38. Rintihan

2299 Kata
Setelah mengantarkan Dina, Bagas kembali ke lokasi pesta dengan wajah kesal. Dia sedang asyik bercengkerama, asyik bersenang-senang, tapi Dina malah mengacaukan semuanya. Membuat kepala Bagas terasa mendidih. Ia keluar dan mengempaskan pintu mobil itu dengan gusar. Lalu kembali masuk ke dalam kafe yang masih ramai. “Lah… lo tadi ke mana gue cariin?” seorang lelaki berambut semi gondrong dan sedikit keriting langsung menyambut Bagas. Namanya Roni. Dia juga merupakan salah satu putra konglomerat. Roni termasuk dalam jajaran teman baik Bagas meskipun ada jarak usia terpaut antara mereka. Roni baru saja memulai pendidikannya di bangku universitas. “Cewek lo tadi mana?” tanya Roni lagi. Bagas tidak menjawab. Dia merebut botol wine di genggaman Roni, lalu kemudian meminumnya. Suara musik masih menghentak keras. Mereka berdua kini duduk di pojokan melihat orang-orang yang asyik menari dan tertawa di depan sana. Suasananya begitu riuh. Ada yang bergoyang gila-gilaan. Ada yang merekam kegilaan itu dan ada juga yang sibuk dengan pasangan mereka sendiri. Sang pemilik pesta pun juga tampak bermesraan dengan pacarnya di balik kue ulang tahun yang masih menjulang. Mereka b******u tanpa ragu dan tanpa rasa malu. “Jangan bilang kalo lo abis nganter cewek lo balik!” tebak Roni dengan senyum mengejek. Bagas menghela napas gusar. “Halah… cemen banget lo! Kayaknya lo yang disetir sama cewek lo itu, ya? Lo yang takut sama dia. Iya, kan?” Roni tertawa. Bagas menatap tajam. “Dari tadi gue perhatiin sih… cewek lo juga jaim parah. Entah jaim entah alim, gue juga nggak paham. Dia selalu ngehindar pas mau lo sentuh-sentuh. Iya, kan? Hahaha.” Roni kembali berceloteh. Bagas merasa kesal dan juga malu. “Cantik sih! Tapi ya percuma… kalo nggak bisa dinikmatin,” ejek Roni lagi. Bagas merasa panas. Tapi dia tidak marah kepada Roni, melainkan kepada Dina. Karena Bagas memang setuju dengan pendapat temannya itu. Bagas merasa bahwa Dina memang belagak sok jual mahal. Padahal Bagas mengira bahwa dengan menjemput dan membawa Dina memakai mobil, perempuan itu akan luluh seperti cewek-cewek lainnya. Mereka akan langsung menurut dan mau melakukan apa saja. Sebenarnya Bagas masih liar dan nakal. Dia masih memiliki hubungan lain dengan beberapa gadis lain untuk sekedar bersenang-senang dan alasan dia melakukannya adalah… Karena Dina tidak bisa memenuhi kebutuhan hasratnya. Roni lanjut meracau. Kali ini dia malah menceritakan tentang pengalamannya yang pernah b******a dengan guru mudanya di masa SMA dulu. Cerita itu sangat fulgar sekali. Roni menceritakan bahwa dia melakukannya di kosan sang guru. Roni berdalih ingin menemui gurunya itu untuk mengantar tugas remedial. Tapi setelah masuk ke dalam kamar kos, Roni langsung melepas celananya. Semula sang guru tampak kaget dan menutup mata. Dia juga meminta Roni untuk keluar dari sana. Tapi Roni kemudian mendekat dan mulai membujuk. Roni menunjukkan pusakanya yang memang berukuran ekstra, hitam dan kuat. Sang guru muda yang awalnya tidak mau mulai melirik belalai ajaib yang sudah mengeras itu. Awalnya dia menghindar, tapi kemudian dia mulai meliriknya. Roni menuntun sang guru untuk menyentuh miliknya. Dan kemudian… Setan pun datang menguasai. Keduanya bersenang-senang. Sang guru juga menikmatinya. Hubungan terlarang itu kemudian berlangsung untuk waktu yang lama. Sampai kemudian Roni tamat dari SMA. Saat itu sang guru muda mengakui bahwa dia telah jatuh cinta kepada Roni. Akan tetapi… Roni membuangnya. Roni yang licik malah mengancam gurunya itu jika masih menghubunginya. Roni mengancam akan mengatakan kepada semua orang bahwa gurunya itulah yang sudah menjebaknya. Nama baiknya sebagai guru tentu juga akan dipertaruhkan. Sang guru tentu takut. Akhirnya dia hanya bisa bungkam dan membiarkan Roni dengan kebebasannya. “Tapi seru loh, Gas… sama yang usianya lebih tua itu beda sensasinya. Kalo sama yang seumuran… lo tau lah ya… kadang gue jadi kepikiran buat nyoba sama anak di bawah umur. Kira-kira seru nggak sih? Lucu juga ngeliat bocil cewek yang susunya baru numbuh. Rasanya pasti enak kalo disedot.” cerita Roni mulai gila. “Lahannya pun pasti juga belum ditumbuhi ilalang yakan? Hahahaha.” Roni semakin nyeleneh dan bicara sembarangan. Bagas malah jadi gelisah. Dia paling tidak tahan dengan cerita-cerita seperti itu. Celananya terasa sempit. Seiring dengan pikiran yang mulai melayang ke mana-mana. “Eh, lo sange?” tanya Roni. Bagas meneguk ludah. “Hahaha. Makanya harus disalurkan, Bro! Biar adek lo bisa tenang. Hahaha. Sumpah gue ngakak. Lo beneran sange karena denger cerita begitu doang?” Roni terkikik dan menatap tak percaya. Bagas tidak menjawab dan langsung melangkah pergi. “Eh, Bagas… lo mau ke mana?” hardik Roni. Bagas tidak lagi mengacuhkannya. Bagas buru-buru keluar, masuk ke mobilnya dan melaju secepat yang dia bisa. Tatapan matanya tampak tidak stabil. Dia bahkan menekan klakson dengan gusar dan panjang jika ada kendaraan lain yang berjalan pelan di depannya. Sorot matanya menatap tajam. Deru napasnya terdengar sesak. Entah apa yang kini ada di otaknya. Mobil itu terus melaju, hingga kemudian berbelok memasuki area gedung kost-kost-an dua tingkat yang tampak lengang karena malam yang memang sudah larut. Bagas segera turun. Bergegas menyusuri lorong dengan pintu-pintu kamar yang berjejer. Hingga ia tiba di depan pintu kamar paling ujung dan langsung menggedor-gedor pintu itu. Bagas menggedor tanpa bersuara. Tok… Tok… Ia sedikit kesal, karena pintu itu tidak juga kunjung terbuka. Bagas pun beralih mengetuk kaca jendela, tapi tak juga berhasil. Bagas mengernyit. Apa sosok yang dicari tidak ada di sana? Tok… tok… Tok… Bagas mengintip melalui celah tirai yang sedikit terbuka. Ia melihat sesosok tubuh yang terkapar di atas kasur. Menandakan bahwa pemilik kamar itu ada di dalam. “Apa dia mabuk lagi?” Ia menggedor pintu itu lagi. Tapi sosok perempuan berambut pendek di dalam kamar itu tetap membeku pada posisinya. Kesal. Bagas meniup wajahnya yang terasa panas. Bagas menghela napas kasar. Hasratnya sudah dipuncak ubun-ubun. Membuat kepalanya kini terasa sakit. Bagas memerhatikan keadaan sekitar. Lengang. Tidak ada siapapun yang melihatnya. Setelah merasa yakin situasinya aman, Bagas perlahan mundur, lalu maju dan mendobrak pintu kamar itu dengan bahunya yang menghantam sangat kuat. BRAK. Pintu itu terhempas terbuka. Sosok yang terlelap itu tetap tidak bangun. Bagas pun cepat-cepat menutup pintu itu kembali. “Haah… hah… hah….” suara embusan napas Bagas terdengar jelas. Dia kemudian mengintip sebentar keluar. Takut jika ada yang mendengar suara keributan itu dan menghampiri ke sana. Ternyata tetap sepi. Membuat Bagas merasa lega. Ia mengunci pintu, merapatkan tirai agar tidak ada yang bisa mengintip dari luar. Setelahnya Bagas berbali menatap perempuan yang tergolek tak berdaya di tempat tidurnya. Bagas kemudian melangkah mendekat. Sosok perempuan itu tertidur dalam keadaan menelungkup. Rambutnya pendek sebahu dan dicat berwarna abu-abu. Pakaiannya cukup sexy. Sepatu hak tinggi masih melekat di kakinya. Aroma alkohol juga tercium jelas. Sepertinya dugaan Bagas benar. Perempuan itu mabuk hingga tidak sadarkan diri. “Heh. Tessi…!” Bagas memanggil nama wanita itu. Wanita itu tetap terlelap. Bagas meneguk ludah. Di detik berikutnya dia langsung menjambak rambut perempuan itu dengan kasar. “AYO BANGUN! kamu harus ngelayanin aku malam ini,” ucap Bagas. Perempuan bernama Tessi itu melenguh. Dia kesakitan dalam keadaan setengah sadar. Bayangkan saja, Bagas menarik rambutnya hingga kepala Tessi terangkat. Tentu rasanya sangat menyakitkan sekali. “Bangun jalang!” hardik Bagas lagi. Tessi hanya merintih. Dia membuka mata dengan susah payah. Bagas membalik tubuh perempuan itu. Setelahnya dia langsung bergegas membuka restsleting celana. Bagas mengeluarkan batangnya yang sudah menegang. Dengan napas memburu, Bagas pun langsung mengangkangi wajah Tessi dari atas dan mengarahkan miliknya itu ke dalam mulut Tessi. “Ayo sepong!” “Sepong buruan! Hisap…!” suara Bagas terdengar berat. Tessi yang masih mabuk berat tentu tidak bisa melakukannya dengan benar. Alhasil batang itu hanya sekedar menggesek-gesek wajahnya. Membuat Bagas merasa kesal dan kemudian memaksa Tessi untuk bangun. “Heh bangun! Ayo duduk… lakukan dengan benar.” Bagas mendudukkan perempuan itu, lalu mengarahkan lagi batangnya ke mulut Tessi. Tangan Bagas memegangi kepala Tessi dan menekannya dalam-dalam hingga perempuan itu terbatuk. “Ohook!” Bagas lalu mengguncang-guncang kepala itu. Tak peduli pada Tessi yang kesulitan bernapas. Perempuan itu terlihat kesakitan. Air matanya berderai, tapi Bagas tidak peduli. Sesekali Bagas juga meremas dua gundukan milik Dina, lagi-lagi dengan sangat kasar. Bagas mungkin merasa enak, tapi lawan mainnya itu bisa dipastikan sangat kesakitan jika ia melakukannya dalam keadaan sadar. Bagas terus memaksa Tessi untuk mengulum miliknya. Tapi ternyata semua itu tidak membuat Bagas puas. “LO BISA NGELAKUIN DENGAN BENER NGGAK, SIH?” bentak Bagas. Tessi hanya menatap dengan mata mabuk. Karena kesal, Bagas pun menampar pipinya, hingga Tessi terhuyung ke kasur. “Perempuan sialan!” Bagas mengumpat. Namun setelah itu dia malah melucuti pakaian Tessi hingga perempuan itu bertelanjang bulat. Tessi meracau tak jelas. Juga merintih karena rasa sakit. Bagas mulai menyerang. Dia memasukkannya tanpa aba-aba. Tanpa pemanasan dan langsung menghentak kuat hingga Tessi memekik. Secepat itu juga Bagas langsung membekap mulut Tessi dengan tangannya. Membuat wajah perempuan itu memerah. Sedangkan ia terus menghentak sekuat tenaga “Oaaaah… aaaah…. hoaaaaah.” Bagas mulai menikmatinya. Dia tidak membuka baju. Juga tidak membuka celana. Hanya mengeluarkan senjata tempur melalui retsleting yang dibuka saja. “Oh.. f**k Bitch..!” dia sesekali meracau. Sementara Tessi terlihat kesakitan. Air matanya terus meleleh. “Apa kamu sering bermain dengan lelaki lain, ha? Kenapa jadi lapang seperti ini?” tanya Bagas seraya memutar-mutar pinggulnya. Dia melakukannya dari belakang. Mengangkat sebelah kaki Tessi agar bisa lebih leluasa. “Sial… longgar sekali,” keluh Bagas. Bagas pun mengeluarkan senjatanya. Merasa jengkel karena milik Tessi tidak terasa ‘menjepit’ lagi. Tapi kemudian… Otaknya memikirkan sesuatu. Tangannya mulai menyentuh lubang yang lain. Lubang yang seharusnya tidak boleh dimasuki. Lubang belakang milik Tessi yang Bagas pikir pastilah sempit dan terasa enak. Dia tersenyum sinis. Kemudian mengucurkan ludahnya di sana. Awalnya Bagas menusuk-nusukkan jari telunjuknya. Saat itu Tessi masih belum bereaksi. Bagas menatap Tessi sebentar, lalu mengangkangi wanita itu. Ia juga menyorongkan sebuah bantal ke bawah perut Tessi untuk mengganjal agar posisinya sempurna. Sekarang ia bisa leluasa melihat lubang yang asing itu. Bagas tidak penah mencoba bermain di sana, tapi sekarang dia ingin mencobanya. Bagas coba menembusnya. Terasa sulit. Apalagi Tessi juga mulai menggeliat karena kesakitan. Bagas tidak peduli. Dan kemudian… “AAAAAH…!!!” Tessi benar-benar memekik kesakitan. Secepat itu juga Bagas memukul kepalanya. “DIAM BANGSAAT!” Bagas mengantuk-antukkan kepala itu. Hingga akhirnya Tessi tidak sadarkan diri dengan air mata yang mengalir. Dan Bagas. Malah merasa takjub. “Waw! Sempit sekali!” dia menyeringai senang. Bagas mulai menggoyangkan pinggulnya. Semakin lama semakin cepat. Kini ia sangat menikmatinya. Terlihat dari senyuman yang tergurat di wajahnya. Bagas terus melakukan aksinya. Tak peduli pada bercak merah yang tampak melekat di pangkal miliknya. Justru hal itu malah membuat Bagas semakin terangsang. Dan Tessi pun harus tersiksa cukup lama. Butuh waktu cukup lama bagi Bagas untuk mencapai puncak. “Oaaah… Aaaahh….” Tubuhnya menggelinjang. Menandakan benih-benih nikmat itu hendak melompat keluar. Secepat itu Bagas menarik miliknya, lalu mengarahkannya ke wajah Tessi yang masih tidak sadarkan diri. Bagas mengocoknya pelan. Semburan hangat itu pun bertumpahan di wajah Tessi. Bercampur bersama keringat dan air mata yang belum mengering. Bagas merasa puas. Dia kemudian menyeka miliknya dengan tisu, lalu membuangnya sembarangan. Duduk sebentar di tepi ranjang seraya menyeka keringat di kening. Ia kemudian menatap Tessi yang tersungkur tanpa busana. Perempuan itu adalah seorang wanita penghibur yang masih cukup muda. Usianya baru 20 tahun. Tessi awalnya adalah gadis kampung yang merantau ke Ibukota dengan maksud ingin merubah nasib. Tapi ternyata ia terjebak. Ia tersesat dan kemudian berakhir menjadi wanita penghibur dibawah pengawasan seorang g***o yang biasa dipanggilnya Madam. Pertemuannya dengan Bagas berawal ketika Bagas memakai jasa service-nya Tapi kemudian Bagas lebih sering memakai Tessi tanpa melalui madam-nya terlebih dahulu. Awalnya Tessi merasa senang, karena bayarannya tidak akan dipotong. Tapi kemudian semua berubah menjadi bencana karena Bagas selalu kasar dan sadis dalam permainannya. Tessi sudah melakukan berbagai cara untuk mengelak dan menghindari Bagas. Tapi terkadang ada situasi di mana Tessi tidak bisa bersembunyi. Bagas yang marah akan semakin kasar lagi ketika berhubungan badan. Semua itu mulai mendatangkan trauma bagi Tessi. Dan hari ini mungkin adalah sesi yang terparah. Ketika bangun nanti, Tessi mungkin akan merasakan kesakitan yang teramat sangat. Malang… Sungguh kasihan sekali perempuan itu. Bagas kini sudah merasa tenang. Dia mengeluarkan dompet. Menarik banyak lembaran uang di sana, lalu kemudian menata helai demi helainya di atas tubuh Tessi yang masih terpampang. Bagas tersenyum. Dia menganggap hal itu menyenangkan. Meletakkan lembaran-lembaran uang di punggung, p****t, hingga kaki Tessi yang sedang menelungkup. “Ternyata lebih baik kamu tidak sadarkan diri seperti ini. Karena jika dalam keadaan sadar… kamu hanya terus merengek dan membuat nafsuku hilang,” ucap Bagas. Setelah itu Bagas pun pergi begitu saja. Meninggalkan Tessi yang menelungkup b***l dengan uang kertas bertebaran di atas tubuhnya. “Terima kasih… service kamu kali ini cukup memuaskan, Sayang,” bisik Bagas ketika menutup pintu. Setelahnya Bagas langsung pulang ke rumah. Suasana rumahnya yang megah dan luas itu begitu sunyi. Bagas tidak tahu apakah kedua orang tuanya ada di rumah atau tidak. Dia pun tidak peduli. Bagas langsung menuju kamarnya dan mandi air hangat. Dia merasa puas telah melampiaskan nafsu yang membuncah. Memang sudah cukup lama Bagas tidak melakukannya. Namun semua itu juga tidak serta merta menghilangkan rasa kesal Bagas kepada Dina. Rasa penasaran terhadap Dina membuat pikiran Bagas tak tenang lagi. “Kalau dengan Dina, Bagaimana rasanya?” Bagas penasaran. Setelah selesai mandi, ia langsung berbaring karena merasa penat. Suasana kamar itu sudah sepenuhnya gelap. Hanya ada sebuah lampu tidur kecil berbentuk bintang yang menyala di atas meja. Bagas coba memejamkan mata. Tapi kemudian dia mengambil handphone-nya. Membuka galeri dan mencari foto Dina. Potret itu menampilkan sosok Dina yang tersenyum menatap kamera. Hanya foto biasa saja. Dina memakai seragam sekolahnya di foto itu. Tapi kemudian Bagas mulai berfantasi. Dia mulai membayangkan apa yang ada dibalik seragam itu. Dia mulai membayangkan bagaimana rasanya menelusupkan tangan ke bawah rok sekolah Dina. Pikiran-pikiran kotor itu menguasai dengan cepat. Membuat sang adik yang tadi sudah bertempur dengan keras kembali bangun. Hingga… Bagas menurunkan celananya. Memainkan lagi batang itu dengan tangan. Dan menjadikan foto Dina sebagai bahan fantasinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN