Rianti tiba di rumah saat matahari mulai naik menjelang senja. Kala itu Dina dan ibunya sedang memotong-motong bahan untuk membuat keripik singkong. Sang ibu sedang mengupasnya, semantara Dina membantu mengirisnya menggunakan pengiris dari papan kayu yang membuat potongan singkong itu menjadi bulat dan pipih.
“Aku pulaaaaaaaang…!” Rianti berteriak girang setelah mengempaskan sepedanya begitu saja di teras rumah.
“Walah-walah. Kamu ke mana toh, jam segini baru pulang?” tanya sang ibu.
Rianti tidak menjawab dan malah mengecup pipi ibunya itu. “Mmmuaach.”
“Dih. Kenapa ini bocah?”
Dina pun tertawa melihat Rianti yang tampak aneh, tapi kemudian Rianti beralih menatapnya dan memeluk Dina erat-erat. “Hai my bestie…! gue kangen deh, ama lo!”
Dina melotot. Apalagi Rianti juga mengguncang-guncangkan tubuh Dina ke kiri dan juga ke kanan.
“Kamu kenapa hei!” sergah Dina.
Rianti masih saja tersenyum.
“Sepertinya dia kesambet,” ujar sang ibu.
Rianti kemudian melepaskan pelukannya, lalu memberikan sebuah kantong pada Dina. “Ini pesenan lo!”
Dina mengernyit. “Apa?”
“Lo tadi pagi minta gorengan pastel anjiiir!” sergah Rianti.
“Ah, iya aku lupa. Padahal aku cuma becanda.”
Rianti menyeringai lagi. Rona bahagia itu terlihat jelas di wajahnya.
“Mandi dulu sana!” sergah sang ibu kemudian. “Itu ibuk tadi beliin kamu sate. Tapi nggak tau deh apa masih bagus atau nggak. Soalnya belinya siang dan kamu lama sekali pulangnya.”
Rianti tersenyum. “Oke, Bos!” setelah itu dia beralih menatap Dina dan tersenyum lagi. “Mandi dulu ya, Bestie!”
Rianti kemudian bersiul-siul masuk ke kamarnya. Beberapa detik kemudian dia keluar lagi seraya membawa handuk. Langkahnya seperti orang menari. Dia juga sempat berputar-putar sebelum masuk ke kamar mandi. Aksinya itu pun membuat Dina dan sang ibu melongo. Singkong di genggaman sang ibu bahkan lepas dari pegangan tangannya, tercebur ke dalam panci berisi air yang akhirnya mencipratkan air ke wajahnya.
Dina pun sama bengongnya. Dia tidak pernah melihat Rianti seperti itu sebelumnya.
“Dina… apa dia sudah gila atau bagaimana?” tanya sang ibu.
Dina menatap sang ibu, lalu tersenyum. “Dia tidak gila, Buk. Tapi dia sedang jatuh cinta.
Seusai mandi, Rianti melahap sate yang tadi dibelikan oleh ibunya. Dia tetap makan dengan lahap meskipun kuah sate itu sudah sedikit mencair dan menjadi lebih encer.
“Biasanya kamu ndak mau makanan yang sudah lama,” sindir sang ibu.
“Enak kok, Buk! Enak banget malah. Rianti menyuapnya dengan lahap.
Dina pun geleng-geleng kepala. Tapi dia turut merasa senang melihat Rianti yang ceria seperti itu. Sang ibu kemudian membawa bakul berisi sayuran ke atas meja makan dan duduk di sana. Dina pun mengikut dan membantu sang ibu mengupaskan bawang dan bumbu-bumbu yang lain karena mereka akan memasak. Ketiga wanita itu kini duduk di meja makan dan mulai mengobrol.
“Jadi bagaimana, siapa pacar kamu itu?” tanya sang ibu.
Rianti langsung mengibaskan tangannya. “Belum pacar, Buk! Ibuk yang sabar dong. Semua ada prosesnya. Iya, kan Din?”
Dina hanya mengangguk. “Hahaha. Iya.”
“Disuruh fokus sekolah, dianya malah pacar-pacaran,” sindir sang ibu.
“Dina juga pacaran, kok.” tukas Rianti.
Dina melotot karena namanya dibawa-bawa.
“Kalo si Dina pacaran pun dia tetep pinter di sekolah. Juga rajin bantu ibu di rumah.” sang ibu malah membela Dina.
“Sabar, Buk! Kalo aku udah resmi pacaran nanti… aku juga akan rajin seperti Dina.” Rianti terkekeh.
Dina pun mencibir. “Konsep anda salah ya, Nona Rianti. Saya tidak menjadikan pacaran sebagai landasan untuk saya menjadi rajin, pintar dan lain-lain.”
Rianti tergelak. “Saya tahu, Buk… tapi saya memakai metode kebalikan. Jadi saya kebalikannya anda.”
Dina pun juga tertawa.
Sang ibu bergantian melirik kedua gadis itu dan ikut tersenyum.
“Dina bahkan tadi ikut ibuk ke pasar. Kamu mana pernah mau,” nyinyir sang ibu.
Rianti beralih menatap Dina. “Serius lo ikut ke pasar ama Ibuk?”
“Iya.”
“Terus gimana? Nggak enak, kan? Panas, bau, becek, nggak ada ojek. Gue dulu pernah ikut Ibuk sekali ke pasar, tapi setelah itu gue trauma dan gamau lagi.”
Sang ibu langsung memukul kepala Rianti dengan sayur yang dipegangnya. “Trauma ndasmu! Asal ngomong ae ini bocah.”
“Seru kok,” jawab Dina.
Rianti melotot. “SERU KATA, LO?”
Dina mengangguk. “Iya. Seru banget malah.”
“Fix. Lo emang kelainan, Din.” Rianti geleng-geleng kepala.
Suasana kemudian berubah hening. Sampai kemudian sang ibu menceritakan tentang pertemuan Dina dan mamanya. Rianti pun terkejut mendengar cerita itu dan langsung menatap Dina yang kini menekurkan kepala.
“Ya udah sih, Din! Lo nggak usah mikirin dia lagi. Bukan gue menghasut lo untuk jadi anak yang durhaka, tapi di sini nyokap lo yang mulai duluan. Dia yang udah mendurhakai elo. Dih… kesel banget deh gue dengernya. Kalo gue ada di sana… gue jambak deh itu emak lo! Nggak takut gue. Sumpah!”
“Heh. Jangan begitu,” sergah sang ibu.
“Ya, abisnya ngeselin parah, Buk.”
Dina hanya tersenyum. Ia merasa malu.
“Jangan mikir lagi buat balik lagi ke emak lo. Udah lo di sini aja. Buk… angkat aja di Dina jadi anak kedua Ibuk, bisa kan?” tanya Rianti dengan mulut yang penuh dengan ketupat sate.
Sang ibuk malah melirik Dina. “Nah, benar kan… apa yang tadi ibuk katakan!”
Rianti mengernyitkan dahi. Ia menatap sang ibu dan Dina secara bergantian.
“Ada apa ini? Tanya Rianti.
Sang ibu menghela napas sebentar sebelum berkata. “Jadi tadi ibuk juga sudah mengatakan hal yang sama ke Dina. Ibuk minta dia untuk selamanya tinggal sama kita.”
“Terus?” tanya Rianti.
“Dina takut kalo kamu keberatan,” jawab sang ibu.
Rianti langsung menatap Dina. “Heh, gue gampar lo ya! Bisa-bisanya lo mikir begitu. Udah paling bener lo jadi anak ibuk gue. Mulai sekarang lo itu resmi jadi adik gue. Paham gak lo!?”
Dina tertegun. Hingga kemudian bibirnya terlihat bergetar.
“Nah… nah… mau nangis lagi dah dia tu, Buk.” Rianti malah tertawa.
Dina tersenyum, tak jadi menangis. Setelahnya obrolan mereka terus berlanjut. Pembahasan kembali beralih pada hari indah yang sudah dilalui oleh Rianti. Dia menceritakan semuanya dengan antusias. Dia bercerita tentang bagaimana Dion memotongkan bakso untuknya, bagaimana Dion membelikan es krim untuk anak kecil yang berteduh di taman. Dan semuanya.
Rianti menceritakan semuanya dengan sangat detail dan tidak peduli pada sang ibu yang terus mengejeknya.
“Pokoknya dia itu emang calon pacar, calon imam dan calon menantu idaman, Buk,” ujar Rianti.
“Jangan kejauhan, Nduk. Terlalu berharap, nanti patah hati,” ingat sang ibu.
“Apa salahnya bermimpi, Buk.”
“Emang modelannya kayak gimana, sih?” sang ibu jadi penasaran. “Si Neon itu yang mana? Neon apa Pion?”
“DION, BUK. DIOOOON…!” pekik Rianti.
Dina pun terkiki mendengar nama-nama yang terlontar dari bibir sang ibu.
“Bentar ya. Aku liatin fotonya. Pasti Ibuk bakalan terkesima.” Rianti sibuk dengan handphone-nya sebentar, lalu bangun dari duduknya mendekati sang ibuk dan memperlihatkan layar handphone-nya yang menampilkan foto Dion dengan seragam futsalnya berwarna putih.
Rianti pun tersenyum bangga. “Cakep, kan, Buk?”
Sang ibuk hanya mencebik. “Biasa saja.”
“Ah, Ibuk Ah!” keluh Rianti. Dia kembali duduk di kursinya sambil merentak-rentakkan kaki.
“Wong emang biasa saja, kok,” tukas sang ibu.
Setelah itu sang ibu pun tetap menasehati Rianti agar tidak terlalu fokus pada asmaranya. Sang ibuk tetap menekankan bahwa Rianti harus fokus pada sekolahnya terlebih dahulu. Mengingatkan bahwa Rianti masih terlalu muda. Pun demikian dia sekaligus juga menasehati Dina. Mengingatkan Dina agar tetap menjalin hubungan yang sehat dan aman. Mengatakan bahwa jalan kedua gadis itu masih teramatlah panjang. Mereka berdua masih terlalu muda untuk terpaku pada kisah asmara. Namun di sisi lain sang ibu juga tidak melarang mereka berdua untuk berpacaran. Sang ibu hanya memperjelas batasan-batasan yang tidak boleh mereka langgar. Aturan yang dibeberkan secara gamblang karena dia menganggap Dina dan Rianti sudah mengerti.
“Pokoknya menjaga kehormatan dan nama baik kalian itu adalah yang terpenting!” tukas sang ibu.
Dina mengangguk.
Rianti malah mencibir, walau dia tetap mendengarkan dan mengingat nasehat itu.
Setelahnya snag ibu langsung memasak untuk makan malam sekalian untuk sarapan besok pagi.
Dina menggulung lengan baju kaos panjangnya, bersiap untuk mencuci piring. Tapi saat akan menyalakan air keran, Rianti tiba-tiba menyenggol Dina dengan pantatnya, hingga Dina tergeser.
Eh.
Dina menatap kaget. “Kenapa?”
“Biar gue aja yang cuci piringnya.” Rianti tersenyum.
Dina menatap syok. Sang ibu yang sedang menggoreng lauk pun juga menganga.
Sementara Rianti tidak peduli. Dia mulai mencuci piring seraya bersenandung meskipun suaranya terdengar menyakitkan telinga. Tak hanya mencuci piring. Rianti juga ikut bantu memasak. Dia menjadi rajin dalam sekejab dan terus saja terlihat bahagia. Saat makan malam pun, Rianti yang biasanya langsung masuk kamar setelah kenyang, kini sibuk membereskan meja makan.
“Kamu kenapa?” Dina pun mulai cemas.
“Karena sekarang kita udah resmi jadi adik kakak. Mulai sekarang pembagian tugas mulai jelas. Gue juga nggak mau ntar terkesan jadi anak gatau diri dan lo doang yang repot-repot kerja di sini,” jawab Rianti.
Sang ibu tersenyum. “Nah, bagus! Akhirnya kamu sadar. Emang sebelumnya kamu begitu.”
“Ya, abisnya si Dina malah rajin sendiri, Buk. Aku kan nggak pernah begitu.” Rianti manyun sebentar, tapi setelah itu menyeringai lagi.
Dina mengulum senyum. Ternyata semua membaik dengan sendirinya.
Suasana makan malam di rumah mungil itu pun terasa sangat hangat. Penuh dengan tawa dan juga senyum bahagia. Dina bersyukur bisa bertemu dengan orang baik seperti Rianti dan ibunya. Mereka berdua benar-benar menjadi sosok malaikat penyelamat di hidup Dina.
Setelah makan. Keduanya membantu sang ibuk menyiapkan dagangan besok. Tapi ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, sang ibuk langsung mengusir keduanya untuk tidur ke kamar.
Dina dan Rianti beranjak ke kamar. Setelah sebelumnya mereka gosok gigi dan mencuci muka. Keduanya terus bercanda dan kini terlihat seperti anak kembar.
Dina langsung duduk di tepi kasur, sedangkan Rianti bersiap untuk ritual skincare malamnya.
“Lo sini, deh!” panggil Rianti.
“Ngapain?”
“Udah sini aja! Bawa kursi itu dan duduk depan gue.” suruh Rianti.
Dina menurut.
“Lo juga harus rawat tu muka, biar si Bagas tambah sayang.” Rianti pun kemudian membantu Dina merawat wajahnya.
“Tapi aku rasa ini nggak perlu, sih,” tukas Dina.
Rianti melotot. “Ini tuh perlu banget tau. Malah gue perhatiin kulit si Bagas jauh lebih bening dibanding kulit lo. Lihat nih… kulit lo itu kering. Dehidrasi kulit lo.”
Dina hanya tersenyum dan membiarkan Rianti memoleskan berbagai cream ke wajahnya. Rianti juga memasangkan sebuah bandana berbentuk kelinci agar rambut Dina tidak menganggu.
“Pokoknya kalo ada yang ganjel di hati lo selama tinggal di sini… bilang aja,” ucap Rianti kemudian. “Kadang semua permasalahan itu penyebabnya cuma satu. Yaitu miss komunikasi.”
Dina terdiam.
“Kenapa? Apa ada yang mengganggu lo? Apa yang lo nggak suka dari gue?” tanya Rianti.
Dina menatap sebentar, lalu kemudian menggeleng. “Nggak ada, kok.”
“Jangan boong lo! Mata lo itu menyiratkan kalo emang ada. Ayo ngomong sekarang atau gue bakalan marah!” ancam Rianti.
Dina tentu takut.
“Nanti aku ngomong kamu malah marah,” ujar Dina.
“Gue justru marah kalo lo nggak ngomong.”
“Takut ah! Nanti kamu marah dan ngamuk. Nanti kamu ngusir aku gimana?” Dina menatap takut.
Rianti tertawa, lalu kemudian berkacak pinggang. “Ayo ngomong sebelum lo gue smackdown!”
Hening sebentar.
Dina mengumpulkan keberanian untuk bicara.
“Sebenernya akhir-akhir ini aku bete sama kamu.”
“Bete kenapa?” Rianti menyipitkan matanya.
“Tuh kan… kamu pasti marah.”
“Gue nggak akan marah!”
“Janji?”
“Iya janji bege!”
Sebenernya aku bete kalo kamu nyuruh aku ngerjain tugas kamu… nyetrikain baju sekolah kamu.” Dina akhirnya mengeluarkan isi hatinya.
Rianti terdiam.
Dina pun juga membisu sekarang.
Tapi kemudian Rianti mengembuskan napas panjang. “Lo nggak harus nurutin itu semua, Dina sayang….”
Dina menatapnya. “Maksud kamu?”
“Kalo emang lo keberatan ya, DITOLAK dong. Gue gamau! Ogah! Setrika aja sendiri! Intinya lo berhak buat nolak dan gue nggak masalah dengan hal itu. Lo lempeng aja dan gue ngira lo fine-fine aja. Maaf kalo gue kayak gitu. Tapi ini bukan sepenuhnya salah gue. Lo juga salah karena mengedepankan perasaan ‘nggak enakan’ lo itu. Lo berhak menolak sesuatu yang emang lo rasa ngerugiin dan gak pengen lo lakuin.”
Sunyi.
Dina kini menatap Rianti lekat-lekat tanpa berkedip. Membuat Rianti menjadi bingung dan grogi.
“Lo ngapain ngeliat gue kayak gitu nyet?” tanya Rianti kemudian.
Perlahan kedua sudut bibir Dina terangkat. Dan di detik berikutnya dia langsung mendekatkan bibirnya ke telinga Rianti.
“Aku sayang sama kamu,” bisik Dina.
Rianti malah bergidik ngeri. Bulu kuduknya langsung berdiri. Di detik berikutnya dia langsung mendorong Dina.
“Gue merinding bangke!”
Rianti memekik.
Sedangkan Dina malah tertawa dan kemudian memeluk sahabatnya itu.
“Pokoknya aku sayang kamu. Sayang banyak-banyak.” tukas Dina lagi yang membuat Rianti semakin merasa geli.