Bab 5 Khawatir

1005 Kata
"Akh gawat...aku lupa, aku keluar begitu saja tanpa membawa kunci, dan aku juga belum tahu kode akses pintu!" ucap dalam hati Angga sembari kedua tangannya memegangi kepalanya yang ia rasa sudah hampir pecah. Dengungan dan bayangan yang samar sering muncul di otaknya membuat Angga merasa ketakutan dan tertekan. "Akh!!" teriak Angga lagi karena sakit yang ia rasakan. "Nak kamu tidak apa - apa? ini sudah sampai..." ucap bapak - bapak yang membantu, sembari masih memapah tubuh Angga disana. "pak...bisa pinjam ponselnya? saya tidak bisa masuk kedalam, saya harus menghubungi seseorang." Ucap Angga dengan jujurnya. "Saya harus menghubungi seseorang untuk membawa kunci kemari pak..." ucap Angga lagi yang mendapat sambutan dari orang yang tengah memapahnya, bapak tersebut segera mengeluarkan ponselnya, begitu pula ibu - ibu yang tadi masih mengikuti keduanya, ia terlihat pula mengeluarkan ponselnya untuk Angga. Namun lelaki itu memilih untuk menerima ponsel dari orang yang telah memapahnya, dan menolak sopan ponsel yang ibu - ibu itu yang di sodorkan padanya. "Terimakasih bu...saya pakai ponsel bapak ini saja..." ucap Angga dengan sopannya, meski saat itu ia merasa kepalanya masih sakit. Segera saja Angga mengingat - ingat kembali nomor ponsel yang ia lihat beberapa kali tadi, untungnya ia menghafalkannya seperti apa yang Aara katakan padanya. Namun saat itu ia merasa kepalanya makin pusing berkunang - kunang, lalu Angga menyerahkan ponsel yang berdering dan belum Aara angkat itu pada orang yang memapahnya. "Pak...tolong turunkan saya saja, dan katakan padanya, untuk segera pulang..." ucap Angga dengan suara yang makin lirih di akhir katanya. Segera saja bapak itu melakukan apa yang lelaki muda nan tampan itu katakan, ia segera mendudukanya lesehan di bawah bersandar tepian tembok samping pintu apartemennya. Sedangkan di tempat Aara, gadis itu tengah mengikuti rapat yang sudah berlangsung lima belas menitan, terdapat banyak dewan guru yang ikut rapat disana, termasuk dirinya, dan juga bu Nia, serta pak Zaki, tidak ketinggalan pula bu Rena, yang memang selalu memilih duduk di samping pak Zaki, sedangkan di sampingnya lagi ada Aara, sengaja pak Zaki memilih duduk di dekat bu Aara, jadi pak Zaki duduk di antara bu Rena dan bu Aara, sedangkan di samping Aara ada bu Nia. Aara segera melihat layar ponsel miliknya, saat ia merasakan getaran pada ponselnya. "Tidak ada namanya? siapa sih yang iseng - iseng hari gini?!" dengus dalam hatinya, lalu mengabaikannya saja panggilan itu. Tidak berhenti disana, tiga kali panggilan masuk saat itu dari nomor yang sama, nomor tidak di kenal, sontak Aara baru teringat bahwa ada seseorang di rumahnya, seketika Aara pun langsung mengangkat panggilan tersebut disana. "Halo...ini siapa ya?" ucap pertama yang Aara ucapkan setelah ia memutuskan untuk menjawab panggilan dari nomer tersebut. "Halo...mbak...ini suminya sepertinya akan pingsan, saya tadi memapahnya dari jalan luar apartemen, nah suami mbaknya lupa bawa kunci sepertinya...mbaknya cepat pulang saja kalau begitu." Ucap orang tersebut pada Aara, sontak membuatnya berdiri begitu saja, membuat semua mata di dalam ruangan rapat tersebut menatap sejurus searah kearah Aara yang menjadi pusat perhatian. "Ada apa bu?" tanya pemimpin rapat langsung pada Aara. "Ouh maaf pak...saya izin dulu ya pak...sangat mendadak..." ucap Aara yang langsung mengambil tasnya dan membawanya pergi segera, meski belum mendapatkan persetujuan dari pemimpin rapat hari itu. "Ada apa sebenarnya bu? kenapa kamu bisa sampai tergesa - gesa seperti itu? padahal kamu tidak mempunyai orang tua, tidak memiliki sanak saudara, siapa sebenarnya yang bisa membuatmu sepanik itu bu Aara? tidak mungkin kan jika itu salah seorang tetangga saja?" ucap dalam hati pak Zaki dengan lamunannya. Hingga ia tersadar saat senggolan lengan dari tangan bu Rena yang sengaja bu Rena senggolkan padanya. "Pak Zaki melamun ya? tentang apa? bu Aara? ya elah pak...bu Aara kan cantik...jelas itu dari pacarnya lah...siapa lagi coba..." ucap bisikan bu Rena yang seketika membuat pak Zaki mengeratkan gigi - giginya dan mengatupkan bibirnya rapat disana. "Hemmz...bu...saya harap anda jangan menyebarkan gosip yang tidak - tidak ya bu...atau saya tidak akan tinggal diam jika teman saya tersakiti." Ucap pak Zaki dengan tegasnya, dan saat itu bu Rena hanya memalingkan wajahnya menatap ke arah lain, karena tatapan mata lelaki di sampingnya itu terlalu dalam menusuk baginya. "Siapa juga yang asal bicara, dimana - mana juga semua orang yang punya orang yang ia cintai pun bersikap demikian, dan itu wajar, hanya orang yang tidak pernah pacaran saja yang tidak tahu rasanya mengkhawatirkan orang lain." Ucap gerutu bu Rena disana, dan pak Zaki samar - samar bisa mendengar gerutuan dari wanita di sampingnya. Membuat suasana hati dari laki - laki itu menjadi berubah tidak menentu. "Benarkah Aara sudah memiliki seseorang yang ia cintai? tidak - tidak, setiap hari berangkat pagi pulang sore bahkan minggu pun ngelesi di sekolahan ini, tidak ada kesempatan bertemu dengan orang luar, kapan? dimana itu jika benar demikian?" ucap dalam hati Zaki saat itu, ia menjadi tidak fokus dengan hasil rapat hari itu yang ia ikuti. "Aku harus memastikannya dengan mata kepalaku sendiri, siapakah orang yang begitu di perhatikan oleh Aara, aku harus tahu! harus!" ucap Zaki pada dirinya sendiri, hingga rapat itu usai, dan semua terlihat berhambur keluar dari dalam ruang rapat, namun ia memilih untuk tinggal disana dengan memberi isyarat pada pak Zen, pak Zen adalah guru laki - laki teman pak Zaki yang juga mengajar di sekolahan tersebut. "Bapak tidak keluar?" tanya bu Rena pada lelaki yang masih betah duduk disana, membuatnya penasaran dan ingin tahu. "Silahkan ibu duluan, saya masih ada sesuatu yang harus saya bahas dengan pak Zen." Ucap Zaki pada wanita yang sudah berdiri terlebih dahulu darinya itu. "Oh...oke..." ucap Rena sembari pergi meninggalkan guru lelaki itu. Pak Zen yang mengerti bahwa Zaki ada perlu dengannya, hanya bisa menghampiri Zaki di tempat duduknya. "Ada apa Zak? jangan bilang kalau kamu mau tanya apa hasil rapatnya itu tadi ya?!" ucap pak Zen pada lelaki yang lumayan tampan di depannya setelah ia sampai di tempat Zaki berada. "Bukan pak Zen...ini lebih dari sekedar akan perang pak, emmmb...pak...saya tadi baru melihat bu Aara yang begitu khawatir, jadi...saya ingin mengajak pak Zen untuk menemani saya berkunjung ke rumah bu Aara, bisa?" ucap pak Zaki dengan sungguh - sungguhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN