35. Tragedi Buku Yang Basah

2005 Kata
Dion tersenyum senang dibalik kaca helm yang menutupi wajah. Motor itu terus melaju dengan pergerakan yang terasa lambat. Sementara di belakangnya, Dina duduk termangu. Seperti orang linglung yang sudah kehilangan kesadarannya. Hingga tak lama kemudian Dina meringis. Harusnya dia tidak perlu menuruti keinginan si gila Dion. Tapi karena kemuculan sang mama, membuat Dina akhirnya bertindak cepat agar mereka berdua pergi dari sana. Dina mengembuskan napas kasar. Seraya menatap punggung Dion yang sedang mengemudi. Dia menjaga jarak sebisa mungkin. Ada banyak ruang kosong di depan Dina. Ia tidak ingin bersentuhan sedikit pun dengan lelaki itu. Namun lama kelamaan p****t Dina terasa sakit. Ia duduk terlalu ke ujung, menyentuh besi jok. Akhirnya Dina bergeser sedikit ke depan. Kini lututnya terpaksa menyentuh paha Dion. “Apa yang sedang aku lakukan sekarang?” bisik Dina dalam hatinya. Sementara Dion hanya tersenyum. Dia bisa mengintip Dina melalui kaca spion sebelah kiri yang sengaja diotak atik hingga bisa memperlihatkan apa yang dilakukan Dina di boncengan. Dion mengulum senyum. Entah kenapa rasanya selalu saja menyenangkan bisa mengganggu gadis itu. Dan motor pun terus melaju. Rasanya Dion sudah membawa Dina terlalu jauh. “Kamu mau bawa aku ke mana, sih?” suara Dina melebur bersama bunyi angin. “Apa…?” Dion tidak bisa mendengarnya. Dina menatap gusar. “KITA MAU KE MANAAAA…!?”teriaknya. Dion sebenarnya bisa mendengar pertanyaan itu dengan jelas. Tapi dia belagak tuli dan malah menjadikan moment itu sebagai bahan untuk bersikap jahil. “Gue nggak bisa denger suara lo!” Dina meniup wajahnya sendiri yang terasa panas. Dia mengulurkan wajahnya ke depan, bermaksud untuk berteriak di telinga Dion. Tapi saat itu juga tiba-tiba motor itu terhenti, Dion pun juga menoleh. Deg. Dina terperanjat. Bibir mereka nyaris bersentuhan. Dion menoleh ke belakang. Sedangkan Dina terperosok ke depan karena Dion mengerem mendadak. Beku. Dina membeku dengan mata melotot dan napas tertahan. Dia bahkan bisa merasakan deru napas Dion yang hangat. Beberapa saat kemudian barulah Dina tersadar dan cepat-cepat menggeser duduknya ke belakang. “K-KENAPA KAMU MALAH BERHENTI MENDADAK …!?” pekik Dina. Dion menatap santai. “Agar bisa ngedenger apa yang lo omongin.” Dina merasa kedua pipinya sangat panas. “Ya, nggak harus ngerem mendadak juga dong.” “Kenapa wajah lo jadi merah?” tanya Dion seraya menahan tawa. Dina menjadi salah tingkah. “K-kamu….” “Jadi lo mau ngomong apa?” tanya Dion. Dina meneguk ludah. “Sebenarnya kita mau ke mana?” “Oh… jadi lo nanya itu.” “BUKAN… nanya kapan Hitler melakukan p*********n terhadap kaum Yahudi,” jawab Dina sewot. Dion tertawa dan bersiap kembali melaju. “Udah lo tenang aja. Nggak usah bawel.” Dina baru hendak menjawab. Tapi tiba-tiba Dion menarik pedal gas sangat kuat. Membuat Dina terkejut dan refleks memeluk pinggang Dion. DUAAAR. Dina bagai tersambar petir. Sementara Dion tersenyum lagi. Ia merasa puas layaknya berhasil mencetak dua buah gol dalam waktu yang singkat. Pertama dia berhasil membuat Dina nyaris mencium bibirnya. Dan sekarang Dion berhasil membuat Dina memeluknya. “KAMU ITU APA-APAAN, SIH…!?” bentak Dina. Dina sudah tidak bisa menahan diri. Dia bermaksud turun. Tapi Dion lebih peka terhadap situasi dan dengan cepat melajukan sepeda motornya. Gagal. Dina pun gagal turun dari motor itu. Tinju Dina mengepal seperti hendak memukul Dion dari belakang dengan wajah geram. Sedangkan Dion justru tersenyum senang. ** “Ayo turun! Kita udah sampe,” ucap Dion. Dina masih tertegun melihat keadaan sekitarnya. Ternyata Dion membawanya ke pasar tradisional yang ramai dan tampak sesak di depan sana. “K-kenapa kita ke sini?” tanya Dina. “Ya makanlah… masa kencan,” jawab Dion. Dina menatap jengkel, tapi Dion kemudian mengangkat buku milik Dina. “Ayo buruan kalo lo mau buku ini balik!” Dina mengembuskan napas, lalu tersenyum kesal. “Iya. Baiklah.” Dina kemudian mengekor pada Dion yang melangkah di depannya. Mereka melewati kios-kios yang menjual beraneka ragam kebutuhan. Sesekali Dina juga sibuk melihat ke segala arah. Dina sendiri sudah sangat lama tidak melihat suasana pasar tradisional dan kini ia sedikit menikmatinya. “Emang ada yang jualan makana di sini?” tanya Dina. “Ya, ada lah!” “Jawabnya biasa aja. Nggak usah nge-gass!” tukas Dina. “Gue nggak nge-gas!” Mereka berdua terus berjalan. Sampai kemudian Dina celingak-celinguk ketika mereka melewati kios yang menjual daging. Bagi Dina, aktivitas penjual yang sedang memotong-motont tumpukan daging merah itu terlihat menarik. Saking asiknya, Dina hampir menabrak seorang bapak-bapak yang sedang membawa plastik besar berisi ikan nila di atas kepalanya. Deg. Dina melotot ketika Dion menariknya. Membuat Dina menabrak d**a lelaki itu. Setiap tindakan Dion benar-benar membuat detak jantung Dina berpacu. “Kalo jalan liat-liat. Ini pasar, rame!” tukas Dion. Dina segera menjauh, tapi lagi-lagi dia nyaris tersandung karena menginjak sebuah kaleng. Lagi-lagi Dion menarik tangannya. Menyelamatkan Dina agar tidak terjatuh. “Tuhkan!” sergah Dion lagi. “Baru juga diomongin. Dina menatap nanar. Sama sekali tidak bisa berkata-kata. Setelah itu Dion memutar tubuh Dina, membuat Dina berdiri di depannya. Setelah itu Dion meletakkan kedua tangannya di bahu Dina dan mulai mendorong gadis itu untuk berjalan. “Sepertinya ini cara paling aman biar lo bisa jalan dengan bener,” ucap Dion. Dina hanya menurut seperti robot. Otaknya sudah memberi perintah agar mengelak dari kedua tangan besar Nathan yang kini meremas kedua pundak mungilnya. Tapi perintah itu tidak dijalankan oleh indera geraknya. Dina malah tenang. Merasakan kedua pundaknya yang mulai menghangat karena sentuhan itu. Perlakuan Dion terhadap Dina seperti perlakuan ibu-ibu yang membawa anak kecilnya ke pasar. Mendorong pundak mereka, lalu mengarahkannya berbelok ke sana dan ke mari. Dion pun tak henti tersenyum. Sementara Dina masih dengan wajah bingungnya. Sampai kemudian mereka tiba di kedai ketupat gulai. Ya, ternyata Dion membawa Dina ke tempat ibunya Lani berjualan. “Dion! Kamu dateng lagi.” sang ibuk menatap senang. Dion tersenyum. “Dua porsi makan di sini ya, Buk.” Tatapan ibu itu beralih pada Dina. “Ayo silakan duduk.” “I-iya.” Dina tersenyum canggung. Dion sudah duduk di meja paling belakang. Dina pun kemudian duduk di depan Dion, tapi Dion langsung mengernyit. “Lo ngapain, ha?” tanya Dion. Dina tidak duduk menghadap Dion, melainkan membelakanginya. Tingkah Dina itu kembali menyulut tawa Dion. “A-aku mau menghadap ke sini saja,” ujar Dina. Dion menggeleng-gelengkan kepala samar, lalu kemudian berpindah duduk di hadapan Dina. Dina meringis dan langsung menoleh ke samping, tidak ingin menatap Dion yang kini tersenyum di hadapannya. Kalau lah tidak karena buku itu, Dina pasti sudah kabur melarikan diri. Tak lama kemudian dua piring ketupat gulai pun tersaji. “Makasih, Buk,” ucap Dion. “Kalau ada yang kurang panggil saja.” “Iya Buk.” Lela kemudian berbalik hendak pergi, tapi ia menatap Dion lagi. “Siapa ini, Nak? Pacar kamu, ya?” “Uhuk…!” Dina yang baru saja menyuap kuah dan ketupat ke mulutnya langsung terbatuk. Dion tersenyum dan mengambilkan segelas air putih untuknya. “Lo ngapain sih? Makan itu dikunyah dulu. Jangan langsung ditelen aja.” Dina melotot. Dion pun kemudian menatap Lela yang masih berdiri di sana. “Baru calon, Buk. Soalnya dia belum putus sama pacarnya.” Byur. Dina yang sedang minum air kemudian tersedak. Aliran air itu keluar dari rongga hidungnya. Dion tidak bisa menyembunyikan tawa. “Ya ampun, Nduk… hati-hati toh.” ibu Lani ikut membantu mengambilkan tisu untuk Dina. Pelanggan lain yang baru saja datang akhirnya membuat ibu Lani beranjak pergi. Saat itu juga Dina langsung menatap tajam. “Apa maksud omongan kamu tadi, ha?” “Apaan?” Dion santai dan terus menyuap makanan ke mulutnya. “Pake keripik enak loh. Ntar ya, gue ambil keripiknya di sana.” Dina memejamkan mata seraya mengembuskan napas gusar. Dion beranjak mengambik keripik yang tergantung dekat gerobak, lalu kembali duduk. “Coba satu dulu. Kalo enak ntar tambah,” ucap Dion. Dina tidak mengambil bungkusan keripik yang dilempar Dion ke dekatnya. Dina juga tidak lagi menyuap makanan itu ke mulutnya. “Kenapa lo berenti. Lo nggak suka? Apa rasanya nggak enak menurut lo?” “Enak?” “Terus kenapa nggak dimakan?” “Aku hanya takut ketika aku mulai menelan, kamu mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal lagi.” “HUAHAHAHA.” Dion malah tertawa keras. “Bisa-bisanya kamu tertawa setelah dua kali membuat aku tersedak.” “Gue juga udah nyelamatin lo dua kali. Pertama lo ampir nabrak bapak-bapak yang bawa ikan. Kedua lo bisa aja jatuh di kubangan lumpur karena terpeleset tadi. Jadi impas dong!” Dion mengedipkan matanya. Dina terhenyak dan menatap tak percaya. Setiap kata yang terlontar dari bibir Dion seperti rentetan petasan di malam bulan puasa. Selalu membuat Dina terkejut karenanya. “Udah… sekarang makan! Gue nggak akan ngomong lagi,” tukas Dion. Dina menyipitkan mata. Merasa tidak percaya dengan ucapan lelaki itu. “Ayo makan!” sergah Dion lagi. Dan Dina menikmati ketupat gulai itu. Dia memang suka makanan bersantan seperti itu. Dion ternyata memegang omongannya. Dia tidak lagi bersuara sehingga Dina bisa makan dengan tenang. Dina melirik Dion sebentar, lalu menjangkau sebungkus keripik balado yang tadi diambilkan Dion. Dina menyobek bungkusan keripik itu dan menuangkannya ke piring. Matanya masih tertuju pada Dion. Waspada jika Dion kembali meledeknya, karena tadi Dina mencibir ketika Dion menambahkan keripik ke dalam piringnya. Dina menyuap keripik yang terendam kuah santan. Ternyata… Rasanya benar-benar sangat enak. Dina termasuk anak yang jarang jajan kuliner seperti ini. Bukan karena tidak doyan, tapi memang karena uang saku yang membatasi. Dion bersendawa. Piringnya sudah kosong. Tapi Dina masih menyisakan banyak ketupat di piringnya. Dion kemudian hanya menatap Dina yang masih makan. Dion memang tidak berbicara lagi, tapi cara dia menatap itu membuat Dina menjadi resah. “K-kenapa kamu melihat aku seperti itu?” tanya Dina. “Soalnya makan lo lahap sekali. Seperti anak yang kabur dari rumah.” Sendok di genggaman Dina langsung terjatuh. Dia termangu beberapa saat, lalu kemudian tampak kesulitan menghela napas. “Kenapa? Apa jangan-jangan lo beneran kabur dari rumah?” Dion tersenyum. “NGGAKLAH…!” bantah Dina keras. “Terus kenapa lo malah kaget?” “S-siapa juga yang kaget. A-aku itu tadi kegigit cabe rawit, makanya agak terkejut.” Dina beralasan. Dion hanya mengangguk-angguk. Dan akhirnya mereka berdua sudah selesai makan. “Sini bukunya!” pinta Dina. Dion mengeluarkan buku yang ia selipkan di pinggangnya itu. “Ayo buruan!” minta Dina lagi. Dion tersenyum, lalu malah membuka lembaran buku itu. “Tulisan lo kayak ceker ayam, ya?” Eh. Dina melotot. Dia bermaksud merebut bukunya, tapi kalah cepat karena Dion dengan cepat menjauhkan buku tersebut. “Hahaha. Jadi ini bener tulisan tangan lo?” Wajah Dina merah padam. Dia malu dan juga marah. “Sini bukunya!” Dina kembali coba merebut. Sedangkan Dion sibuk memindahkan buku itu dari tangan kiri ke tangan kanan, menghindari tangan Dina yang menggapai-gapai di udara. Ibu Lani yang sedang memotong-motong ketupat pun tersenyum pelan melihat aksi kedua anak muda itu. Dina sudah habis kesabaran. Dia menatap tajam dan menyerang dengan membabi buta. Tangannya menyerang dengan cepat. Dion tidak siap dengan seranga itu. Dia terkejut. Buku yang dipegangnya terlempar di udara. Dion dan Dina sama-sama menatap buku yang melayang. Gerakan buku itu dan mata mereka seperti adegan film action yang melambat. Hingga kemudian keduanya sama-sama melotot saat melihat buku itu bersiap jatuh ke dalam ember berisi air. Dina membelalak dan menggeleng panik. Dion langsung bergerak dengan tangan terulur. Akan tetapi… Plung. Buku catatan itu menyelam indah ke dalam baskom. Dion meneguk ludah. Dia berbalik pelan menatap Dina. PLAK. Sebuah tamparan hinggap di pipi Dion. “Kenapa, ha? Kenapa kamu selalu mempermainkan aku seperti ini? Aku membutuhkan catatan itu untuk besok hari dan kamu malah membuatnya hancur!” Dina menatap marah dan nyaris menangis. Dion pun hanya berdiri tenang. Dia hanya menunduk dan tidak bersuara sama sekali. Sedangkan Dina menyeka air mata yang menetes dengan rasa kesal, lalu kemudian melangkah pergi. “D-Dina….” Tangan Dion mengawang hendak memanggil Dina kembali, tapi kemudian tangannya itu mengepal dan kembali turun ke tempatnya semula. Dion menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Dia kemudian mengeluarkan catatan Dina yang sudah basah, lalu menggaruk-garuk kepalanya. “Kenapa malah jadi seperti ini…?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN