Bab7 Rasa itu

1019 Kata
"Aara..." ucap lelaki di depannya yang mulai menyondong kian mendekat Aara rasakan, bahkan hembusan nafas itu kian lekat menurutnya. Aara sudah memejamkan kedua matanya, Aara pikir Angga mendekatkan tubuh dan wajahnya karena ingin menciumnya, hingga membuat Aara memejamkan kedua matanya, otaknya menyangkal keinginannya itu, namun tubuhnya tidak bisa menolak. "Brugh." Tiba - tiba tubuh lelaki itu malah ambuk dan lunglai membentur pundak Aara disana. "Akh...aku sudah berpikir macam - macam." Ucap Aara dengan leganya saat menyadari Angga ternyata tidak sedang ingin menciumnya. "Oh astaga!" ucap Aara yang baru sadar bahwa Angga tengah pingsan disana. Aara pun segera memapah tubuh lelaki itu dengan sedikit sempoyongan, karena memang berat Angga yang mungkin hampir dua kali lipat berat Aara, karena tubuh lelaki itu yang begitu tinggi. Aara segera meletakkan tubuh Angga diatas pembaringan, membaringkannya disana, dan Aara segera mengambil ponselnya, menatap pada layar ponsel tersebut, ia tengah mencari nomor Niken, karena temannya itu tidak kunjung untuk datang. Namun sebelum Aara berhasil menghubungi temannya, terdengar suara bel dari pintu apartemennya, tanda seseorang tengah membunyikannya, dan Aara segera tahu bahwa orang tersebut pastilah Niken, temannya. Dengan langkah cepat Aara menuju ke arah pintu apartemen, segera membukanya, dan benar saja Niken sudah berada disana. "Niken..." ucap Ara dengan manjanya sembari berhambur memeluk sahabatnya itu. "Kenapa baru datang? aku sudah ketakutan setengah mati tahu tidak!" ucap Aara disana, masih memeluk sahabatnya. "Sudah - sudah sayang...maaf...tadi ada urusan sebentar di rumah sakit." Ucap jujur Niken yang membuat Aara mengerti. "Ken...ayo Ken...coba kamu periksa Angga! dia tadi pingsan...aku khawatir dia kenapa - napa Ken..." ucap Aara yang merasa khawatir bercampur cemas, di tambah lagi jika Angga harus di bawa ke rumah sakit, ia tidak memiliki identitas, Aara benar - benar khawatir saat itu. "Tenang Sya...tenang...yang pasti itu sudah wajar kok...tidak apa - apa Sya..." ucap Niken pada gadis itu. Dan membuat hati Aara sedikit lega disana. "Sini Ken...dia sedang baring di kamar Ken..." ucap Aara pada sahabatnya. "Oh ya Ken...panggil aku Aara ya mulai sekarang, aku sangat senang dengan nama itu." Ucap Aara dengan tangan yang memeluk lengan sahabatnya itu. "Iya, sayang iya...aku akan turuti apapun yang kamu inginkan..." ucap Niken dengan seriusnya. "Waaaah sepertinya nama itu dipanggil oleh si tampan ya?" canda Niken yang mencoba menggoda sahabat baiknya. Lalu Niken pun mulai memeriksa Angga disana. "Sya...eh Ra...sepertinya si tampan ini dia siang tidak minum obatnya ya?" tanya Niken pada gadis yang kini tengah duduk di tepian ranjang di samping lelaki yang masih berbaring disana. Hingga sayup - sayup lelaki tersebut membuka matanya, menatap sekeliling disana. "Aara? Aara mana?" tanya Angga saat pertama yang ia panggil adalah Aara. "Aku disini Ngga..." ucap Aara sembari meraih jemari Annga dan di balas genggaman yang sama oleh lelaki itu. "Tampan...kamu belum minum obat siangmu kan?" tanya Niken segera. Dan Angga hanya mengangguk mengiyakannya saja. "Memang saya belum minum obat, karena saya tidak bisa masuk kedalam rumah tadi." Ucap Angga dengan jujurnya. "Pantesan kamu merasa pusing...memang benturan kepalamu lumayan kuat...selama beberapa hari kamu harus rutin minum obat ya..." ucap Niken yang lalu di angguki Angga dan Aara disana. Lalu Niken pun berpamitan untuk pulang sore itu. Saat itu tinggalah keduanya saja disana, Angga menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur, dan Aara masih duduk di samping ranjang, keduanya saling berhadapan satu sama lain. "Angga! maaf ya...aku hanya bisa mengobatimu ala kadarnya saja...kamu tahu sendiri, saat ini kamu kehilangan identitas kamu, semua info tentangmu tidak ada sama sekali, dan kamu tidak punya identitas, jadi tidak bisa dirawat di rumah sakit, aku bisa mendapat masalah jika menyembunyikan orang yang tanpa identitas, takutnya nanti aku dikira menculikmu, atau sengaja menyembunyikanmu Ngga! maaf ya..." ucap Aara dengan jujurnya. Dan Angga hanya bisa menyunggingkan senyumnya dan mengangguk mantap. "Kamu tahu...sepertinya kamu orang yang kaya raya Ngga...terlihat dari mobil yang kamu tumpangi dan meledak masuk kedalam jurang, oh ya...yang tersisa hanya satu stel pakaian kamu dan sepatu ber merk, serta...jam tangan mahal...tahu tidak harga jam tangan kamu saat aku browsing?" tanya Aara pada lelaki di depannya. "Rolex anti magnetique...hua...harganya selangiiit...kan jam tangan kamu itu rusak...lalu aku bawa ke tukang jam tadi waktu jam istirahat...eh...orangnya kaget bukan main...karena itu jam milik kamu harganya selangit, orangnya tidak berani memegangnya saja, dan tahu tidak? sudah empat toko jam yang aku masuki dan semuanya berkata yang sama, dan tidak berani memegangnya saja." Ucap Aara pada lelaki di depannya. "Sudahlah Ra...aku tidak peduli...sepertinya hidup aku yang dahulu sangatlah melelahkan...penuh tekanan pekerjaan dan penuh dengan ambisi yang harus aku kejar, dan sekarang sungguh aku merasa bebas dan lepas Ra...aku lebih senang seperti ini saja...aku bahagia Ra...sudah lah...jangan berniat untuk membuatku pulih, aku tidak ingin ingatan aku pulih, aku tidak ingin, aku lebih menyukai hidupku yang sekarang..." ucap Angga yang merasa lebih menyukai hidupnya yang ia jalani tanpa ingatan masa lalunya. "Ngga...jangan egois...semua aku lakukan karena aku berpikir bahwa mungkin ada seseorang yang akan merindukanmu, entah itu papa kamu, mama kamu, keluarga kamu, atau tunangan kamu, tidak mungkin kan lelaki se sempurna kamu tidak memiliki pasangan? atau bahkan itu adalah istri dan anak kamu, bagai mana nasib mereka tanpa mu, yang menantimu dan betharap kamu kembali." Ucap Natasya dengan kedua mata yang berkaca - kaca. "Entahlah Ra...aku merasa tidak ingin mengingat apa - apa lebih baik dari pada mengingatnya." Ucap Angga dengan seriusnya. Dan saat itu Aara hanya menatap kearah lelaki itu, ia berharap bisa menghiburnya. "Ehhh...jangan salah...meskipun kamu terlihat kaya raya...tapi...siapa tahu di suatu tempat ada seorang depkolektor atau rentenir yang menunggumu karena kamu mempunyai hutang pada mereka." Ucap Aara yang tidak tahu harus berkata apa lagi untuk menghibur Angga. "Aku lebih suka berhutang cinta denganmu Ra...dari pada berhutang pada orang - orang yang kamu sebutkan tadi." Ucap Angga dengan gombalannya. "Emmmb...kenapa bisa begitu?" tanya Aara yang ingin tahu. "Karena...jika aku berhutang cinta padamu...jelas aku akan kembali untuk melunasinya...dan aku pasti tidak akan tahu bisa lunas apa tidak." Ucap gombalan receh lelaki itu pada Aara. Karena ia tahu hatinya tidak pernah salah untuk nenilai seseorang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN