Hari demi hari pun berlalu.
Kehidupan terasa membaik bagi Dina. Ibu Rianti benar-benar sudah memperlakukan Dina seperti anaknya sendiri. Membuat Dina merasa terharu dan juga sangat berterima kasih tentunya. Dina juga tidak lagi bersedih untuk sang mama kandung yang memang tidak pernah menyayanginya. Kehidupan sekolah pun juga berjalan lancar. Hubungannya dengan Bagas pun juga berjalan dengan baik.
Di lain sisi, Rianti juga semakin akrab dengan Dion. Mereka sering chat-an. Mereka juga sering jalan bareng setelah gowes bersama anggota klub sepeda. Agenda makan bakso pun sudah seperti kegiatan wajib bagi mereka. Sejauh ini tentu Rianti merasa sangat senang juga dengan progres itu.
“Hari ini kuah baksonya terasa agak asin nggak sih menurut lo?” tanya Rianti ketika mereka keluar dari kedai bakso langganan.
Dion mengangguk setuju. “Ternyata nggak cuma gue yang ngerasain.”
Rianti menatap antusias. “Bener, kan?”
“Iya. Kuahnya agak sedikit asin dari pada biasanya,” tukas Dion.
Rianti tersenyum. Mereka berdua kini berjalan seraya mendorong sepeda masing-masing. Hari ini rute gowes mereka bersama klub agak pendek. Sehingga acara sepedaan bareng itu lebih cepat usai dan mereka juga lebih cepat bisa menghabiskan waktu berdua.
Keduanya lalu beranjak ke taman. Juga seperti biasanya. Namun kali ini Dion dan Rianti menikmati es krim mereka sembari berjalan-jalan. Mereka memarkirkan sepeda di tempat yang aman. Juga menanggalkan pelindung kepala.
Keduanya berjalan-jalan di taman yang kini sepi. Matahari sangat cerah dan menyengat, tapi semilir angin juga berembus cukup kencang.
“Kita ke kolam ikan itu, yuk!” ajak Dion.
Rianti mengangguk.
Keduanya berjalan menyusuri jalanan taman yang cantik. Jalanan dari bebatuan dengan hamparan bunga-bunga di sisi kiri dan kanannya. Sebelum mencapai kolam, ada sebuah patung air mancur berbentuk mermaid yang tampak cantik. Rianti sontak mengeluarkan handphone-nya.
“Kenapa? Lo mau foto patungnya?”
“Iya,” jawab Rianti.
“Ya udah. Foto aja dulu.” Dion mempersilakan.
Setelah itu Rianti sibuk menjepret patung air mancur wanita rambut panjang dengan ekor ikan itu. Setelahnya Rianti berpose di sana dan melakukan beberapa selfie.
“Sini gue fotoin,” tukas Dion.
Eh.
Rianti agaknya malu, tapi kemudian dia memberikan handphone itu ke tangan Dion.
Dion kemudian mundur beberapa langkah dan mulai mengangkat kamera. Rianti malah menjadi gugup dan tegang karena Dion kini akan memotretnya.
“Nah! Ayo liat sini!” tukas Dion memberi arahan.
Rianti benar-benar tegang. Grogi separah-parahnya. Membuat keringat dingin mengalir di jidatnya.
“Gaya candid deh! Lo agak miring dikit. Pura-pura liat ke ujung sana!” Dion memberi intruksi lagi setelah menjepret beberapa foto.
“Nah iya begitu! Coba senyum!”
Rianti menurut. Dan sekarang Dion sibuk mengambil fotonya dari berbagai angle seperti layaknya seorang fotografer profesional. Dia terus menyuruh Rianti berganti gaya.
“Sekarang lo madep sini dan senyum lepas!”
Rianti lurus menghadap kamera, tapi wajahnya sangat kaku sekali. Senyum yang canggung itu pun membuat Dion tergelak. “Hahaha. Jangan tegang gitu dong! Relax… senyum lepas. Pokoknya senyum lepas aja, jangan ditahan-tahan!”
Rianti terus mencoba.
Sampai akhirnya Dion bersorak. “Nah iya. Senyum yang seperti itu!”
Klik.
Klik.
Dion kemudian mendekat, lalu menatap Rianti perlahan.
Membuat gadis itu semakin salah tingkah kerenanya.
“Lo cantik kalo tersenyum lepas,” ucap Dion.
Rianti terpana.
Demi dewa! Dia benar-benar membeku setelah mendengarkan pujian iu. Arwahnya kini keluar dari raga dan melayang-layang seraya berteriak senang. Pujian itu membakar pipi Rianti hingga merah. Membuatnya kesulitan untuk sekedar menghela napas.
“Apaan sih lo!” kata itu akhirnya terlontar. Menandakan Rianti sudah sadar dari fase tersanjungnya.
“Gue serius!” tukas Dion.
Tatapan Dion itu sangat meneduhkan. Membuat Rianti meleleh dan lemas.
“Mau gue ambilin foto lagi?” tanya Dion.
Rianti menggeleng. “U-udah cukup.”
Dion pun kembali memberikan handphone Rianti. “Lo pilih aja mana yang bagus. Yang nggak lo suka diapusin aja ntar.”
“Iya.”
Setelah itu Dion berdiri di samping Rianti. Bersandar pada pagar jembatan di belakangnya. Mereka kini berada di jembatan kayu dengan cat warna merah yang membelah kolam itu. Keduanya sudah melanjutkan perjalanan ke kolam yang hendak mereka tuju.
Rianti kemudian mengangkat handphone-nya lagi. Melakukan beberapa foto selfie sambil sesekali melirik Dion yang ada di sampingnya. Dion sedang menikmati pemandangan di sekitar kolam. Sinar matahari menerpa wajah tampannya. Membuat wajah itu tampak berkilauan. Matanya pun menyipit karena silau.
Rianti meneguk ludah. Merasa takut, tapi tetap ingin coba melakukannya.
Perlahan Rianti menggeser arah handphone-nya. Membuat Dion yang ada di sebelahnya juga masuk dalam jangkauan kamera.
Layar handphone itu kini sudah menampilkan Dion. Jemari Rianti tampak menggigil. Dia tentu takut jika Dion mengetahuinya.
Rianti menekan tombol dengan cepat dan berulang kali. Berharap dari sebanyak yang ia tekan itu akan memberikan foto Dion yang jelas. Rianti terus berusaha. Ia menggeser lagi arah kameranya dan bersiap untuk memotret lagi.
Tapi tiba-tiba saja.
“Lo ngapain?”
Deg.
Rianti tersentak.
Jantungnya seperti ingin melompat dari rongga d**a.
Mampus sudah!
Rianti sudah tertangkap basah.
Dia langsung memeluk handphone itu erat-erat dan tidak berani menatap Dion. Namun jemari kekar Dion dengan santai menjangkau handphone itu. Tapi Rianti sama sekali tidak berkutik. Seakan dia tidak bertenaga hanya untuk menahan handphone itu dari Dion yang kini menariknya.
Dion kemudian memeriksa foto-foto yang baru saja diambil Rianti.
Dug.
Dug.
Dug.
Detak jantung Rianti kini sangat berpacu. Dua juga tak henti mengutuk dirinya sendiri di dalam hati. Harusnya ia tidak melakukannya. Harusnya ia tidak berbuat bodoh seperti itu. Harusnya dia bisa menahan diri. Harusnya dia tidak gegabah. Tapi sekarang apa yang bisa ia lakukan?
Rianti kemudian menatap Dion. Bibirnya sudah pucat. “G-gue….”
“Lo ngambil fotonya gimana, sih?” Dion bersuara.
Eh.
Rianti menatap nanar.
Dion pun menghela napas pendek. “Fotonya goyang semua. Gue jadi keliatan kayak penampakan. Tangan lo pendek sih!”
Rianti masih membeku.
Dion kemudian merapat, lalu mengaktifkan kamera kembali.
Rianti langsung menahan napas. Bahunya kini bersentuhan dengan bahu lelaki yang ia damba. Hal sepele memang, tapi mampu melambungkan hati dan perasaan. Membuat Rianti benar-benar merasa oleng. Nyaris tidak terkendali lagi.
“Ayo liat kamera!” sergah Dion kemudian.
Rianti malah ternganga menatap lelaki itu. Otaknya tidak bisa berpikir jernih. Apa sekarang Dion sedang mengajaknya untuk berfoto bersama? Namun Rianti pun merasa tidak yakin. Apa ia sedang berhalusinasi? Apa semua itu hanyalah mimpi?
“Loh, kok malah bengong!” tukas Dion lagi.
Rianti planga-plongo seperti orang begok. “A-apa?”
“Ayo foto!” ucap Dion.
“K-kita?”
“Loh… bukannya tadi lo emang mau foto kita berdua?”
Eh.
Rianti benar-benar gugup dan bingung, tapi kemudian Dion langsung mengarahkannya. Seperti lubang idung kerbau yang dicucuk, Rianti pun menurut dengan wajah bodohnya. Dion kemudian mengambil beberapa foto mereka berdua dari berbagai sudut, lalu kemudian menatap layar handphone itu.
“Nah… ini kan jelas. Gue juga keliatan ganteng di foto ini.”
Dion tersenyum. Dan lagi-lagi Rianti seperti terhipnotis melihat senyuman nan manis seperti martabak Bandung, makanan kesukaannya.
“Nih… udah!
Rianti mengambil handphone itu.
“Gimana? Apa lo mau foto di tempat yang lainnya lagi?” tanya Dion.
Rianti menggeleng cepat. “S-sudah cukup.”
Dion tersenyum. “Sebenernya gue sangat suka sama fotografi. Gue suka banget motret. Bahkan gue udah beli kamera yang cukup bagus. Tapi sampe sekarang malah belum kepake. Belum ada waktu… belum ada juga moment dan objek yang mau gue foto.”
Rianti mengangguk-angguk. Sekarang dia tahu lagi satu sisi Dion yang tidak ia ketahui sebelumnya.
“Biasanya kan, orang-orang yang suka fotografi suka jalan sendirian. Explore alam dan sebagainya,” ucap Rianti.
Dion mengangguk-angguk. “Tapi fokus gue itu bukan hal-hal yang seperti itu. Gue lebih tertarik sama fotografi dengan objek manusia. I means gue suka motret orang. Jadi di situlah buntunya. Gue nggak punya partner yang bisa gue jadiin model. Si Asep juga wajahnya nggak masuk lensa. Kalo dipaksain bisa-bisa kamera gue rusak.”
Rianti tergelak. “Hahaha. Huss! Lo nggak boleh gitu dong. Dia itu kan, temen baik lo. Yakan?”
“Dia emang teman baik gue. Tapi bukan model yang baik buat gue.” Dion juga tertawa. “Pasti kuping si Asep kepanasan sekarang.”
“Ya, lo ada ada aja.” Rianti juga tertawa. “Emang model seperti apa yang lo cari?”
Dion terdiam sebentar, lalu menatap Rianti.
“Seperti lo!”
Eh.
Rianti membeku.
“Hahahaha.” kemudian suara tawanya pecah. “Lo mau ngeledek gue juga ya.”
“Gue nggak becanda.”
Rianti masih menyeringai, tapi Dion benar-benar menatapnya dengan wajah serius. Meyakinkan Rianti bahwa dia berkata benar dan tidak sedang mengada-ada.
“Apa lo mau jadi model gue?” pinta Dion lagi.
Glek.
Kerongkongan Rianti terasa amat kering hingga ia sangat kesulitan untuk menelan ludah. Tampaknya hari ini terlalu banyak kejutan untuknya. Membuat Rianti dilanda kebahagiaan bertubi-tubi. Ia tentu senang. Tapi sebagai wanita sejati, Rianti mampu menyembunyikan segala rasa harapnya itu.
“Jangan ngadi-ngadi! Mana mungkin gue jadi model lo.”
Dion menghela napas panjang. “Ya iya sih… mana mungkin juga lo mau. Mana nggak ada benefitnya. Palingan lo cuma dapet capeknya aja, karena gue bawa ke sana sini buat di foto yakan? Kadang rute perjalanan menuju spot fotonya juga jauh.. bisa seharian bolak balik hanya untuk beberapa foto saja.”
Rianti tertegun.
Dia tidak membayangkan penatnya. Tidak juga membayangkan perihal tidak dibayar.
Tapi…
Rianti malah berpikir betapa menyenangkannya jika ia bisa bepergian dengan Dion sepanjang hari. Khayalan itu pun langsung melayang di angkasa. Betapa indahnya duduk di boncengan Dion menelusuri jalanan senja dan kemudian mengabadikan kenangan itu dalam bentuk foto yang diambilnya.
Rianti termenung membayangkan itu semua.
“Lo pasti nggak mau, kan?” tanya Dion lagi. “Gue bodoh juga sih… ngajak-ngajak lo sembarangan. Lupain aja tawaran gue barusan. Hahaha.”
Deg.
Rianti lekas menatap Dion. “G-GUE MAU, KOK!”
Eh.
Rianti terkejut dengan suara teriakannya sendiri dan dengan cepat menutup mulutnya. Rianti lepas kontrol dan malah memekik keras seperti itu.
Dion tersenyum. “Lo serius mau?”
Rianti malah kebingungan. “G-gue….”
“Mau aja, ya!” Dion terdengar sedikit memaksa.
“Tapi gue nggak berpengalaman. Yang ada ntar gue malah mengacaukan semuanya.”
“Tenang aja! Nanti gue yang ngajarin lo. Lo bakalan jadi muse gue pokoknya.” Dion menyeringai.
Sementara Rianti malah menatap bingung. “Muse? Apa itu?”
“Lo nggak pernah denger istilah muse?”
Rianti menggeleng. “Nggak. Gue taunya mute. Kalo dipencet di remote TV, suara TV-nya jadi nggak keluar.”
“Hahahaha.” Dion tertawa. Sedetik kemudian dia meletakkan telapak tangannya di kepala Rianti dan mengusapnya pelan. “Ternyata lo lucu juga ya.”
Aduh.
Buset.
Srepet.
Aksi Dion itu hampir saja membuat Rianti terkena serangan jantung.
“Jadi Muse itu bisa diartikan sebagai figur yang menjadi inspirasi seseorang. Lebih sering digunain oleh orang berprofesi sebagai designer sih. Tapi gue pribadi juga pengen makai istilah itu buat sosok yang menjadi model gue,” jelas Dion kemudian.
Rianti mengangguk-anggukkan kepala meskipun ia tidak mengerti sama sekali.
Otaknya masih saja mengingat apa yang baru saja dilakukan oleh Dion. Rasa hangat yang ditinggalkan oleh telapak tangan lelaki itu bahkan masih terasa di kepalanya.
“Jadi kita udah deal ya… lo bakalan jadi model gue, kan? Mungkin sekarang ini gue belum bisa gaji elo. Tapi ntar siapa tau aja setelah gue majang-majang hasil jepretan gue dengan elo sebagai modelnya, job mulai dateng. Nggak menutup kemungkinan, kan… siapa tahu nanti gue jadi seorang fotografer andal dan lo juga jadi model profesional.”
Rianti hanya tersenyum. “Ya boleh deh… gue mau.”
“Deal. Ya! Lo nggak boleh mengelak abis ini kalo gue ajak hunting buat foto-foto,” tukas Dion.
Rianti mengangguk. Tak bisa lagi menyurukkan rasa senangnya. “Iya-iya.”
Dion tersenyum. “Oh iya… by the way lo tinggal di mana?”
“Gue tinggal di jalan Asih Kemangi.”
Dion langsung melotot. “Beneran?”
“Iya. Emangnya kenapa?”
“Gue bakalan pindah rumah ke kompleks perumahan baru yang ada di belakang jalan Asih Kemangi itu!” jelas Dion bersemangat.
Rianti juga menatap kaget. “Lo serius?”
“Iya. Gue bakalan pindah ke sana!”
Rianti memang tahu bahwa ada pembangunan kompeks perumahan baru di kawasan belakang rumahnya. Untuk menuju ke sana hanya perlu mengambil jalan melingkar yang juga baru dibangun khusus untuk memasuki kawasan perumahan elit itu.
Takdir macam apa ini? Rianti benar-benar merasa bahwa jalannya untuk dekat dengan Dion benar-benar dilancarkan oleh sang pemilik semesta. Kejutan yang datang hari ini begitu bertubi-tubi hingga Rianti pun merasa sulit untuk sekedar mempercayainya.
“Jadi ntar kita akan deket dong,” ucap Dion lagi.
Rianti hanya tersenyum. Dia tidak bisa mengekspresikan rasa senangnya.
Dion lalu berdehem dan menatap Rianti. “Tapi by the way… gue nggak tahu di mana rumah lo.”
Kalimat itu seakan memancing. Seakan meminta Rianti untuk melakukan sesuatu. Rianti pun merasa yakin. Dia menjadi percaya diri sekarang. Rianti tersenyum menatap Dion dan kemudian berkata dengan berani.
“Apa lo mau singgah ke rumah gue…?”