembali fokus dengan langit-langit kamar. “berciuman.”
“Sidney Robert.” Tebak Ava.
“Kau tahu?” tanya Delta. Ia benar-benar terkejut Ava bisa menebak tepat sasaran.
“Aku pernah mendengar dia mengatakan kalian berciuman. Ingat, para gadis sangat suka menyombongkan diri mereka jika berkaitan dengan laki-laki.”
“Akan kuingat itu.” Delta mendengus. “Kudengar dia pandai berciuman dengan para laki-laki. Aku membawanya keluar dari asrama dan menciumnya. Semua itu kulakukan demi dirimu.”
“Hey,” Ava tampak tersinggung. “Aku tidak tahu apa maksudmu mengatakan hal ini. Aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan semua yang terjadi padamu.”
“Dengarkan aku dulu.” Delta mendengus. “Aku meminta dia mengajariku berciuman agar saat aku menemuimu untuk mengucapkan salam perpisahan aku bisa menciummu dengan lebih baik. Ternyata saat itu Jordan muncul dan mengacaukan semuanya.”
“Catat.” Ava melempar tatapan kesal ke arahnya. “Aku tidak menginginkan itu. Aku menganggapnya kau hanya sedang mencari alasan.”
“Aku serius.?” Ujar Delta sungguh-sungguh. “Aku bahkan rela memberikan ciuman pertamaku pada Sidney. Huh! Menyebalkan!”
“Baiklah. Bisa diterima.” Ava menahan senyuman di ujung bibirnya, Delta bisa melihat semua itu. “Selanjutnya?”
Berpikir sejenak, Delta kembali melanjutkan kisahnya. “Saat kita kuliah. Aku pura-pura berkencan dengan teman satu kelasku. Kupikir hal itu akan membuatmu cemburu, tetapi aku salah. Kau justru mendukungku waktu itu.”
Ava terkikik. “Aku hanya sedang menjadi teman yang baik untukmu. Kupikir kau terlalu banyak menghabiskan waktu dengan Nick, Volta dan aku hingga kau sulit bergaul dengan wanita. Ingat, aku sering memberimu saran setiap sabtu malam dan berharap kau tidak mengacaukan kencanmu?”
“Kau bahkan pernah menyarankan agar aku selalu membawa kondom di dompetku.”
“Nah,” Ava tampak bangga saat mengingat hal itu. “Apa kau melakukannya?”
“Tidak.” Delta mengedikkan bahu. “Aku sama sekali tidak memerlukannya.”
“Dasar sombong.” Komentar Ava setelah mendengar satu kalimat itu keluar dari mulut Delta.
“Ngomong-ngomong, terima kasih banyak untuk sarannya. Aku sama sekali tidak pernah menggunakan saran yang kauberikan karena aku tidak pernah benar-benar berkencan dengan siapa pun. Kau lah yang selama ini kuinginkan.”
Ava bergelung di atas tempat tidurnya dan berniat memeriksa ponselnya. Namun, sebelum ia berhasil turun dari ranjang, Delta lebih dulu menahan pinggangnya dan memeluknya dari belakang. “Berniat kabur?”
“Tidak.” sahut Ava sembari melepaskan diri dari pria itu. “Aku hanya ingin memeriksa ponselku. Lepaskan aku, Delta.”
Delta menggeleng, semakin mengeratkan pelukan di pinggang Ava. “Pembicaraan kita belum selesai.”
“Kau hanya perlu mengatakan padaku berapa gadis yang sudah kau cium. Itu saja. Kau bisa mulai menghitungnya saat aku memeriksa ponselku.”
“Sekali ini saja, abaikan benda sialan itu.”
“Hish.” Ava melepaskan kedua tangan Delta yang melingkar di perutnya. Ia berbalik dan menatap pria itu dengan ekspresi kesal. “Kenapa tiba-tiba kau berubah jadi sangat menyebalkan!” gerutunya.
“Dengarkan aku,” kata Delta lirih. “Aku hanya pernah mencium tiga gadis. Semua itu kulakukan hanya untuk menarik perhatianmu. Apa pertanyaanmu sudah cukup terjawab, Nona?”
Dengan senyum jahilnya, Ava mengangguk. “Terima kasih. Nah, bisakah kau melepasku? Aku benar-benar harus memeriksa dokumen yang mungkin diperlukan ayahku.”
“Kau tidak perlu bekerja sekeras ini untuk ayahmu.” Gerutu Delta sambil melepaskan Ava. Ia melihat gadis itu merangkat di atas tempat tidur dan mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas. Selama beberapa saat, Ava tampak serius memandangi alat komunikasi itu. Menit demi menit berlalu, Ava larut dengan benda sialan itu dan mengabaikan Delta.
Seharusnya, Delta tidak perlu keberatan dengan apa yang saat ini dilakukan oleh Ava. Namun, melihat sebuah senyum simpul di wajah gadis itu membuat alarm dalam dirinya berbunyi nyaring. Pasti ada sesuatu yang tidak beres yang membuat Ava tersenyum. Ia ragu hal itu berkaitan dengan pekerjaan. Delta memutuskan untuk berdeham, berharap Ava menyadari kehadirannya.
Nihil. Gadis itu sepertinya benar-benar lupa kalau di sana ada mereka berdua, bukan hanya dia seorang. Kali ini ia memberanikan diri untuk mengucapkan sesuatu, “Belum selesai?” tanyanya.
Ava mengangkat wajah, menoleh ke arahnya. “Aku sedang membalas pesan dari Jordan.” Katanya jujur.
Ada sesuatu yang seolah menghantam telak d**a Delta saat mendengar nama itu disebut. Jordan. Ia masih ingat saat hari ulang tahunnya pria itu menculik Ava dan membawanya pergi jauh dari jangkauannya. Juga saat perpisahan sebelum liburan musim dingin. Atau saat ia nyaris membawa Ava keluar dari pesta salah satu teman kuliah Ava yang kebetulan Delta ada di sana. Jordan adalah satu-satunya laki-laki yang namanya akan selalu abadi di hidup Delta karena seringnya dia menculik Ava.
“Kau masih berhubungan dengannya?” tanya Delta dengan nada yang dibuat sesantai mungkin.
“Tentu. Kami berteman baik sampai sekarang.” Jawab Ava antusias.
“Oh, ya? Bagaimana kabarnya sekarang?”
Ava kembali fokus pada ponselnya. Hanya untuk sesaat, ia lalu meletakkan benda tersebut di atas nakas dan kembali fokus pada Delta. “Dia bekerja di salah satu firma hukum dan menjadi pengacara yang cukup hebat menurutku. Kau tidak pernah bertemu dengannya?”
Delta mengedikkan bahu. “Entah. Aku sendiri lupa.”
“Hey, kau terdengar sinis, Delta.”
“Benarkah?” Delta menyandarkan punggung di kepala ranjang. “Aku hanya terkejut mendengar kau dan Jordan masih berhubungan.”
Ava mengikuti gerakan Delta dengan memposisikan dirinya di kepala ranjang. “Dia pria yang menyenangkan.” Ucap gadis itu sambil menatap lurus ke depan.
“Senang mendengarnya.” Komentar Delta. Ia memejamkan mata. Baiklah, Jordan. Mulai hari ini ia akan mencari tahu apa saja yang berhubungan dengan Jordan dan bagaimana hubungan Ava dengan pria itu selama ini.
Keheningan membungkus ruangan itu cukup lama. Ava menyandarkan kepala di bagu Delta lalu memejamkan mata rapat-rapat. “Tidakkah kau tahu?”
“Apa?”
“Ini seperti mimpi. Apa kau masih akan bertindak ceroboh lagi setelah keluar dari sini?”
“Apa sekarang kau sudah menganggapku pria dewasa?” Delta menunduk, berharap Ava membalas tatapannya. Saat dirasa gadis itu tidak juga bergeming, ia menarik dagu Ava dan menciumnya selama kurun waktu yang cukup singkat, versi Delta.
Hingga, Ava mendorong dadanya dan berkata, “Jangan mencimku terlalu sering. Kau bisa membuat organ dalamku mengalami kerusakan.”
“Kurasa ciuman tidak ada hubungannya dengan organ dalam.”
“Ada. Saat kau menciumku,” Ava mencoba berpaling darinya tetapi Delta menahan dagu gadis itu. Ia tidak ingin Ava berhenti menatapnya. “Kau membuatku tidak bisa bernapas dengan baik. Kurasa ciuman berkaitan erat dengan paru-paru dan udara.”
“Dan sampai kapan pun, kau dan aku juga akan selalu berkaitan erat seperti paru-paru membutuhkan oksigen aga bisa bekerja dengan baik setiap detiknya.” Ia menunduk dan kembali memagut bibir gadis itu. Kali ini, Delta merasakan Ava membuka mulut untuknya.
Tepat saat itu, ketika Delta nyaris mendorong Ava dan menindih gadis itu, terdengar sebuah ketukan deringan tepat di depan pintu kamar Ava. Disusul sebuah suara yang tak asing di telinga mereka berdua, “Ava, kau baik-baik saja? Tolong buka pintunya, Mommy ingin berbicara denganmu, Nak.”