36. Keresahan Hati

1844 Kata
“LO DARI MANA, DIN…!?” Rianti langsung bergegas menyusul Dina yang baru turun dari angkot tepat di depan rumahnya. Dina mendesah pelan. Dia terlihat kuyu dan letih. Karena jarak dari pasar tradisional ke rumah Rianti memang teramat jauh. Dina turun naik sebanyak lima kali dengan angkot. Cuaca matahari sore juga sangat terik, ditambah hatinya yang terbakar karena rasa kesal terhadap Dion. “Eh, orang ngomong ya dengerin toh!” sergah Rianti. “Aku habis dari rumah… ada buku catatan penting yang ketinggalan,” jawab Dina. “Terus kenapa lo jadi kuyu gini? Lo ketemu sama nyokap lo dan ribut lagi?” Dina menggeleng. “Terus kenapa?” Dina menatap letih. “Aku bertemu Dion.” Deg. Rianti tersentak. “D-Dion?” Rianti buru-buru menarik Dina duduk di bangku teras dan mendesak temannya itu untuk bercerita. Dina pun kemudian menceritakan semuanya. Selama Dina bercerita, berkali-kali Rianti menghela napas sesak. Dan ketika cerita itu usai, dia langsung mengomel. “Lo baru baikan ama Bagas, Din! Lo gimana, sih?” Rianti menatap sengit. “Aku juga nggak mau.” “Kalo nggak mau lo nggak akan ikut sama dia sampe sejauh itu.” “Tapi….” “Kadang gue juga heran ama lo. Lo yang terlalu lemah, atau emang sebenernya lo juga menikmatnya?” tanya Rianti. Kening Dina berlipat. “Menikmatinya?” “Iya. Siapa tau lo juga seneng digangguin sama Dion,” jawab Rianti ketus. Dina terperangah. Perkataan Rianti agak menyinggung perasaannya. Tapi Dina memilih diam. Terlebih sekarang ini dia menumpang di rumah Rianti. Dia hanya bisa diam mendengarkan Rianti yang masih mengomel. “Kalo Bagas tau! Dia bakalan mengamuk lagi.” Dina hanya menghela napas sesak. “Gue ngomong begini karena khawatir ama lo! Kemarin lo uring-uringan nggak jelas selama berantem sama Bagas. Tapi baru dua hari jadian, lo malah nyari gara-gara lagi.” “Iya… aku yang salah.” suara Dina terdengar lirih. “Lo harus tegas, Din!” “Iya. Aku juga berusaha! Aku juga nggak mau diganggu terus-terusan.” Sunyi. Rianti agaknya juga sedikit menyesal karena berkoar-koar terlalu banyak. Dina pun melirik Rianti perlahan. Dina meras ada alasan lain yang membuat Rianti menjadi gusar. Entah kenapa, Dina merasa bahwa Rianti cemburu padanya. Rianti tak ingin Dina dekat dengan Dion. Sosok lelaki yang memang Rianti sukai. Dina coba mengerti. Dia tidak akan mempertanyakannya. Cukup memahami dan mengambil sikap. Dia pun juga tak terbersit keinginan untuk dekat dengan Dion. Semua yang terjadi hari ini semata-mata karena kebetulan. Sesuatu yang tidak ia rencanakan. Dan semuanya juga berakhir dengan sakit hati. Tapi apa gunanya menjelaskan semua itu pada Rianti yang masih berapi-api. Lebih baik diam. Dina sadar akan posisinya saat ini. ** Malam harinya, Dina masih merasa kesal dan bingung karena buku catatannya yang sudah hancur. Padahal ia sangat memerlukannya untuk esok hari. Buku catatan itu terbilang istimewa. Karena berisi ringkasan rumus-rumus penting yang sudah Dina susun sedemikian rupa. Buku itu memuat tak hanya konsep penting satu mata pelajaran saja. Dina bersusah payah membuat ringkasan catatan ‘ajaib’ yang sangat membantu dan bisa diandalkan itu. “Haaah.” Dina mengembuskan napas panjang. Dia duduk termangu beberapa saat di kamar Rianti. Sementara sohibnya itu sedang rebahan dan sesekali tertawa. Rianti sedang menonton reality show kocak favoritnya. Dina termenung. Membayangkan satu hari melelahkan yang tadi ia lalui bersama Dion. Dina ingin melupakannya, tapi segala yang terjadi justru malah menari-nari dalam ingatan. Dina mendesah pelan. Dia tidak bisa membiarkan diri larut terlalu lama. Dina meraih buku catatan kosong yang baru saja ia beli. Dina ingin membuat lagi catatan ajaibnya. Menjengkelkan memang, tapi Dina harus membuatnya kembali. Dia mulai tekun menulis. Tapi tak lama kemudian handphone milik Rianti berdering. “Siapa ya?” Rianti bangun dari ranjangnya dan mengambil handphone yang sedang dicas. Eh. Rianti mengernyit. “Bagas nelpon gue.” Dina menatap bingung. “Oh. Iya, Gas… oke oke bentar.” Rianti lalu menyerahkan handphone itu kepada Dina. “Katanya nomor handphone lo nggak aktif. Dia mau ngomong sama lo, nih!” “Oh, hp aku emang mati sih.” Dina kemudian berbicara dengan Bagas. “Din… aku mau ngajak kamu keluar,” pungkas Bagas. Rianti yang ikut menguping di sebelah Dina pun langsung mengangguk-angguk. “T-tapi….” Dina berpikir sebentar. Masih ada banyak tugas sekolah yang harus ia selesaikan.” Tapi tiba-tiba saja Rianti merebut handphone itu dan berbicara pada Bagas. “Udah lo ke sini aja jemput dia. Gue pastiin dia bakalan ikut kok!” Tut. Rianti pun langsung mematikan teleponnya. Dina menatap kaget. “Udah… lo itu butuh hiburan. Otak lo lagi sumpek, kan? Seneng-seneng sana.” Rianti tersenyum lebar. “Tapi tugas aku buat besok masih banyak. Aku juga nggak enak keluar malam sama ibu kamu.” “Tugasnya bisa dikerjain nanti. Dan urusan sama ibuk gue selow aja. Sekarang ayo buru siap-siap. Kalo lo gak punya outfit… gue pinjemin baju yang paling bagus milik gue.” Dina menghela napas pasrah. Ia merasa berat hati untuk pergi bersama Bagas. Bukan apa-apa, sebelumnya Dina memang tidak pernah bepergian di malam hari bersama Bagas. Kalaupun ada situasi yang mendesak, Dina lebih memilih untuk menundanya saja. Sementara Rianti malah sangat antusias. Dia sibuk memilihkan pakaian, membantu mengatur rambut Dina dan menjadi sangat hectic sekali. Rianti bahkan juga memaksa Dina untuk memakai lipstick. Dina sebenarnya ingin memakai pakaian biasa saja. Tapi Rianti malah memakainkan baju kaos dan celana jeans yang sedikit ketat. “Tapi aku nggak nyaman berpakaian seperti ini,” keluh Dina. “Dina! Sumpah lo cakep banget Din. Bajo kaos pink dan celana jeans biru muda emang nggak pernah fail.” “Tapi….” Suara klakson mobil di luar sana membuat keduanya berhenti bicara. Dina mengernyit bingung. Sedangkan Rianti dengan cepat menghambur keluar. “Dinaaaa…!” Rianti kembali memekik dan menarik Dina untuk cepat keluar. “Gila! Dia bawa mobil!” Dina akhirnya keluar. Di depan sana sosok Bagas baru saja turun dari mobil uang dibawanya. Penampilan Bagas tampak rapi dan tampan. Rianti yang sangat antusias langsung mendekat dan sibuk mengitari mobil itu. “Wah… keren banget mobilnya.” Rianti menatap takjub. Sementara Dina mendekat ke Bagas dan menatapnya. “Ini mobil siapa?” Bagas berdehem. “Mobil sodaranya papa.” Bagas tentu berbohong. “Kenapa nggak pake motor kamu aja?” tanya Dina. Sebuah tamparan hinggap di bahu Dina dan pelakunya adalah Rianti. “Dijemput pake mobil malah minta motor. Gimana sih, lo.” Dina hanya menghela napas malas. Bagas melirik jam tangannya. “Kita harus segera pergi.” “Tunggu sebentar. Aku mau ambil jaket dulu,” ucap Dina. Ketika akan melangkah masuk, Rianti mencegatnya. “Ngapain lo pake jaket. Lo naik mobil nggak akan kedinginan.” “Iya Din. Nggak usah pake jaket. Kamu lebih cantik dengan penampilan seperti itu,” sahut Bagas menimpali. “Tuh, kan bener.” tukas Rianti lagi. Akhirnya Dina masuk ke dalam mobil disusul oleh Bagas yang duduk di kursi kemudi. Mobil itu perlahan bergerak keluar dari pekarangan rumah Rianti. Mobil itu mulai melaju di jalanan. Bagas tampak tersenyum bangga. Sementara Dina hanya duduk tenang dengan pikiran yang menerawang entah ke mana. Suara musik pun menghentak keras. Jantung Dina terasa berguncang karenanya. Ia melirik Bagas. Lelaki itu tampak enjoy dengan suara musik yang memekakkan telinga. Dina mencoba tenang. Tapi ia justru semakin merasa tidak nyaman. “Bisa pelankan musiknya sedikit?” pinta Dina. Bagas menoleh. “Kenapa?” “Pelankan saja. Musiknya terlalu kencang,” pungkas Dina. Bagas menurunkan volumnya. Tapi Dina merasa tidak ada yang berubah. “Masih sama saja,” tukas Dina. Bagas menurunkan volume lagi. Dina menghela napas kasar. Dia sama sekali tidak suka dengan hentakan musik yang membuatnya menjadi mual. Akhirnya Dina memutar volume itu hingga habis. Bagas pun langsung melotot. “Kamu ngapain, Din?” “Aku pusing denger suara musiknya.” Bagas tergelak. “Cih… suara speaker yang bagus dan jernih seperti itu malah bikin kamu pusing? Dasar kampungan.” Bagas berbisik ketika menyebutkan dua kata terakhir. “Kamu ngomong apa?” Dina tidak mendengarnya. Bagas tersenyum. “Nggak ada apa-apa.” Perjalanan itu pun berlanjut. Tatapan mata Bagas yang sedang menyetir sesekali justru tertuju pada paha Dina. “Kamu lebih cocok make celana, Din. Aku serius,” ucap Bagas. Dina hanya tersenyum tipis. “Sebenarnya kita mau ke mana? Aku masih punya banyak tugas yang harus diselesaikan malam ini.” Bagas mendesah. “Baru juga lima menit, kamu udah mengeluh… kamu hargain perjuangan aku dikit dong. Aku bela-belain pake mobil untuk berkencan sama kamu. Tapi kamu malah ngebahas tugas sekolah.” Dina terdiam. Mobil itu kemudian terus melaju. Sampai kemudian mereka berhenti di depan lampu merah. Dina menatap keluar kaca jendela. Melihat rintik gerimis yang turun malam itu. Tapi tiba-tiba saja ia terkejut. Deg. Dina melotot. “Apa yang kamu lakukan?” sergah Dina seraya menghalau tangan Bagas yang tiba-tiba saja sudah menyentuh pahanya. “Hah. Kenapa sih, Din… aku ini kan, pacar kamu.” “Terus karena kamu pacar aku… kamu bebas main sentuh sembarangan?” Dina masih kaget dengan apa yang dilakukan oleh Bagas barusan.” Bagas membuang muka. “Ya elah… temen-temen aku aja pacaran udah tidur bareng, Din…” Deg. Dina makin terpana. “Kamu ngomong apa, sih, Gas?” “Emang kamu nggak pengen, ya?” tanya Bagas. “Pengen apa?” Dina balik bertanya. “Sesuatu yang menyenangkan. Berciuman, pelukan, s*x?” “Bagas… kamu baik-baik aja, kan? Apa kamu habs mabuk-mabukan lagi seperti waktu itu?” tanya Dina. Bagas akhirnya bungkam. “Apa kamu tahu kenapa banyak orang-orang yang senang berpacaran mengendarai mobil? Karena mereka bisa bebas. Bisa saling menyentuh, bisa melakukan ini dan itu.” Bagas kembali meracau. Dina berusaha tidak terpancing. Dia sebenarnya sudah kesal dengan pembahasan Bagas yang sangat membuat Dina tercengang. Tapi karena mereka baru saja berdamai, Dina pun coba menahan diri. Dia mencoba sabar dan berharap Bagas menghentikan topik obrolan yang aneh itu. “Oh iya, Din… kamu tahu temen aku si Bayu, kan? Dia itu pernah cerita… kalo dia pernag disepong sama ceweknya di dalam mobil.” Bagas bercerita lagi. Dina merasa panas. Dia gelisah dan juga sedikit takut. “Parahnya lagi, dia juga nyusu sama ceweknya,” tambah Bagas. Dina semakin tidak nyaman. Bagas tersenyum. Ia memerhatikan Dina yang kini terlihat gelisah. “Kenapa kamu gelisan, Din? Apa kamu juga pengen?” tanya Bagas. Kali ini Dina langsung menatap tajam. “Kalau kamu masih membicarakan hal menjijikkan seperti itu… AKU AKAN TURUN DARI MOBIL INI…!” ancam Dina. Ancaman itu membuat senyum nakal yang tadi tergurat lenyap. Bagas menarik dirinya yang tadi sedikit mendekat pada Merri. “Bukannya kamu sendiri yang dulu mengatakan bahwa kita akan menjalani hubungan yang baik? Hubungan yang sehat…? dan sekarang kamu malah membahas hal-hal seperti itu? Kamu sehat, kan? Bisa-bisanya kamu bercerita dengan gamblang, ha?” Dina berbalik marah. “Namanya juga manusia, Din. Aku nggak munafik. Kalo nggak bisa ngedapetim kesenangan itu, untuk apa kita pacaran?” “Astaga!” Dina benar-benar syok. “Apa kepribadian kamu yang sebenarnya memang seperti ini?” Dina menatap nanar. Bagas menghela napas panjang. “Oke-oke… aku akan menghargai pikiran kolot dan kuno kamu itu, tapi… aku tidak bisa berjanji bisa MENAHAN DIRI SELAMANYA.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN