Dina merasa teramat lelah. Dia bahkan tidak berpamitan pada Bagas yang kini duduk terpana di dalam mobil, masih memandangi Dina. Begitu mobil terhenti, Dina bergegas keluar begitu saja. Tanpa berkata-kata lagi, tanpa menoleh lagi pada kekasihnya Bagas.
Bagas pun tersenyum kecut dari dalam mobil dan kemudian melaju pergi. Jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam ketika Dina sampai di rumah Rianti. Bagas membawa Dina ke pesta ulang tahun salah satu temannya di sebuah kafe yang sudah dibooking penuh. Pesta itu berlangsung cukup meriah pada awalnya. Tapi ketika malam semakin larut, pesta ulang tahun yang tadinya manis malah berubah menjadi party yang menggila. Lampu-lampu yang tadinya terang benderang digantikan oleh lampu disko yang berkerlap-kerlip di tengah suasana gelap.
Alunan musik yang merdu bertukar dengan musik yang menghentak keras. Kue-kue bolu dan permen-permen warna warni yang manis juga digeser oleh botol-botol minuman beralkohol yang mulai dikeluarkan.
Dina tentu terkejut.
Suasana pesta itu berubah drastis. Ada banyak pasangan yang bermesraan tanpa ragu. Membuat Dina selalu kaget dan menundukkan wajahnya. Bahkan ketika masuk ke toilet, Dina mendengar suara-suara aneh dari bilik toilet di sebelahnya. Suara lenguhan laki-laki dan perempuan itu membuatnya bergidik. Seakan tidak ada tempat yang aman. Di mana-mana ada pasangan yang b******u dengan mudahnya.
“Aku mau pulang!” pekik Dina.
Bagas menghela napas panjang. “Nanti ya, nanti sebentar lagi.”
Tapi Dina merasa tidak sanggup lagi berada di sana. Tempat itu hanya mendatangkan rasa cemas dan ketidaknyamanan untuk Dina pribadi.
Dina kemudian memaksa Bagas untuk mengantarkannya pulang. Sementara Bagas sedang asyik berpesta bersama teman-temannya. Bagas meminta Dina untuk menikmati pesta itu, tapi jelas Dina tidak bisa melakukannya. Dia tidak mau berlama-lama berada di tempat seperti itu.
Dina pun terus mendesak dan memaksa Bagas.
Sampai pada akhirnya Dina bermaksud untuk pulang sendiri.
Saat itulah Bagas menyusulnya dan terpaksa mengantar Dina. Sepanjang perjalanan Bagas terlihat kesal. Dia juga terus mengomeli Dina, mengatakan bahwa Dina terlalu kuno seperti anak yang kurang pergaulan. Segala omongan yang menyakitkan hari itu hanya ditelan Dina dalam diam.
Dia tidak peduli pada semua ocehan Bagas.
Dan sekarang Dina merasa teramat letih. Ia melangkah gontai menaiki undakan tangga kayu di teras rumah Rianti.
“Apa mereka sudah tertidur?” bisik Dina.
Dina menghela napas panjang. Dia tidak langsung masuk ke dalam rumah, melainkan duduk di undakan tangga itu. Kedua bahunya terlihat naik turun seiring dengan helaan napasnya yang sesak. Dina menengadah menatap langit.
“Haaaaaah.” dia membuang napas panjang.
Langit malam ini terlihat indah. Rembulan tampak bulat sempurna dengan ribuan bintang yang bertebaran. Langit malam itu juga terlihat sedikit keunguan bercampur biru tua yang pekat di antara warna hitam. Perpaduan warna yang membuat langit malam menjadi sangat cantik di pandang mata.
Indah sekali, tapi suasana hati Dina justru terasa buruk. Ia memikirkan bagaimana nasib ke depannya. Apa yang harus dia lakukan? Apa yang bisa dia perbuat? Sang mama bahkan tidak menghubungi Dina sama sekali. Dia sama sekali tidak khawatir meski Dina sudah keluar dari rumah. Sepertinya sang mama benar-benar menyambut kepergian Dina dengan sukacita.
Dina tersenyum lemah. Ia keluarkan handphone dari dalam kantong dan membuka akun i********:. Dina beralih mengetikkan nama akun i********: sang mama di kolom pencarian. Tak lama kemudian sebuah akun pun muncul.
Dina meneguk ludah. Ia memang tidak pernah mem-follow akun mamanya. Dina melihat deretan foto yang diposting. Terlihat bagaimana sang mama selalu mengunggah potret kebersamaannya dengan Tio dan juga anak sambungnya Varrel. Wajah mereka bertiga hampir memenuhi deretan foto-foto yang ada. Sang mama sepertinya memang sangat berbahagia jika menghabiskan waktu bersama Tio dan Varrel saja.
Dina menatap nanar melihat potret sang mama yang selalu tersenyum cerah.
Senyum yang tidak pernah diperlihatkan saat menatap Dina.
“Happy Family…?” Dina membaca caption salah satu unggahan foto dengan suara lirih.
Jemari itu terus menggulir foto-foto yang ada. Dan dari ratusan postingan itu, tidak ada satu pun foto yang menampilkan wajah Dina. Sangat memilukan. Itulah alasannya kenapa selama ini Dina tidak ingin mengikuti sepak terjang sang mama di dunia maya. Karena semua hanya menumbuhkan rasa iri, kecewa dan juga sakit hati.
Dina tertegun.
Rasanya ia seperti kehilangan semangat untuk sekedar melanjutkan hidup. Rasanya begitu hampa. Dina seperti berjalan di ruang kosong tanpa tujuan. Sikap Bagas yang tiba-tiba berubah menjadi layaknya pria b******k juga membuat hati semakin pelik. Dina masih tak habis pikir bagaimana Bagas bisa mengatakan hal-hal yang mengerikan kepadanya.
Dan kalimat yang sempat dilontarkan oleh Bagas padanya pun masih menyisakan tanda tanya.
“Aku tidak bisa berjanji bisa menahan diri selamanya.”
Menahan diri dari apa? Dina tentu diliputi oleh rasa khawatir. Tapi dia mencoba berpikir jernih. Mungkin saja Bagas memang mengkonsumsi alkohol lagi hingga dia meracau seperti itu.
“Hah… semua ini terasa sangat melelahkan,” bisik Dina.
Dina melihat layar handphone-nya kembali. Baru menyadari bahwa ada banyak sekali notif pesan i********: yang belum dibaca. Diperiksanya dengan segera.
Dina sedikit terkejut.
Ternyata itu adalah pesan dari akun bernama ‘Pengagum Rahasia’.
“Kenapa dia terlihat sangat khawatir?” lirih Dina.
Karena merasa tidak enak. Dina pun kemudian membalas pesan itu.
‘Aku baik-baik saja. Aku juga tidak melakukan sesuatu yang buruk. Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku. Siapa pun kamu… terima kasih karena sudah peduli.’
Dina mengirimkan pesan itu seraya tersenyum.
“Aneh sekali,” bisiknya.
Tapi kemudian handphone itu bergetar. Pemilik akun itu membalas pesan Dina.
‘Jangan pernah merasa sendirian… kamu juga berhak merasa bahagia dan bebas. Aku tidak tahu apa masalah yang menimpa kamu. Tapi kita sebagai manusia selalu diberikan pilihan. Beban yang terasa menyiksa terkadang hanyalah buah dari keegoisan kita saja. Keegoisan karena tidak berani mengambil keputusan. Ketakutan karena tidak berani melepaskan beban itu sendiri. Tak semua permasalahan harus dipikul. Tak semua permasalahan harus dibiarkan berlama-lama bersarang di hati juga kepala. Jarang sekali manusia yang menyadari bahwa… terkadang satu-satunya penyelesaian masalah itu adalah hanya dengan melepaskannya… membiarkannya terjatuh, tanpa harus dipikul lagi. Tanpa harus memaksa diri menggenggamnya. Membiarkannya melebur bersama waktu. Biarkan saja… lepaskan saja… tinggalkan saja… dan semua akan menjadi baik-baik saja….”
Sunyi.
Dada Dina terasa sesak setelah membaca pesan yang panjang itu. Sebuah pesan yang entah mengapa langsung menembus sanubarinya. Pesan yang menyiratkan bahwa Dina harus menyerah pada harapan-harapan yang mungkin memang tidak akan pernah menjadi nyata.
Seperti harapan bahwa sang mama akan berbalik menyayanginya.
Harapan Dina tentang sebuah keinginan bisa merasakan indahnya ikatan keluarga.
Pesan itu meminta Dina untuk menyerah dan berjuang secara bersamaan. Seakan mendorong Dina untuk membuka mata, bahwa segala yang ia pikul saat ini memang hanyalah keegoisan dan keinginan semu semata.
Dina mengembuskan napas panjang, lalu mulai mengetikkan pesan balasannya.
‘Aku nyaris menangis membaca pesan ini….’
Balasannya pun segera muncul. ‘Menangis saja jika ingin menangis. Air mata itu sepenuhnya milik kamu. Tapi jangan menangis untuk orang lain.’
Dina tersenyum tipis dan membalasnya lagi. “Lalu aku harus menangis untuk siapa?’
Ada jeda sejenak, dan si Pengagum Rahasia itu membalasnya.
‘Kamu boleh menangis untuk diri kamu sendiri. Menangislah untuk diri kamu yang sudah kuat selama ini… menangislah untuk diri kamu yang sudah mampu bertahan sejauh ini. Kamu begitu hebat… berbanggalah. Jadikan itu sebuah tangisan yang menguatkan.’
Helaan Dina berubah sesak. Seiring dengan itu air matanya tumpah ruah. Dina menangis, tapi bukanlah tangisan kesedihan. Ia merasa dikuatkan. Dina seakan baru menyadari bahwa dirinya berharga. Bahwa hidupnya juga berarti. Bahwa dia memang istimewa karena sudah bisa bertahan selama ini.
Lama Dina menangis dalam bisu.
“Ya, terima kasih, Dina… terima kasih karena kamu sudah bertahan selama ini. Kita hanya perlu tetap bertahan bukan? Badai itu tidak akan selamanya. Awan hitam pasti akan beranjak juga. Sabarlah wahai diri… sabar….” Dina berkata lirih. Menasehati dan menguatkan dirinya sendiri.
‘Apa sekarang kamu sedang menangis?’ si pengagum rahasia kembali mengirimkan pesan.
Dina tidak bisa membaca tulisan itu karena air mata yang berlinang. Dia menenangkan diri terlebih dahulu, baru kemudian membalasnya.
‘Iya.’
‘Lalu apa kamu merasa lebih baik sekarang?’
Dina tersenyum. ‘Iya. Aku jauh merasa lebih baik’.
‘Sekarang sudah larut. Tidurlah…. besok pagi akan menjadi hari yang baru.’ balasnya.
Dina menghela napas panjang. Siapa pun pemilik akun misterius itu, Dina tidak peduli lagi. Dia seperti menemukan tempat untuk berbagi, tempat untuk bercerita. Dina menganguk samar, lalu mengirimkan pesan lagi.
‘Apa kita bisa berteman?’
Dina mengirimnya.
Dia terpaku menatap layar. Ada keterangan yang mengatakan bahwa pesan itu sudah dibaca, tapi balasannya tak kunjung muncul. Dina menanti sebentar, tapi pemilik akun itu tidak lagi membalas pesannya. Membuat Dina mengernyit bingung.
“Kenapa…? apa dia tidak mau berteman dengan aku?” lirihnya.
Kebingungan Dina itu pun buyar karena hardikan dari depan pintu. “Lo udah pulang…!”
Itu suara Rianti.
Dina pun akhirnya bangun dan berjalan mendekat.
Rianti menatap antusias. “Gimana? Lo pergi ke mana sama Bagas?”
“Cuma menghadiri pesta ulang tahun temennya aja, kok.”
“Terus abis itu ke mana lagi?”
“Nggak ke mana-mana lagi.”
Rianti menatap tak percaya. “Masa sih?”
“Iya.”
“Jadi kalian nggak ke mana-mana lagi itu… maksudnya di mobil aja gitu?”
“Apa maksud kamu?” Dina menatap pelan.
“Yah, siapa tahu lo dan Bagas membentuk quality time berdua di mobil.”
Dina sedikit banyaknya masih kesal pada Rianti. Karena gara-gara Rianti-lah dia terpaksa pergi bersama Bagas malam ini. Ingin rasanya Dina mengomel meluapkan kekesalannya. Tapi lagi-lagi keadaan memaksa Dina bungkam. Dia ingat statusnya sebagai orang yang menumpang di sana.
“Aku hanya menghadiri pesta ulang tahun, kemudian Bagas mengantar pulang. Selesai. Hanya itu saja.”
Rianti masih saja penasaran dan sibuk menyelidiki. “Lo yakin? Tapi mata dan pipi lo merah tuh!”
Dina meneguk ludah. “Memangnya kenapa kalo mata dan pipi aku memerah?”
“Ya, bisa aja itu karena lo kepanasan yakan… lo juga nggak langsung masuk ke dalam rumah. Lo sengaja mau ngadem dulu pasti,” tebak Rianti.
Sangat menjengkelkan.
Kenapa Rianti juga berpikiran negatif? Seakan-akan Dina sudah melakukan sesuatu dengan Bagas di dalam mobil.
Kenapa?
Dina tak henti-henti mengucapkan kata itu di dalam hatinya.
“Aku tidak tau apa yang kamu pikirkan… tapi apapun itu, aku tidak melakukan apa-apa,” tukas Dina.
Rianti akhirnya diam. “Ya, gue cuma kepo aja, Din.”
Dina memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Ya, terus kamu maunya bagaimana? Kamu mau aku bercerita tentang kencan-kencan di dalam drama?”
Dina terpaksa berkata seperti itu karena mellihat raut wajah Rianti yang berubah. Memang sulit sekali ketika dia harus menjaga perasaan orang lain, membaca perubahan dari wajah mereka dan langsung mencari cara untuk membuat semuanya tetap baik-baik saja.
Dan ia berhasil. Rianti kembali tersenyum.
“Iya. Gue pikir bakalan ada scene-scene yang romantis gitu.” Rianti cengengesan.
“Nggak ada. Kamu menghayal terlalu jauh ah. Kalau mau melihat scene seperti itu nonton drama saja sana. Jangan menunggu cerita dari aku, karena hal seperti itu tidak akan pernah terjadi.” Dina tersenyum. Senyum yang sangat-sangat ia paksakan.
“Udah masuk yuk! Aku harus lanjut bikin tugas lagi, nih,” pungkas Dina kemudian.
Rianti akhirnya merangkul Dina untuk masuk ke dalam rumah. Mulut bawelnya kembali meracau. Bertanya tentang ini dan itu. Dina pun harus meladeni-nya. Menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang terkadang malah menyinggung perasaan.
“Oh iya!” Rianti tiba-tiba memekik setelah mereka berada di dalam rumah.
“Kenapa?” tanya Dina.
“Martabak gue mana?” tagih Rianti.
Dina mengernyit bingung. “Martabak?”
“Gue kan nitip martabak sebagai pajak sama lo.” jelas Rianti.
Dina masih menatap bingung.
“Lo nggak baca pesan w******p gue, ya?” tanya Rianti lagi.
Eh.
Dina kebingungan dan segera melihat handphone-nya. Ternyata memang ada satu pesan dari Rianti yang belum dia baca.
‘Din… beliin gue martabak rasa cokelat kacang, ya! Anggap aja sebagai pajak jalan lo sama Bagas malam ini.’
Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan oleh Rianti.
“Yah, Dina… bisa-bisanya lo nggak baca pesan gue!” Rianti mulai merentak-rentak seperti anak kecil yang merajuk karena keinginannya tidak terpenuhi.
Dina menatap lemah. “Ya maaf, tadi itu di sana berisik sekali. Aku nggak denger notifnya.”
“Ya elu ah, masa ia nggak denger! Lo pasti juga periksa handphone meskipun nggak ada notif. Apa jangan-jangan lo sengaja nggak baca? Karena nggak mau beliin gue?”
Deg.
Pertanyaan itu membuat pupil mata Dina bergetar.
Dia jadi bertanya-tanya. Apa sebenarnya Rianti memang menyebalkan seperti ini?
Dina sudah susah payah menahan hati. Akhir-akhir ini Rianti bahkan suka menyuruh-nyuruhnya. Kemarin malam Rianti bahkan tak segan-segan meminta Dina membantunya membuat ringkasan pelajaran sebanyak tiga bab. Rianti berdalih kepalanya terasa sangat pusing. Tapi kemudian dia malah cekikikan sambil bermain handphone di ranjangnya.
Dina pun masih bersabar.
Di pagi harinya ketika sedang menyertrika baju sekolah, Rianti juga menitip pakaiannya sekalian. Membuat Dina menjadi kocar-kacir di kamar mandi karena takut terlambat.
Dan Dina pun masih menahan diri.
Sekarang…
Rianti seakan menuduhnya sebagai seorang teman yang pelit. Rianti menuduhnya sengaja tidak membaca pesan. Dina sungguh sangat tersinggung. Tapi yang kemudian keluar dari bibirnya adalah.
“Aku bener-bener nggak tahu. Besok ya… besok aku akan beliin kamu martabak sebagai gantinya.”
Rianti tersenyum. “Beneran ya.”
“Iya.”
Dina kemudian melirik ke sekitar. Ibu Rianti sudha tidak terlihat.
“Ibu kamu udah tidur?” tanya Dina.
Rianti mengangguk. “Iya.”
Dina sudah sangat kesulitan menahan wajah agar tetap tersenyum dan ketika Rianti memasuki kamar, dia pun berkata lagi.
“Eh, Din… lo juga dikasih tugas ngerjain soal-soal di LKS sama Pak Burhan?” tanya Rianti.
Dina mengangguk. “Iya.”
Rianti menyeringai. “Lo isiin LKS gue sekalian ya!”
Deg.
Dina terpana.
Rianti pun menyikutnya pelan. “Cuma nyilang-nyilang doang kok. Sekalian aja yekan….”
Setelah itu Rianti mengambil LKS miliknya dan memberikan ke tangan Dina.
Dina pun terhenyak. Helaan napasnya terasa sesak sekarang. Ia mulai berpikir lekat-lekat.
“Sepertinya… aku tidak bisa lebih lama lagi di sini,” bisik Dina dalam hatinya.