49. Seperti Yang Aku Kenal

1110 Kata
Hari ini Dina menemani Bagas latihan bola bersama timnya. Kali ini mereka tidak berlatih di dalam gedung seperti biasanya. Hari ini mereka melakukan latihan di lapangan terbuka. Sembari menikmati terpaan sinar matahari dan juga agar bisa lebih leluasa dalam berbagai latihan. Bagas yang sudah terpilih menjadi bagian dari tim futsal Garuda memang berlatih lebih intens akhir-akhir ini. Mereka akan segera berkompetisi di tingkat nasional. Agenda turnamen itu kabarnya akan digelar bulan depan. Saat ini Dina sedang duduk di tribun sendirian. Di dekat kakinya ada tas milik Bagas dan juga beberapa benda lain seperti botol air minum dan juga handuk yang tergeletak. Untuk mengusir rasa jenuh, Dina membawa sebuah n****+ untuk menemaninya. Sebuah n****+ romantis terjemahan yang memang sedang digandrungi Dina beberapa hari belakangan ini. Dina sesekali tersenyum. Ia tampak sangat anggun hari ini. Memakai gaun warna putih dengan cardigan warna kuning pudar. Sesekali angin bertiup menerpa wajah dan rambutnya. Bagas yang sedang latihan itu pun sesekali juga melayangkan pandangannya pada Dina. “Cewek lo manis banget ya, Bro.” ucap seorang lelaki berkulit sawo matang dengan rambut keriting. Dia berasal dari Nusa Tenggara Timur. Bagas menoleh padanya, lalu tersenyum. “Adem. Cewek lo itu defenisi cewek kalem. Sekilas dilihat saja bisa langsung ketahuan kalau dia anak yang baik,” ucap lelaki itu lagi. Bagas pun tertegun. Beberapa hari belakangan ini Dina memang tampak berusaha untuk menjadi pacar yang baik untuk Bagas. Dina selalu ada untuknya. Selalu mengabari Bagas apapun yang ia lakukan. Dina juga lebih mengedepankan Bagas dalam hal apa pun. Dia mengutamakan pendapat Bagas akhir-akhir ini. Seakan Dina memang berusaha menebus segala dosa dan rasa bersalahnya. Namun… Malah Bagas yang masih saja bersikap culas. Dia menjadi lebih cuek dan kadang juga bersikap kasar pada Dina. “Oke! Kita istirahat dulu lima belas menit…!” terdengar suara pelatih bergema keras. Para lelaki yang bertebaran di lapangan itu pun segera menepi, termasuk Bagas. Dina yang tadi masih asyik membaca buku pun lekas meletakkan bukunya. Mengambil handuk dan boto air minum, lalu segera berlari menghampiri Bagas. Dina tersenyum. “Ini airnya!” Bagas mengambil botol air itu dan meneguknya pelan. Sementara Bagas minum, Dina pun sibuk menyeka keringat di wajah dan leher Bagas memakai handuk kecil itu. Bagas kini terpana menatap Dina. Seakan dia tersadar bahwa sikapnya terhadap sang pacar sudah cukup berlebihan akhir-akhir ini. Terakhir kali Bagas bahkan sempat membentak Dina. Tapi sekarang Bagas mulai sadar. Dia mulai menyesal telah berlaku buruk seperti itu. “Kamu capek, ya?” tanya Dina kemudian. Bagas tersadar dari lamunannya. “Cuma gerah aja kok. Ayo kita berteduh di sana.” Bagas kemudian mengajak Dina beralih ke tribun di seberang lapangan. Tidak berbaur dengan teman-temannya yang lain. Sembari melangkah, tatapan Bagas tertuju pada sepatu Dina yang sudah tampak koyak di bagian ujungnya. Sepatu itu dipakai Dina untuk sekolah, juga untuk bepergian. Bagas menghela napas sesak, lalu duduk di tribun dan kembali meneguk air di botol minumannya. Dina pun ikut duduk di samping sang kekasih. “Gimana kamu di rumah Rianti? Semuanya baik-baik aja, kan?” tanya Bagas. Dina mengangguk. “Emmm… semua baik-baik saja, kok.” “Terus mama kamu nggak pernah ngehubungin kamu atau minta kamu buat balik ke rumah?” Dina menggeleng. Bagas menatap Dina perlahan. Sedangkan Dina hanya menekurkan wajah. “Atau apa kamu nggak mau berinisiatif mendatangi mama kamu duluan dan meminta maaf?” tanya Bagas. Dina langsung menatapnya. “Bukan berarti kamu salah. Mungkin saja sebagai anak memang kamu yang harus mengalah,” tukas Bagas. Dina tertegun, lalu kemudian dia menerawang menatap lapangan hijau di depan mata. Dina lalu menceritakan tentang pertemuannya di pasar dengan mamanya. Dia juga menceritakan tentang tawaran dari ibu Rianti. “Jadi untuk sementara waktu ini, aku rasa memang sebaiknya aku tetap di rumah Rianti saja. Aku ngerti kok. Walaupun mereka berkata seperti itu, bukan berarti aku ingin benar-benar selamanya berada di sana,” jelas Dina. Bagas mengangguk. Lelehan keringat masih mencuat di wajahnya yang putih bersih. Bagas kemudian lebih banyak diam. Dia juga salah tingkah karena sudah lama tidak berbicara panjang lebar dengan Dina sang kekasih. “Kalau kamu capek… kamu pulang duluan aja. Aku akan pesenin grab atau gojek buat kamu. Soalnya habis ini latihannya masih lama. Mungkin sekitar dua jam-an lagi,” ucap Bagas kemudian. Dina menggeleng. “Aku mau di sini aja. Nemenin kamu.” “Kenapa? Apa kamu masih merasa bersalah sama aku?” tukas Bagas. Dina terdiam. “Hah… kalau memang karena hal itu, lebih baik kamu berhenti. Aku juga nggak mau kamu seperti ini, Din… aku nggak mau menjadi pihak yang dominan dalam hubungan kita. Aku nggak mau menjadi egois. Aku tahu kamu seperti ini karena merasa bersalah. Tapi mulai sekarang aku minta kamu berhenti.” Bagas berkata lembut. Dina memandangnya. Masih belum tahu bagaimana dia berkata-kata untuk menanggapi perkataan Bagas. “Maafin aku, ya….” Eh. Dina tertegun. “Aku juga terlalu egois dan terlalu membesar-besarkan kesalahan kamu. Maafin aku, Dina,” pinta Bagas tulus. Dina pun tersenyum lembut. Bagas juga memandangnya teduh. Tatapan yang sudah sangat Dina rindukan dari sosok Bagas. Tatapan yang menyejukkan itu sudah cukup lama menghilang. Dina tertegun menatap Bagas yang masih menatapnya. “Kenapa kamu menatap aku seperti itu?” tanya Bagas. Dina menghela napas sesak. “Aku sudah lama merindukan mata itu.” Hening. Kedua pasangan kekasih itu saling pandang bersama semilir angin yang mengembus wajah keduanya. Tali kasih yang sempat renggang itu tampaknya mulai merapat kembali. Bagas sepertinya sudah melepas segala sakit hati atas kejadian di masa lalu. Hingga kemudian suara pluit sang pelatih membuat Bagas tersadar dan bergegas bangun. “Kamu yakin nih… nggak mau pulang duluan?” tanya Bagas. Dina menggeleng dengan senyum di wajahnya. “Nggak. Aku nungguin kamu aja. Lagi pula aku juga bosan di rumah terus.” Bagas tersenyum, lalu mengusap puncak kepala Dina dengan lembut. “Okey… kalau begitu aku lanjut latihan dulu, ya.” “Iya.” Bagas berlari memasuki lapangan. Dina pun kembali duduk di tribun. Dia memerhatikan Bagas yang sedang berlatih. Tak lama setelah itu Dina mengeluarkan handphone-nya, lalu mulai memotret sang kekasih. Beberapa teman Bagas kemudian menyikut Bagas dan menunjuk ke arah Dina. Bagas pun tersenyum dan langsung berpose dengan membentuk simbol love dengan jemarinya. Dina tentu juga tertawa dan buru-buru memotret Bagas, “Heh! Kamu ngapain Bagas!” hardik sang pelatih. Bagas pun tertawa. Begitu pun juga teman-temannya. “Bucinnya tolong dihentikan dulu ya, saudara Bagas!” ucap sang pelatih lagi melalui pengeras suara di mulutnya. Dina pun juga tergelak. Dia menatap potret Bagas yang tersenyum di layar handphone-nya itu sebentar, lalu beralih menatap Bagas yang kini sedang mengarak bola. Dina menatapnya dengan mata berbinar. Ia tersenyum, lalu berbisik lirih. “Akhirnya kamu kembali seperti Bagas yang aku kenal….”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN